(istimewa)
Senin, 6 Januari 2020 06:57 WIB
(istimewa)
Laporan: RISKI APDALLI
RIAU ONLINE, PANGKALAN KERINCI - Disahkannya revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pelalawan pada 30 Desember 2019 lalu, oleh Pimpinan DPRD Pelalawan dan Pemerintah Daerah (Pemda) Pelalawan secara otomatis pada tanggal 31 Desember 2019, Perda RTRW Pelalawan sudah berlaku dan mempunyai badan hukum dilapangan.
Dalam pengesahan Perda RTRW tersebut, tidak sedikit pula terjadinya penolakan dan kontroversi baik dari DPRD Pelalawan itu sendiri maupun dari kalangan aktivis serta lembaga Adat.
Pasalnya, dari data yang di rangkum RiauOnline.co.id, penolakan yang terjadi akibat tidak memihaknya kepada masyarakat perihal Perda RTRW yang baru disahkan menjelang tutup tahun 2019 tersebut.
Salah satunya dari perwakilan Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), Firka Maulana yang mana pihaknya menanyakan kawasan lindung gambut yang dari awal berjumlah sebanyak 155.349,89 Hektar (Ha) berubah status berjumlah 3.409,89 Ha. Ironisnya lagi, sisa dari jumlah lahan gambut tersebut masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (KHPT).
"Yang kami tanyakan kenapa lahan gambut yang seluas 155.349,89 Hektar menjadi 3.409,89 Hektar?. Jadi apakah lebih dulu hidup Perusahaan dari masyarakat penduduk pribumi di Kabupaten Pelalawan ini?," tanya Firka perwakilan aktivis JMGR cabang Pelalawan ini.
Jadi, tambah Firka, dengan adanya kejanggalan itu, menurutnya Perda RTRW yang baru disahkan tersebut jelas memihak kepada Korporasi atau Perusahaan dan tidak memihak kepada masyarakat.
"Di sini jelas kita lihat, Perda RTRW ini tidak memihak kepada masyarakat dan lebih menguntungkan Perusahaan semata. Belum lagi banyaknya wilayah Desa yang masuk dalam kawasan hutan HGU, HTI dan kawasan Konservasi," tegas Firka kepada RiauOnline.co.id.
Baca Juga
Dalam hal ini Bupati Pelalawan H.M Harris didampingi Sekdakab H.T. Muklis dan Kepala Bappeda Pelalawan H.M. Syahrul Syarif sebagai narasumber memberikan keterangan resmi terkait kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan tentang pengesahan Perda RTRW yang berlaku dari tahun 2019 hingga tahun 2039 itu.
Bupati Harris mengatakan bahwa pengesahan RTRW tersebut tidak merupakan proses baru yang dibuat akan tetapi ini adalah revisi atas pengajuan melalui proses panjang yang telah dilalui sejak tahun 2011, dimulai dengan pengajuan terlebih dahulu kemudian pengesahan oleh DPRD saat itu pada tahun 2014, akan tetapi di level pemerintah pusat Pemkab diminta kembali untuk mengevaluasi dengan melakukan penyesuaian RTRW Provinsi Riau.
"Tahun 2011 kita ajukan saat itu, kemudian 2014 RTRW ini disahkan oleh DPRD kita, lalu di pusat kita diminta untuk mereview menyesuaikan dengan RTRW dari Pemerintah Provinsi Riau, akan tetapi saat itu Pemerintah Propinsi Riau RTRW nya belum disahkan," jelasnya.
Apabila pengesahan tersebut, tambahnya, tidak dilakukan kemarin (Senin-res) tentunya Pemkab diminta mengajukan RTRW kembali dari awal.
"Batasnya di akhir Desember 2019 itu, apabila tidak ada pengajuan, maka kita akan memulai kembali dari awal proses pengajuannya dan tentunya ini akan berpengaruh kepada pembangunan kabupaten pelalawan kedepan," tambahnya.
Dikatakan Bupati Harris, terkait permasalahan masuknya lahan masyarakat dalam kawasan konservasi sepenuhnya itu sudah ditentukan oleh Kementerian terkait, sedangkan Pemkab berada di luar wewenang. Pemerintah Daerah tentunya masih dapat melakukan komunikasi bersama pemerintah pusat.
"Permasalahan lahan masyarakat dalam kawasan, batas wilayah dan lainnya saya sudah sampaikan langsung kepada Kementerian terkait dan meraka juga siap akan melihat dan melakukan revisi langsung meninjau titik koordinat yang sudah ada ke Pelalawan, tentunya komunikasi akan terus kita lakukan," kata Bupati Harris dalam konferensi persnya Kamis, (02/01/2020) lalu.
Pihaknya berharap adanya dialog dan komunikasi tanpa berpikir negatif atas pengesahan RTRW.
"Ini tentunya kita bijak menyikapi hal ini dan tidak ada kaitannya dengan politik dan lainnya apalagi kepentingan kelompok sepenuhnya untuk Pelalawan kedepan." dia menambahkan.
Selain itu, Sekda Tengku Muklis menambahkan bahwa revisi Perda RTRW tersebut sudah dilakukan pengujian yang mendalam dari berbagai pihak terkait.
"Dikembalikan RTRW kita ke Kabupaten karena adanya Uji Publik Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan ini kita bukan membuat baru, hanya menindaklanjuti apa yang sudah pembahasan sebelumnya di tahun 2014 dan ini adalah evaluasi yang harus sesuai dengan RTRW Propinsi Riau dan juga Nasional, sedangkan RTRW Propinsi Riau baru di sahkan tahun 2018 yang lalu, dan RTRW kita ini juga harus di sinkronisasi sama dengan Propinsi Riau," tambah Sekda saat konferensi pers itu.
Pada saat ditanyakan bahwa pengesahan revisi Perda RTRW tahun 2019-2039 ini tidak berpihak kepada masyarakat karena masih banyaknya wilayah Desa di Pelalawan yang masuk dalam kawasan hutan, pihak Pemda Pelalawan membenarkan bahwa belum sempurna."Belum sempurna iya. Tapi Perda ini menjadi dasar pijakan kita dalam memperbaiki tata ruang kita," tandasnya.***(Ris).