Berjarak 500 M dari Lokasi Perang Sudan, Mahasiswa Riau: Mati Kena Tembak atau Mati Kelaparan

Imam-Wahyudi.jpg
(Riau online/Sofiah)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Perang antar militer di Sudan mengakibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) terdampak khususnya dari segi pendidikan. Akibatnya, mereka pun harus pulang ke tanah air untuk menyelamatkan dari gencatan senjata dan rudal.

Kisah pilu ini pun disampaikan oleh salah satu mahasiswa S2 Khartoum International institute For Arabic Language (KIIFAL) Sudan, Imam Wahyudi. Kepada media, begitu sampai di Pekanbaru pada Sabtu, 29 Maret 2023 mengungkapkan, perang senjata itu antar militer di Sudan.

Lokasi ia bermukim tidak sedekat teman-teman mahasiswa lainnya. Katanya, yang paling dekat tinggal di asrama.

"Kami berkeluarga tinggal dengan menyewa rumah. Jaraknya sekitar 500 M dari lokasi dan rudal pun terdengar. Meski begitu peluru dan pesawat tempur itu jelas sekali. Dia itu lewat terbang rendah di atas rumah kami," katanya.

Di rumah kontrakannya itu, ia tinggal bersama istrinya yang sama-sama kuliah jurusan bahasa arab. Pasangan muda itu juga memiliki satu orang anak perempuan yang masih balita berumur 2 tahun 7 bulan.

"Susah tidur. Apalagi malam. Peperangan semakin malam semakin mencekam. Perang itu antar militer dan semi militer yang dulunya merupakan institusi resmi Sudan," katanya.

Militer itu katanya memiliki pesawat tempur sedangkan para militer itu tidak memiliki pesawat. Jadi, militer yang ingin menguasai semi militer itu menggunakan pesawat. Nah, ketika pesawat itu lewat ditembaki. "Tebtebtebteb," katanya menirukan suara tembakan itu.

Secara kasat mata, diakuinya, melihat peluru yang berterbangan dan berwarna merah. Selain itu, rudal dan mortir pun saling bersahutan.

"Dalam sehari tak terhitung berapa kali tembakan. Sebab 24 jam terdengar. Jika tidak terdengar mulai aman. Kawan-kawan dan saya yang tinggal di lantai paling atas (lantai 3) akan turun ke bawah di rumah pemilik kos karena khawatir akan ada pelur nyasar," urainya.



Dalam pada itu, sesekali ada rudal yang jatuh. Beruntung tidak ada WNI yang terkena. Namun, ada yang terkena pantulan peluru yang menyebabkan lebam.

"Saat evakuasi, saya cukup sulit karena harus melewati pos-pos yang dikuasai oleh para militer. Selama di Sudan sekitar tujuh baru dievakuasi dan selama itu kami mendengar suara ledakan," ungkapnya.

Selama sepekan itu pula, ayah anak satu itu menyebut susah untuk keluar rumah antisipasi peluru dan rudal nyasar.

 

 

"Kondisi buruknya listrik dan air mati serta kedai logistik habis. Kami dan kawan-kawan di sana dikhawatirkan nauduzubillah jika itu ajal. Namun antara mati kena tembak atau mati kelaparan," terangnya dengan mata yang mulai memerah.

Dalam kesehariannya, karena logistik sulit didapat, ia menyebut masih bisa memakan nasi dan telur karena persediannya masih ada. Jika pun bisa bertahan di sana hanya sekitar seminggu karena logistik di kedai habis. Begitu pun dengan air.

"Jadi macemana nak masak kalau begitu," tutupnya.