Hambatan Dalam Pengembangan Kelapa Sawit Sebagai Biofuel

Hambatan-dalam-pengembangan-kelapa-sawit-sebagai-biofuel.jpg
(Mongabay)

Laporan Linda Mandasari

RIAUONLINE, PEKANBARU-Kelapa sawit merupakan tanaman tropis yang dikenal sebagai penghasil minyak sayur. Tanaman ini berasal dari Amerika.

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848, saat itu ada 4 Batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari mami tius dan Amsterdam lalu ditanam di kebun raya Bogor.

Kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5000 kg minyak mentah atau hampir 6000 liter minyak mentah.

 

Saat ini Riau Online akan membahas mengenai Kelapa Sawit, Hambatan dalam pengembangan kelapa sawit sebagai biofuel, simak ulasannya berikut ini.

Menurut para pemerhati lingkungan dan ilmuwan, protokol Kyoto membuat kesalahan dengan mengasumsikan bahan bakar non minyak tidak menghasilkan karbon sebagai efek samping.

Padahal bahan bakar non minyak juga menyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi melalui proses produksi bahan bakar tersebut, di mana setiap tahunnya sekitar 180 juta ton karbondioksida diemisikan ke udara sebagai hasil pembakaran lahan gambut, untuk membuka perkebunan di Malaysia dan Indonesia.

Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan dari akademisi universitas Sriwijaya yang mengatakan bahwa pemekaran energi biofuel 10 kali lipat dibandingkan pembakaran energi fosil.

Memang biofuel tidak menimbulkan pembakaran karbon yang dapat merusak lingkungan akan tetapi proses produksinya dapat berakibat besar terhadap pengaruh sakan lingkungan. Selain itu pada kenyataannya, biofuel mempercepat perubahan iklim dengan menghilangkan salah satu alat penyimpan karbon yang paling efektif di dunia yaitu hutan hujan tropis.

Satu perkebunan minyak kelapa sawit atau biofuel menutupi berjuta-juta hektar lahan di Asia tenggara,di mana perkebunan semacam ini telah secara langsung atau tidak mengalih fungsikan hutan hujan tropis dan berakibat pada hilangnya habitat bagi spesies seperti badak dan orangtua serta lenyapnya karbon yang disimpan di dalam pohon pohon dan tanah tanah gambut.

Program biofuel telah mendorong meningkatnya ekspansi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerusakan lingkungan, rusaknya hutan hutan rakyat, hutan lindung dataran rendah di Sumatera serta taman Nasional.



Selain itu program ini juga telah meningkatkan potensi konflik sosial. Berdasarkan catatan sawit watch, sebuah LSM pemerhati lingkungan, bahwa pada tahun 2003 konflik sosial berjumlah 140 akan tetapi di tahun 2007 meningkat hampir 4 kali lipat yaitu tercatat 513 konflik sosial yang langsung bersentuhan dengan perkebunan besar kelapa sawit.

Kelapa Sawit, Hambatan dalam pengembangan kelapa sawit sebagai biofuel

Masalah juga muncul pada berkurangnya jatah untuk supply kebutuhan makanan di dunia karena produk produk bahan pangan kini juga semakin banyak yang dikonversi menjadi biofuel.

Banyak bahan pangan yang diolah menjadi biodiesel seperti jagung, kelapa sawit, ketela dan tebu. Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis pangan di mana-mana.

Setiap perkebunan monokultur yang berskala luas sangat beresiko terhadap lingkungan hidup, apalagi kelapa sawit merupakan tanaman yang rakus air.

Kelapa sawit setiap harinya membutuhkan air sebanyak 20-30 liter / pohon dan juga banyak menyerap unsur hara yang berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah.

Hal ini mengakibatkan kurangnya kawasan resapan air, sehingga pada musim hujan akan mengakibatkan banjir karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air.

Walaupun harga produksi kelapa sawit lebih murah dibandingkan harga produksi tanaman yang menghasilkan minyak nabati lainnya, namun harga jual minyak sawit untuk biodiesel masih belum kompetitif karena produk biodiesel dalam negeri dianggap tak mampu bersaing dengan BBM subsidi.

Pemerintah tak mampu menyerap karena tingginya biaya produksi akibat lonjakan minyak sawit. Para pengusaha perkebunan kelapa sawit juga menghadapi kendala untuk mengekspor kelapa sawit sehingga ekspor pun tak dapat menjadi jalan keluar yang baik karena harga jual biodiesel juga lebih murah dibandingkan CPO untuk konsumsi.

 

 

Berbagai hambatan dalam menciptakan biofuel dari kelapa sawit harus segera diatasi dan pemerintah adalah pihak utama yang diharapkan dapat mengatasi masalah ini, karena pemerintah memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk membuat peraturan dan kebijakan kebijakan terkait dengan industri kelapa sawit dan juga program pembuatan biofuel.

Sekian informasi mengenai Kelapa Sawit, Hambatan dalam pengembangan kelapa sawit sebagai biofuel. Semoga informasi yang telah Riu Online berikan bermanfaat bagi pembaca.