Hari Ini 21 Mei 2022 Tepat 24 Tahun Soeharto Lengser dari Jabatannya

Soeharto-The-Untold-Stories.jpg
(Okezone.com)

Laporan Dwi Fatimah

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Peristiwa 21 Mei 1998 atau tepat 24 tahun yang lalu, Soeharto lengser dari jabatannya setelah 32 tahun menjabat sebagai Presiden Indonesia. Peristiwa tersebut masih membekas bagi masyarakat Indonesia sampai hari ini.

Dimuat dari laman Kepustakaan Perpusnas, Soeharto resmi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia sejak Maret 1968. Sejak saat itu, Soeharto memulai rezimnya yang dikenal dengan sebutan Orde Baru.

Mundurnya Soeharto dari jabatannya tak lain karena desakan dari ribuan mahasiswa yang menuntut perubahan reformasi untuk pemerintahan yang lebih baik. 

Sebagai salah satu peristiwa besar bagi masyarakat Indonesia, penting untuk mengetahui apa yang terjadi pada peristiwa 21 Mei tersebut. Seperti apa kondisi saat itu hingga ratusan demonstran merenggut nyawa dan dinyatakan hilang.

Dalam menjalan pemerintahan, yang menjadi fokus utama Soeharto adalah membangun ekonomi Indonesia. Konsep pembangunan ekonomi yang maju menurut Soeharto ialah dengan melakukan stabilitas keamanan baik nasional maupun regional. 

Asvi Warman Adam dalam bukunya yang berjudul ‘Membongkar Manipulasi Sejarah’, menyebutkan bahwa Presiden Soeharto mempercayakan pembangunan ekonomi kepada kaum teknokrat. Soeharto juga menunjuk orang-orang seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, J.B. Sumarlin, Saleh Afiff, dan Andrianus Mooy sebagai pelopor utama dalam membangun perekonomian Indonesia. Keberhasilan pembangunan ekonomi pada saat itu dapat dilihat dari menurunnya angka inflasi pada angka 40-50% dari yang sebelumnya 650%.

Selain itu, mereka mampu menjadwalkan kembali pembayaran utang luar negeri dan juga membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada angka 8,6%. Padahal, sebelumnya mereka hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi pada angka 5%. 

Akan tetapi, semua citra baik yang telah dibangun oleh Soeharto perlahan runtuh akibat tergerusnya kepercayaan publik terhadap pemerintahannya. Rakyat mulai tidak percaya, karena maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh pemerintahan.



Kemudian, sikap otoriter dan hilangnya kebebasan pers maupun berpendapat membuat rakyat tidak nyaman. Akibatnya, terjadi berbagai peristiwa mencekam di berbagai wilayah. Muncul konflik-konflik sosial budaya yang sampai melibatkan isu sara. 

Puncak dari ketidakpercayaan rakyat, yaitu ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997. Pada awal Juli 1997 krisis terjadi di Thailand yang diikuti dengan penurunan nilai tukar mata uang di berbagai negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah yang mulanya Rp2.500 per dolar AS mengalami kemerosotan hingga 9 persen. 

Kemerosotan nilai tukar rupiah terus terjadi, pada Oktober 1997 nilai tukarnya menjadi Rp4.000 per dolar AS. Puncak kemerosotan itu terjadi pada Januari 1998, di mana nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp17 ribu per dolar As. Melemahnya nilai rupiah, mengakibatkan naiknya harga bahan-bahan pokok, harga premium naik dua kali lipat, ribuan usaha bangkrut, meluasnya pengangguran, terjadinya PHK besar-besaran, dan meningkatnya jumlah orang miskin baru.

Situasi ekonomi yang terus mengalami krisis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta terjadinya beberapa konflik di beberapa wilayah menyebabkan munculnya gerakan mahasiswa ingin menuntut reformasi.

Gerakan tersebut sudah terjadi sejak akhir Februari 1998 dan memuncak pada 12 Mei 1998. Terjadi peristiwa empat orang aktivis mahasiswa Tri Sakti merenggut nyawa akibat tembakan peluru tajam aparat kepolisian. Setelah kejadian itu, kerusuhan mulai terjadi hingga 15 Mei 1998. 

Kemarah mahasiswa kian memuncak. Para mahasiswa kembali berencana melakukan demo. Mahasiswa Tri Sakti menggelar mimbar besar untuk menyampaikan orasi dan tuntutannya.

Aksi massa semakin tidak terkendali. Sebagian dari massa mencegat mobil dan sepeda motor kemudian merusak dan membakarnya. Suasana mencekam saat itu pun tidak dapat dihindarkan.

Peristiwa pembakaran tersebut menjadi pemicu kerusuhan di seluruh Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Terjadi penjarahan di beberapa pusat perbelanjaan di Jabodetabek. Bangunan dirusak dan dibakar membuat kondisi di Jakarta saat itu semakin tidak terkendali.

Tercatat ribuan orang tewas di Jakarta. Di berbagai daerah juga terjadi kerusuhan akibat tidak ada lagi rasa percaya masyarakat pada pemerintah.

Seperti di Medan, kerusuhan terjadi ketika pada mahasiswa mulai berunjuk rasa di kampus kampus serta ribuan warga ikut turun ke jalan merusak, membakar dan menjarah toko serta gudang penyimpanan barang. Aksi lanjutan di Medan kemudian mulai mengarah ke arah sentimen rasial hingga mendorong pengungsian besar besaran para warga keturunan Cina.

 

 

Kejadian yang semakin mencekam serta ketidakstabilan kehidupan sosial dan politik di Indonesia mendorong Ketua DPR bersama pimpinan memerintahkan Soeharto untuk mundur dari jabatannya.

Kemudian pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden Indonesia dan digantikan oleh BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Pernyataan pengunduran diri tersebut dilakukan di Ruang Credential Istana Merdeka pada pukul 09.00 WIB.

Dalam pidato pengunduran diri tersebut, Soeharto menyatakan "Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik."