BEM se-Riau Hasilkan Kesepahaman Penerapan UU Cipta Kerja Selesaikan Kegiatan Usaha Dalam Kawasan Hutan

Bem-se-Riau.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU- Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Rahardjo Budi Kisnanto, menegaskan Undang-undang Cipta Kerja (UU CK) Nomor 11 Tahun 2020, khususnya pasal 110A dan 110B yang telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemeritah No. 24 tahun 2021 secara eksplisit mengatur perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki perizinan di bidang Kehutanan yang telah ada sebelum UU ini tidak dapat dikenakan sanksi pidana, tetapi berlaku asas ultimum remedium.

Perusahaan tersebut, tutur Asintel Kejati Riau ini, khusus kategori pasal 110A UUCK diberikan kesempatan menyelesaikan pengurusan perizinan di bidang Kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

"Pada pasal 110 A, perusahaan diberikan kesempatan untuk menyelesaikan persoalan mulai dari mengurus perizinan hingga membayar PSDH-DR" ungkap Rahardjo saat menjadi narasumber Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Riau, Sabtu (26/11/2022), di Gedung Pustaka Universitas Lancang Kuning (Unilak).

Selain Asintel Kejati Riau, BEM Se-Riau juga menghadirkan aparat penegak hukum, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Riau, serta para mahasiswa. FGD kali ini membahas sengketa lahan yang di terjadi di Riau.

Asintel Rahardjo Budi Kisnato menjelaskan, saat ini terdapat 84 perusahaan perkebunan di Riau belum mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). UU CK, jelasnya, pada Pasal 110 A dan Pasal 110B, menjelaskan, seluruh kegiatan aparat kepolisian dan kejaksaan 'dibatasi' penindakannya kepada perusahaan.

Di dalam UUCK diatur penyelesaian keterlanjuran kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan. Ini diturunkan regulasinya melalui PP 24 tahun 2021. Kementerian LHK menyatakan, penyelesaian keterlanjuran tersebut dengan menerapkan Ultimum Remedium, yaitu akan menerapkan denda kepada semua subjek hukum yang memiliki kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan.

Ada 2 tipe kegiatan usaha tanpa izin yang diatur penyelesaiannya. Pertama, kegiatan usaha yang telah memiliki izin lokasi dan atau izin usaha perkebunan dan sesuai tata ruang, tetapi tidak memiliki izin bidang kehutanan (pasal 110 A UUCK).

Kemudian, kegiatan usaha tanpa izin lokasi dan izin usaha serta tidak memiliki izin bidang kehutanan (pasal 110 B UUCK),

Adapun rumus penghitungan sanksi denda antara lain, untuk tipe pertama Pasal 110 A UUCK berupa pembayaran PSDH DR. Sedangkan, tipe kedua pasal 110 B UUCM berupa pembayaran denda berdasarkan rumus = luas (ha) kegiatan usaha tanpa izin dikali jangka waktu usaha (tahun) dikali keuntungan bersih per hektar per tahun dari kegiatan usaha

Rahardjo meminta masyarakat untuk tidak perlu takut dengan UUCK pasal 110A dan 110B.

"Kita tidak perlu bersiteru dengan UUCK, karena ada aplikasi Online Single Submission (OSS). apa yang dibutuhkan tertera disana semua karena mempermudah perizinan," terangnya.

Pada intinya, ia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak perlu khawatir. Kejati Riau telah membentuk tim terpadu bertugas menyelesaikan persoalan sengketa lahan di kawasan hutan.

"Kita sudah bentuk tim terpadu dari seluruh OPD terkait. Jangan hanya kepolisian dan kejaksaan. Kalau hanya kejaksaan dan kepolisian tidak akan selesai," jelasnya.

Sementara itu, Ketua DPD Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Riau, Suryadi, mengatakan dua pasal di atas merupakan upaya terakhir dari proses penegakkan hukum pidana. "Pemerintah harus bekerja sama melihat ini, jika tidak kita bisa rugi dua kali, lahan hutan Riau dieksploitasi dua kali," papar Suryadi

Suryadi meminta kepada seluruh OPD terkait mengawal kasus sengketa lahan sehingga proses ini dapat diketahui secara transparan dan akuntabel, serta upaya hukum dan penindakannya.

"Seperti pada 2015 ke bawah, setiap tahun dihadiahi bencana kabut asap karena ekploitasi hutan, ke depan kita tidak berharap hal itu terulang kembali," harapnya.

Kepolisian Kehutanan DLHK Riau, Agus Suryoko, mengatakan swtidaknya ada 5,39 juta hektare luas hutan di Riau sudah berisi perkebunan baik skala besar dan skala kecil.

Terkait adanya sengketa lahan, terutama di dalam kawasan hutan, ada ketentuan pasal serta ada mekanisme penyelesaian.


"Kita telah berupaya meminimalisir ilegal logging, namun saat sekarang Ilegal logging masih maraknya di Riau serta persoalan lahan. Ini butuh kerjasama lita semua," pungkasnya.

Di penghujung FGD, BEM Se-Riau membacakan butir-butir kesepahaman berisikan:

1. Memahami dan mendukung penegakan hukum berdasarkan UUCK terhadap keterlanjuran kegiatan usaha dalam kawasan hutan (seperti perkebunan sawit) dengan menerapkan asas Ultimum Remedium atau penerapan sanksi pidana menjadi upaya terakhir, sesuai dengan mandat UUCK bidang kehutanan Pasal 110A dan 110B sebagaimana telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021, isinya mengatur teknis penerapan sanksi pembayaran PSDH-DR dan pembayaran sanksi denda (dihitung sebagai
PNBP/Penerimaaan Negara Bukan Pajak).

2. Memahami keterlanjuran kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan di Riau terluas di Indonesia, 1,4 juta hektare (KLHK Agustus 2022) didominasi perkebunan sawit milik rakyat/kelompok masyarakat, korporasi, koperasi dan usaha milik negara serta infrastruktur pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukannya dengan transparan, profesional dan tidak boleh tebang pilih serta harus bebas KKN.

3. Sebagai insan muda terpelajar yang peduli terhadap pembangunan di Provinsi Riau, maka Kami berkomitmen menentang dan mengutuk oknum-oknum mengatasnamakan mahasiswa dan pemuda diduga disponsori oleh oknum tak bertanggungjawab dengan cara menyebarkan informasi hoaks dan menyerang kelompok usaha tertentu mengenai kegiatan usaha perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Riau, serta tidak terbawa arus untuk melakukan kampanye negatif tentang Sawit.

4. Memahami bahwa kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan pasca berlakunya UU CK ditujukan untuk memperbaiki tata kelola hutan dengan tetap memperhatikan asas kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum.

 

5. Memahami dan mendukung penerapan UUCK sebagai upaya pemerintah pusat dan daerah menjaga iklim investasi di Indonesia dan khususnya di Riau, terlebih kondisi ekonomi global sedang menghadapi ancaman resesi. Karena itu, kami menentang segala bentuk dan upaya untuk mengganggu iklim investasi di Riau.

6. Mendukung dan mendorong agar Kementerian LHK, Kepolisian Daerah Riau, Kejaksaan Tinggi Riau, dan Pemerintah Provinsi Riau selalu bersikap profesional dalam menyikapi berbagai aspirasi yang berkembang terkait penyelesaian usaha tanpa izin dalam kawasan hutan. Termasuk jika ada tekanan dari kelompok kepentingan tertentu yang mengindahkan mandat UUCK bidang kehutanan.

7. Memahami bahwa penerapan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam penyelesaian suatu kasus kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan hanya bisa diterapkan dalam hal telah ada tindak pidana asal (predicate crime) terlebih dahulu, seperti dalam kasus Duta Palma Grup.