RIAU ONLINE - Perdamaian di beberapa negara-negara yang mengalami konflik tak lepas dari peran aktif Indonesia. Salah satunya rencana perdamaian antara Palestina dan Israel.
Pada 14 dan 15 Januari 2017, Wakil Menlu A.M Fachir sempat berkunjung ke Paris dalam rangka merundingkan solusi terkait konflik Palestina-Israel. Kini, Indonesia menawarkan tempat untuk pertemuan Korea Utara dan Amerika Serikat.
Tak hanya sampai di situ, masih banyak peran Indonesia dalam upaya menciptakan perdamaian negara-negara berkonflik. Dikutip dari Liputan6.com, Senin, 7 Mei 2018, berikut beberapa negara yang berutang budi pada Indonesia karena berhasil berdamai.
1. Perdamaian Thiland saat era Soeharto
Perdamaian Thailand berawal pada awal periode 1980-an, saat itu Presiden Filipina Ferdinand Marcos berusaha mencari dukungan dari negara-negara Timur Tengah dan Indonesia dalam menuntaskan konflik dengan Bangsa Moro di Mindanau. Kala itu, Moro ingin merdeka dan memisahkan diri dari Filipina.
Di Jakarta, Marcos bertemu dengan Soeharto meminta penyelesaian soal Moro agar tetap menjadi bagian Filipina. Permintaan itu disambut oleh Soeharto. Indonesa setuju untuk mendamaikan konflik dengan syarat Bangsa Moro tetap menjadi bagian dari Filipina.
Langkah perdamian ini dilanjutkan oleh pengganti Marcos, Presiden Corazon Aquino.Tahun 1989, disepakati otonomi daerah istimewa untuk kawasan Muslim Mindanau. Namun hal itu tak lantas membuat konflik selesai.
Presiden Fidel Ramos, pada 23 September 1993 ke Jakarta mengunjungi Presiden Soeharto di Jakarta dan kembali meminta bantuan untuk menyelesaikan konflik fi Mindanau.
Indonesia kemudian membawa masalah Mindanau ke Forum Menteri Luar Negeri Negara Muslim. Dibentuk Komite Enam, dengan Indonesia sebagai ketuanya.
"Indonesia dipilih karena menjadi negara Muslim terbesar, punya kepemimpinan yang kuat di kawasan ASEAN dan punya pengalaman menengahi konflik di Kamboja." Demikian ditulis Anak Agung Banyu Perwita dalam buku Indonesia And The Muslim World.
Tak mudah menyelesaikan konflik pemerintah Filipina dengan Bangsa Moro. Indonesia selalu terlibat sebagai fasilitaror. Akhirnya perjanjian damai bisa diteken antara kedua pihak tahun 1996.
2. Konflik perbatasan Thailand dan Kamboja
Thailand dan Kamboja mengalami konflik di satu kuil kuno di perbatasan kedua negara yang disengketakan. Indonesia sebagai Ketua ASEAN kala itu menggelar Informal ASEAN Foreign Minister's Meeting (pertemuan informal para Menlu ASEAN) dengan agenda tunggal pembahasan penyelesaian konflik Thailand dan Kamboja.
Pada pertemuan yang membahas perdamaian Thailand dan Kamboja itu, Indonesia sebagai mediator tercapai ketika Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa mampu mendamaikan kedua negara di PBB pada 14 Februari 2011.
Marty melakukan "shuttle diplomacy" menemui Menlu Kamboja Hor Nam Hong di Phnom Penh dan Menlu Thailand Kasit Piromya di Bangkok untuk mendapatkan informasi dari pihak pertama. Menlu Marty bersama Menlu Thailand dan Kamboja ke New York untuk memberi pertimbangan dan masukan terkait peran ASEAN dalam penyelesaian konflik internal di kawasan. Langkah ini terbukti efektif dengan stabilnya kembali wilayah konflik di perbatasan Thailand dan Kamboja.
"Sejak awal ia menghindari adanya kevakuman pada tingkat kawasan yang memerlukan intervensi secara langsung oleh DK PBB. Kini, sebaliknya, keterlibatan DK PBB adalah dalam rangka mendukung upaya Indonesia selaku Ketua ASEAN," kata Menlu Marty menanggapi langkahnya.
3. Konflik Kamboja dan Vietnam
Indonesia pernah menjadi tuan rumah Jakarta Informal Meeting (JIM) pada 1988 sampai 1989. Pertemuan itu bertujuan untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam.
Saat itu Indonesia berhasil memfasilitasi dan memediasi kedua negara yang sedang bermusuhan untuk bisa duduk bersama-sama mendiskusikan dan menyelesaikan konflik diantara mereka. Hasilnya, Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja dan situasi damai di Kamboja tercipta.
4. Konflik Etnis Rohingya dengan Myanmar
Konflik etnis Rohingya dengan Myanmar, hingga kini masih menjadi perbincangan luar negeri. Banyak yang beranggapan bahwa pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi tak banyak berperan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Indonesia turut turun tangan dalam penyelesaian masalah ini. Sudah beberapa kali Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengunjungi Myanmar dan Bangladesh untuk membicarakan perdamaian Myanmar dengan Rohingya.
Menteri Retno pada 4 September 2017, mendesak pemerintah dan keamanan Myanmar untuk membuka akses masuk bagi pemberian bantuan kemanusiaan untuk mengatasi krisis yang terjadi di Rakhine State. Salah satu pejabat yang ditemui Menteri Retno adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior U Min Aung Hlaing. Menlu menyampaikan bahwa penurunan ketegangan di Rakhine State harus menjadi prioritas pemerintah Myanmar.
Pada 5 September 2017, Menteri Retno juga bertemu dengan Suu Kyi di Myanmar untuk membawa amanah dari masyarakat Indonesia dan dunia internasional terkait krisis kemanusiaan yang dialami muslim Rohingya yang mendapat penyiksaan militer Myanmar.
Menlu Retno menyampaikan usulan Indonesia yang disebut Formula 4+1 untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Myanmar. Pertama, mengembalikan stabilitas dan keamanan. Kedua, agar militer Myanmar menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan.
Ketiga, mendorong pemerintah Myanmar memberikan perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine State tanpa memandang suku dan agama. Keempat, membuka akses untuk bantuan keamanan.
"Elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusian dan keamanan tidak semakin memburuk," jelas Retno.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id