Maryatun bersama putranya Arrazaqul, keduanya menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh tiga orang suruhan oknum anggota dewan Sumut. Enam tahun mencari keadilan
(ist)
RIAUONLINE, PEKANBARU - Dihadapan puluhan pengacara, Maryatun terisak menahan tangis menyampaikan kepedihannya mencari keadilan. Enam tahun berlalu, penganiayaan sadis yang dialami keluarganya oleh tiga orang suruhan pemilik lahan inisial AB membuat suaminya Rajiman, 55 tahun dan Anaknya Arrazaqul (11) cacat seumur hidup.
Penganiayaan itu terjadi 2013 silam di Dusun Sera, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir, Riau. Kekerasan fisik dialami Maryatun, anak dan suaminya dipicu sengketa lahan antara keluarganya dengan AB, yang tak lain adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Sumatera Utara. Bahkan, rumah sebagai tempat tinggalnya pun dibakar oleh tiga orang keji tersebut.
"Kami ingin keadilan," kata Maryatun dihadapan puluhan pengacara Senin lalu.
Kisah pilu Masyatun mengundang simpati puluhan pengacara di Provinsi Riau. Sejumlah pengacara menggelar aksi kemanusian dengan mengumpulkan seribu orang advokat untuk memberikan pendampingan hukum kepada keluarga Maryatun.
Kuasa hukum Maryatun, Suroto menceritakan, sebelum terjadi penganiayaan tiga pelaku sudah sering melakukan intimidasi kepada Maryatun dan Suaminya Rajiman untuk mengosongkan lahan kelapa sawit yang mereka garap, di Dusun Sera, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Rokan Hilir. Mereka mengklaim lahan tersebut merupakan milik atasannya AB.
"Mereka klaim lahan itu milik mereka," ujarnya.
Namun Maryatun tetap bersikukuh bertahan di lahan tersebut karena kelapa sawit yang digarapnya mulai berbuah. Maryatun bersama warga lainnya juga memiliki hak pengelolaan lahan yang dikeluarkan oleh aparat desa setempat.
Tiga pelaku kian beringas kemudian membakar rumah milik Maryatun. Meski rumahnya ludes terbakar, namun Maryatun bersama keluarganya tetap bertahan di lahan milik mereka. Hingga pada akhirnya berujung pada penganiayaan keji.
Maryatun, Rajiman dan anaknya arrazaqul yang saat itu masih berusia 5 tahun dihajar habis-habisan menggunakan senjata tajam. Rajiman mengalami 25 luka tusukan, di tubuh bagian depan dan belakang, begitu pula Maryatun dan Arraqul tak luput dari sabetan senjata tajam.
"Pak Rajiman sampai hampir sakratul maut, beruntung masih bisa tertolong, namun sistem syarafnya terganggu dan sulit berfikir," ujarnya.
Maryatun mengalami luka bacok di bagian kepala, tangan dan badan, lalu di buang ke dalam kanal.
Sedangkan Arrazaqul mengalami cedera cukup parah. Saluran tenggorokannya rusak.
Setelah dilakukan serangkaian pengobatan, Arrazaqul harus bertahan hidup menggunakan selang yang terpasang di perutnya.
Hingga kini, Arazaqul harus menggunakan alat khusus yang terpasang pada bagian perut karena mengalami penyumbatan pencernaan. Alat itu masih terpasang sampai saat ini.
"Makanan tidak bisa masuk melalui tenggorokan, sekarang ini ia hanya makan melalui selang yang disuntikan ke dalam perut, itu pun hanya susu, tidak bisa makanan berat," ujarnya.
Sehari setelah kejadian, anak Maryatun lainnya, Sumardi melaporkan penganiayaan itu ke Kepolisian Sektor Panipahan. Polisi bersama warga sempat melakukan pengejaran terhadap tiga pelaku ke barak yang biasa mereka tempati, namun pelaku sudah keburu kabur.
Polisi juga sempat melihat kondisi para korban yang kala itu dirawat di Rumah Sakit Indah Bagan Batu. Namun setelah bertahun-tahun perkara tersebut tidak pernah ditindak lanjuti oleh kepolisian.
"Sampai korban sudah sembuh pun tidak pernah diperiksa," ujar Suroto yang sejak awal membantu keluarga korban itu.
Pada tahun 2017, polisi melanjutkan menangani perkara tersbut. Polisi memeriksa saksi, korban dan bukti visum penganiayaan 2013 silam. Polisi akhirnya menetapkan tiga tersangka pelaku penganiayaan.
"Namun hanya sebatas tersangka, tidak pernah berhasil ditangkap, begitu pula pemilik lahan AB, tidak pernah diperiksa oleh polisi," ujarnya.
AB yang merupakan anggota DPRD di Sumatera Utara ini pada 2011 juga pernah melakukan penganiayaan langsung terhadap salah satu kerabat Maryatun, Suherman, pada lokasi yang sama.
"Dia langsung memukul, menendang dan menusuk dada dengan senjata tajam, dan mengancam mengosongkan lahan, ini juga sudah dilaporkan ke polisi, lengkap saksi dan hasil visum, tapi AB tidak datang memenuhi panggilan polisi, dan tidak ada pula upaya jemput paksa oleh polisi," ujarnya.
Di tahun 2018 yang bersangkutan juga sudah dua kali dipanggil. AB juga telah beberapa kali dilakukan upaya jemput paksa. Namun polisi tak berhasil membawanya, dengan alasan AB tidak diketahui keberadaanya.
"Inikan aneh, dia (AB) kan anggota dewan aktif, kantornya jelas, rumahnya jelas, kawan-kawan kami di kampung sana masih memberi informasi, dia masih sering kampanye, dalam pesta dia sering datang, artinya gampang cari dia, tapi sampai sekarang yang namanya jemput paksa tidak pernah berhasil oleh polisi," katanya.
Sudah tiga kali pergantian Kapolda Riau, namun perkata tersebut masih tidak tertangani.
Upaya mencari keadilan untuk keluarga Maryatun tidak hanya mentok di kepolisian. Maryatun bersama anaknya Arraqul pernah berusaha mendatangi Presiden Joko Widodo, pada hari anak nasional 2017 lalu, namun upaya menemui Presiden Jokowi terhalang barisan Pasukan Pengaman Presiden.
"Kami juga melakukan aksi, tapi tidak bisa menarik perhatian Pak Jokowi, kami terhapal barisan Paspampres," kata Suroto.
Maryatun juga sempat melapor ke seluruh instansi terkait di Indonesia, Presiden, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Ombudsman, Komisi Perlindungan Anak, Kompolnas, Komisi III.
"Semua sudah kami surati, tapi tidak ada tindak lanjut dari mereka,"
Bahkan, Maryatun sudah mendatangi istana presiden dan menginap dua hari di depan istana untuk menemui Presiden Joko Widodo.
"Sempat dijanjikan ketemu Pak Jokowi, tapi akhirnya diusir oleh Paspampres dengan ancaman kalau tidak meninggalkan lokasi maka senjata akan diletuskan," ucapnya.
Maryatun kata Suroto, tidak gentar dengan ancaman Paspampres, bahkan ia mengaku siap mati demi mencari keadilan. "Dia sempat membawa bensin untuk abkar diri, tapi tidak jadi karena anaknya menangis terus," ucapnya.
Suroto mengaku sudah menempuh semua jalur hukum untuk mencari keadilan Maryatun, mulai dari tingkat Polsek, Polres hingga Polda bahkan sampai ke istana, tapi tidak ada tindakan apa-apa.
Suroto berharap, melalui Gerakan 1.000 Advokat Bicara Untuk Kemanusiaan yang digagasnya bersama puluhan pengacara di Riau dapat membuka jalan keadilan bagi keluarga Maryatun.
"Harapan kita, perkara ini sudah enam tahun. Dua alat bukti sudah ada. Visum sudah ada di Polres Rohil. Sudah tersangka dan DPO. Semoga dalam waktu dekat ditangkap," harapnya.
Kepala Sub Direktorat III Direktoras Reserse Kriminal Umum Polda Riau Ajun Komisaris Besar Mohammad Kholiq mengaku bakal melakukan gelar perkara terkait kasus tersebut. Geler perkara dilakukan untuk untuk mengidentifikasi keterlambatan penyidikan.
"Kasus akan kami tindak lanjuti dengan gelar perkara. Apakah ada hambatan atau tidak. Hambatan dari kita atau penyidikan, sehingga kita bisa sampaikan SP2P nya kepada korban," kata Kholiq.