Tradisi Brandu Diduga Biang Kerok Serangan Antraks di Masyarakat, Apa Itu?

Sapi2.jpg
((Suara.com/Budi Kusumo))

RIAU ONLINE - Indonesia memiliki beragam tradisi yang dipraktikkan berdasar solidaritas sosial di tengah masyarakat. Brandu satu di antaranya. Namun, tradisi ini kini menjadi bumerang saat Brandu digelar berbalut bakteri antraks hingga menimbulkan korban jiwa.

Brandu, khususnya dikenal di kawasan Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tradisi ini, masyarakat di satu desa mengumpulkan uang dalam jumlah tertentu saat ada ternak satu dari warga yang sakit atau mati mendadak. Uang yang terkumpul diserahkan kepada pemilik ternak, yang kemudian membagikan daging ternaknya secara merata.

“Padahal itu daging bangkai. Warga urunan (memberikan sumbangan-red) mengganti karena kasihan dengan pemilik ternak,” kata dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nanung Danar Dono Ph.D, dikutip dari VOA Indonesia, Minggu, 9 Juli 2023.

Beberapa wilayah di Gunungkidul dikenal sebagai kawasan endemi antraks. Serangan bakteri yang mematikan bagi ternak sudah terjadi berkali=kali. Bahkan kadang disertai korban manusia.

Kasus yang terjadi saat ini telah menelan korban jiwa. Sebanyak 87 dari 143 warga yang menjalani tes antraks dinyatakan positif terjangkit. Sebenarnya, ada dua warga lain yang tewas dalam periode serangan antraks, tetapi mereka tidak diperiksa di rumah sakit, sehingga pemerintah daerah tidak mengkategorikan mereka sebagai korban.

Penyebab terjangkitnya antraks secara massal tersebut adalah tradisi brandu. Pada kasus ini, warga membayar satu paket daging sapi yang ternyata terjangkit antraks seharga Rp 45 ribu.

Menurut catatan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul, pada tersebut terdapat enam sapi dan enam kambing yang mati di satu desa. Kepala DPKH setempat, Wibawa Wulandari, mengatakan proses penanganan sudah dilakukan, yakni dengan mengubur ternak yang mati.

“Sapi yang sakit mati, kemudian disuruh dikubur melalui SOP (standard operating procedure -red). Sudah kita kuburkan, tapi oleh masyarakat ada satu yang digali lagi dan dikonsumsi,” ujarnya.

Pada November 2022, DPKH Gunungkidul telah mencatat kasus antraks di desa ini. Penanganan yang telah dilakukan mulai dari mengubur ternak hingga melakukan penyiraman formalin di area penyembelihan sapi oleh warga. Tujuannya untuk mencegah spora bakteri antraks terus berkembang. Sebanyak 77 ekor sapi dan 289 ekor kambing di area yang sama telah menerima upaya pencegahan dengan antibiotik.

Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubowono X, memberikan perhatian khusus terkati kasus ini. Dia meminta pemeriksaan ternak di kawasan endemi antraks dilakukan dengan lebih ketat. Ternak mati, apalagi karena sakit, juga harus dilarang untuk dikonsumsi.


Sultan mengatakan petugas di lapangan harus tegas menerapkan aturan, sementara masyarakat juga diminta punya kesadaran. Ia menegaskan bahwa ketidakpahamaan masyarakat soal antraks tidak bisa lagi diterima.

“Sebetulnya alasan tidak tahu itu, bagi saya alasan yang selalu dibikin. Pokoknya karena eman-eman (merasa sayang -red) saja, karena ada daging,” ujar Sultan.

Nanung Danar Dono juga menekankan bahaya brandu bagi ternak mati jika terus dilakukan.

“Cukup ini yang terakhir, dan kebiasan brandu itu jangan diulangi lagi, selamanya. Kalau ada hewan mati mendadak, jangan di-brandu. Itu membagikan penyakit,” tegasnya.

Antraks merupakan bakteri dengan daya tahan luar biasa dan sporanya bahkan bsia bertahan ratusan tahun di dalam tanah.

“Sporanya bisa nempel di mana-mana. Tidak mudah untuk mencegah supaya spora ini tidak menyebar,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Profesor Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni.

Endang mengatakan, menyembelih bangkai ternak yang mati karena penyakit berbahaya dapat memicu penyebaran penyakit yang disebabkan bakteri. Khusus untuk antraks, bakteri ini tidak hanya menjangkiti ternak, tetapi juga bisa menular ke manusia dan bahkan bisa berakibat kematian.

“Hewan yang terjangkit tidak boleh dibuka, kalau disembelih itu kesalahan fatal karena bakteri sebagian besar ada di darah. Ketika darah keluar dan berinteraksi dengan udara, terbentuklah spora yang menjadi momok,” rincinya.

Dokter hewan ini menjelaskan, antraks masuk ke Indonesia sejak 1884, dan wilayah yang diserang semakin luas. Sebenarnya, ternak yang diserang antraks bisa diobati hingga sembuh.

“Karena bakteri masih sensitif dengan antibiotik. Untuk pencegahan ada vaksinasi yang perlu diulang setiap enam bulan,” tambah Endang.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY Sugeng Purwanto memastikan upaya vaksinasi telah dijalankan. Menurut data, stok vaksin antraks di DI Yogyakarta saat ini mencapai 2.600 dosis.

“Vaksinasi antraks tersebut dilakukan rutin, kami mengajukan lagi ke pusat tambahan vaksin dengan adanya kejadian kasus antraks di Gunungkidul,” kata Sugeng.

Selain itu, larangan keluar masuk ternak sapi dan kambing dari pusat kasus antraks telah diterapkan. Sampai saat ini, pihaknya menjamin daging yang beredar di pasaran tidak berasal dari ternak yang terkena antraks.

“Kami pun tengah menggencarkan langkah antisipasi dengan melakukan sosialisasi agar kejadian serupa tidak terus berulang, kami mengedukasi masyarakat guna mencegah penularan antraks. Edukasi ini dilakukan melalui media sosial maupun konvensional dan kuncinya butuh dukungan dari semua pihak,” tambahnya.

Kendati telah banyak korban jiwa, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul sementara ini belum menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Status ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 1501/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.

Dalam aturannya, penetapan KLB mengacu sejumlah faktor, seperti lonjakannya yang terjadi dua kali lipat atau lebih dibandingkan tahun atau periode sebelumnya. Faktor kematian yang meningkat 50 persen dalam kurun waktu yang sama diperhitungkan, dan juga proporsi kasus.