Kaleidoskop 2023: Sejarah Kelam KPK, Berakhirnya Firli Bahuri, hingga Kasus Fenomenal

Ilustrasi-kpk2.jpg
(Liputan6.com)

RIAU ONLINE - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatatkan sejah kelam di tahun 2023. KPK mengalami titik terendah saat Polda Metro Jaya menetapkan sang pemimpin Firli Bahuri sebagai tersangka korupsi.

Firli diduga melakukan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Pemerasan terkait penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian.

Ditetapkannya Firli sebagai tersangka korupsi sekaligus mencetak sejarah di tengah upaya lembaga antirasuah itu memberantas korupsi di Tanah Air. Sejak didirkan pada 2003, baru kali ini pemimpin tertinggi KPK menjadi tersangka dugaan korupsi.

Sang ketua lembaga antirasuah yang terjerat kasus rasuah harus melepaskan jabatannya setelah Presiden Joko Widodo menonaktifkannya. Nawawi Pomolango kemudian mengisi jabatabn Ketua KPK sementara setelah dilantik di Jokowi di Istana Negara pada 27 Oktober lalu.

Sedangkan Firli Bahuri yang tak terima ditetapkan sebagai tersangka lantas mengajukan preperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 24 November 2023. Namun perlawanannya kandas dalam putusan hakim yang tak menerima praperadilannya pada 19 Desember 2023.

Pada 21 Desember 2023, purnawirawan polisi jenderal bintang tiga itu mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua KPK. Ia mengaku telah mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden pada 18 Desember 2023.

Namun surat itu harus direvisi, sebab Firli menggunakan kata 'berhenti' bukan 'mengundurkan diri.' Akhirnya setelah melakukan perbaikan, surat pengunduran diri kembali dikirimkannya pada 22 Desember.

Bersamaan dengan perkaranya pidananya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) juga mengusut pelanggaran etik Firli. Lima Anggota Dewas KPK menyepakiti Filrli melakukan pelanggaran etik berat, karena berkomunikasi dan melakukan pertemuan dengan SYL. Sebagai sanksi atas perbuatannya Firli diminta mengundurkan diri, dikutip dari Suara.com, Minggu 31 Desember 2023.

Firli juga terbukti melakukan pelanggaran etik, karena tak jujur melaporkan hartanya di dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara). Harta yang tidak dilaporkannya berupa kepemilikan vala senilai Rp 7,8 miliar, tujuh tanah dan bagunan yang dibeli menggunakan atas nama istrinya.

Dalam hitungan hari menuju 2024, pada 28 Desember 2023, karier Firli Bahuri berakhir di KPK. Presiden Jokowi resmi memberhentikannya. Putusan Dewas KPK yang menyatakan Firli melakukan pelanggaran kode etik berat menjadi satu pertimbangannya.

Asusila hingga Korupsi di Internal KPK

Saat pimpinan bermasalah, bawahannya pun turut menanggung masalah. Hal inilah yang tergambarkan pada kondisi di KPK sepanjang 2023.

Sebelum prahara Firli Bahuri, sejumlah perkara telah terjadi di internal KPK. Wakil Ketua KPK Johanis Tanah tersangkut dugaan pelanggaran etik. Tanak adalah pengganti Lili Pintauli Siregar, wakil ketua KPK yang mengundurkan diri usai tersandung dugaan penerimaan gratifikasi.

Tanak dalam perkaranya diduga berkomunikasi dengan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite, yang tengah berperkara di KPK.

Empat anggota Dewas KPK pada 19 Juni 2023, akhirnya sepakat memutuskan Tanak tak terbukti bersalah melakukan pelanggaran etik. Namun anggota Dewas KPK Albertino Ho menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda.

Albertina yang merupakan mantan hakim, menyakini Tanak bersalah melakukan pelanggaran etik dengan berkomunikasi denggan Idris Sihite, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

Masih pada Juni 2023, Dewas KPK mengungkap adanya pungutan liar (pungli) di lingkungan Rutan KPK. Angkanya ditaksir mencapai Rp 4 miliar, dan diduga sudah berlangsung lama. Ada puluhan petugas rutan yang terlibat dalam perkara ini.

Pungli agar para tersangka korupsi mendapat fasilitas lebih saat di tahanan, seperti memiliki handphone, makanan lebih, dan tidak ikut bersih-bersih.

Terungkapnya kasus pungli ini bersamaan dengan adanya perkara pelecehan seksual yang dilakukan petugas Rutan KPK berinisia M kepada istri seorang tahanan korupsi. M diduga melakukan panggilan telepon video sex kepada korban.

Kasus ini pun berakhir dengan sanksi etik yang dijatuhkan Dewas KPK kepada M berupa permintaan maaf secara terbuka dan tidak langsung.

Seperti tak ada habisnya, terungkap pula kasus dugaan korupsi yang dilakukan pegawai KPK berinisial NAR di bagian administrasi. NAR diduga menilap uang perjalanan dinas luar kota penyidik KPK hingga mencapai Rp 550 juta.



NAR diduga memanipulasi biaya perjalanan dinas luar kota. Menurut sumber Suara.com di internal KPK, NAR memanipulasi jumlah tiket pesawat, hotel, penyewaan kendaraan, dan uang makan.

Uang itu kemudian diduga digunakan NAR untuk berlibur dan berbelanja. Pada 21 September, KPK mengambil tindakan dengan memecatnya.

Kedua kasus korupsi dan pungli itu belum menemukan titik untuk pertanggung jawaban pidananya. Terakhir pada 6 Desember, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut, dua perkara itu masih dalam proses penyelidikan, alias belum ada tersangka yang ditetapkan.

Lukas Enembe hingga Pamer Berujung Pidana

Di tengah persoalan internal, sejumlah upaya penindakan pun masih berjalan di KPK. Pada awal 2023, tepatnya 10 Januari, KPK menangkap Lukas Enembe karena melakukan korupsi saat menjabat Gubernur Papua. Lukas ditangkap setelah ditetapkan sebagai tersangka pada September 2023.

Dalam persidangan Lukas Enembe didakwa melakukan korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar. Selain itu dia juga menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang. Pada persidangan juga terungkap perilaku Lukas yang bermain judi di Siangpura.

Pada 19 Oktober, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepada Lukas. Selain itu, hak politiknya dicabut selama lima tahun.

Namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberatkan hukumannya dari 8 menjadi 10 tahun usai dirinya mengajukannya banding.

Baru-baru ini, Lukas Enembe meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, 26 Desember 2023.

Setelah Lukas, KPK menangani sejumlah kasus korupsi fenomenal. Perkara yang berawal dari peristiwa viral di media sosial.

Mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun, harus berurusan dengan KPK setelah sang putra, Mario Dandy Satrio melakukan penganiayaan berat terhadap remaja bernama David.

Gaya hidup mewah putranya yang kerap dipamerkan di media sosial menjadi pertanyaan bagi publik. Mario saat datang untuk melakukan penganiayaan ke David menggunakan mobil Jeep Robicon.

Publik yang geram akan tingkah Mario, memviralkan gaya hidup mewah keluarganya yang diduga tidak berkesuain dengan profil Rafael sebagai pejabat pajak.

KPK lantas merespons dengan memanggil Rafael untuk diklarifikasi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) miliknya. Menemukan ada janggal, Rafael dijadikan tersangka dan ditahan sejak 3 April 2023.

Dalam persidangan Rafael didakwa menerima gratifikasi Rp 16,6 miliar bersama istrinya, Ernie Meike Torondek dan pencucian uang sekitar Rp 100 miliar. Pada persidangan 11 Desember, Rafael dituntut Jaksa KPK 14 tahun penjara.

Seperti efek domino, pamer berujung tersangka korupsi lantas menyasar Mantan Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono. Dia diumumkan KPK sebagai tersangka pada 12 Juni dan ditahan sejak 7 Juli.

Kasusnya juga berawal dari perilaku anak dan istrinya yang kerap menampilkan gaya hidup mewah menggunankan barang-barang dari merek internasional. Pada persidangan, Andhi didakwa melakukan dugaan korupsi berupa penerimaan gratifikasi Rp58,8 miliar selama 11 Tahun.

Masih di lingkungan Kementerian Keungan, ada nama mantan Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto. Kasusnya juga sama berawal dari gaya hidup mewahnya yang viral di media sosial. Dari sejumlah foto yang beredar menunjukkan Eko berposes bersama kendaraan mewah.

Dia dijadikan tersangka dan ditahan KPK sejak 8 Desember 2023. Eko diduga melakukan korupsi berupa penerimaan gratifikasi senilai Rp 18 miliar.

Penetapan mantan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka juga menjadi salah satu kasus korupsi yang menarik perhatian publik.

Kasus ini berawal saat KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT kepada Letkol Afri Budi Cahyanto, anak buah Henri pada 25 Juli. Setidaknya sejumlah orang tertangkap.

Henri bersam anak buahnya diduga menerima suap senilai Rp 88 miliar dari sejumlah pengusaha terkait dengan pengadaan barang dan jasa di Basarnas. KPK yang mengumumkan Henri dan sejumlah pihak swasta sebagai tersangka harus meminta maaf kepada TNI.

Permohonan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada 28 Juli, usai didatangi sejumlah petinggi Pusat Polisi Militer (Puspom TNI) di Gedung Merah Putih KPK.

Tanak mengaku ada kekhilafan dari penyidik dan penyilidik KPK dalam memutuskan Henri dan Afri sebagai tersangka. Dia berdalih sesuai dengan Undang-Undang, kewenangan hukum pidana keduanya harusnya ditangani Puspom TNI dan diadili di Pengadilan Militer.

Selanjutnya kasus korupsi yang menjerat Sekretaris Mahkamah Agung (MA) nonaktif Hasbi Hasan. Dia dijadikan tersangka dan ditahan sejak 12 Juli. Dia dijadikan tersangka dugaan korupsi berupa penerimaan suap dalam pengurusan perkara di MA.

Pada persidangan, Jaksa KPK mendawka Hasbi Hasan menerima suap Rp 12,2 miliar dan gratifikasi Rp 630 juta. Kasus ini pun semakin menarik perhatian publik, karena menyeret nama penyanyi Windi Yunita Bastari Usman alias Windi Idol.

Pada persidangan disebutkan dari penerimaan gratifikasi, salah satunya digunakan Hasbi Hasan dan Windy Idol menaiki hilikopter untuk mengelilingi bali.

Kemudian kasus korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dalam kasus ini SYL ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan usai ditangkap pada 12 Oktober.

SYL jadi tersangka bersama Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Muhammad Hatta, dan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono.

Ketiganya diduga melakukan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan, bersama-sama menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa memberikan sesuatu untuk proses lelang jabatan, termasuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi.

SYL diduga memerintahkan Hatta dan Kasdi menarik setoran senilai USD 4.000-10.000 atau dirupiahkan Rp 62,8 juta sampai Rp 157,1 juta (Rp15.710 per dolar AS pada 11 Oktober 2023) setiap bulan dari pejabat unit eselon I dan eselon II di Kementan.

Uang itu berasal dari realisasi anggaran Kementan yang di-mark up atau digelembungkan, serta setoran dari vendor yang mendapatkan proyek. Kasus korupsi yang menjerat Syahrul terjadi dalam rentang waktu 2020-2023. Temuan sementara KPK menyebutkan ketiganya diduga menikmati uang haram sekitar Rp 13,9 miliar.

Penetapan tersangka terhadap SYL menjadi cikal bakal terkuaknya dugaan pemerasan yang dilakukan Firli Bahuri, hingga menjadi tersangka di Polda Metro Jaya, dan dipecat Presiden Jokowi sebagai Ketua KPK.

Kasus selanjutnya masih dari lingkungan Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo, yakni Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej. Saat menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy diduga melakukan korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi dari senilai Rp 8 miliar dari Direktur Utama PT Cirta Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan.

Pemberian uang itu untuk menyelesaikan tiga perkara Helmut di Kementerian Hukum dan HAM, serta Bareskrim Polri. Uang itu diterima Eddy bersama dua anak buahnya, Yosi Andika Mulyadi, dan Yogi Arie Rukmana. Eddy diumumkan secara resmi sebagai tersangka pada 7 Desember 2023.

KPK belum melakukan penahanan terhadap Eddy dan anak buahnya. Penyidik baru menahan Helmut selaku pemberi suap dan gratifikasi.