(INTERNET)
Sabtu, 13 Februari 2016 10:30 WIB
Editor: Fakhrur Rodzi
(INTERNET)
RIAU ONLINE - Pembawaan yang tenang saat menjawab berondongan pertanyaan seperti diperlihatkan Jessica Kumala Wongso. Jessica merupakan tersangka dugaan pembunuhan Wayan Mirna Salihin, dengan menggunakan racun sianida ke minuman kopi.
Beragam tudingan dan tuduhan dialamatkan ke Jessica. Mulai dari sosoknya dikaitkan memiliki hubungan sesama jenis dengan Mirna, hingga tuduhan ia seorang psikopat. Benar atau tidaknya hal tersebut tentu masih memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Lalu, apa itu Psikopat?
(Baca Juga: Jessica Dinilai Ayah Mirna Berbohong. Ini Alasannya)
Di serial televisi, atau di film, tutur dr. Nadia Octavia, Anggota Redaksi Medis Kedokteran Umum KlikDokter.com, sering kali dijumpai sosok psikopat sebagai sosok hobi membunuh seseorang dengan keji, atau gemar menyiksa orang tak bersalah.
"Sebenarmya, psikopat merupakan gangguan kepribadian ditandai dengan sikap tidak sensitif, kasar, manipulatif, mencari sensasi dan antisosial," kata Nadia.
Dalam kehidupan nyata, jelasnya, seseorang mengalami gangguan kepribadian tersebut tidak selalu bersikap kasar. Mereka cenderung akan melakukan manipulasi atau melakukan berbagai perilaku tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan apa mereka inginkan.
Psikopat, bagaimana cara mengenalinya?
Psikopat termasuk bagian dari gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian ditandai dengan perilaku antisosial, impulsif, tidak mengikuti atau mengabaikan norma masyarakat/social, dan tidak memiliki perasan takut ataupun bersalah.
Baca Juga
(Klik Juga: Terjawab Sudah Kenapa Jessica Hilangkan Celana Diduga Ada Sianida)
"Terdapat stereotipe di masyarakat, seorang pembunuh merupakan seseorang antisosial, senang menyendiri, dan tidak mampu menjalin hubungan sosial dengan orang lain," ungkapnya.
Padahal sebetulnya, jelas Nadia, beberapa psikopat dapat "terlihat" normal dan bahkan memiliki kehidupan yang sukses. Mengenali sosok psikopat memang tidak mudah.
Pasalnya, ujar Nadia, seorang psikopat bisa saja tampak pandai, rajin, menarik dan memiliki emosi yang baik. Para psikopat ini cenderung bersikap seperti aktor handal dan dapat memanipulasi orang lain dengan mudah. Seorang psikopat cenderung memiliki hati dingin" dan memikirkan matang-matang apa akan ia lakukan.
Untuk mendiagnosis apakah seseorang adalah psikopat atau memiliki kecenderungan psikopat, jelasnya, dapat dilakukan serangkaian tes.
"Satu di antaranya The Hare Psychopathy Checklist pada mulanya digunakan mengetahui kondisi mental seseorang yang melakukan kriminal atau kecenderungan psikopat. Diagnosis dilakukan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV)," ungkapnya.
Adakah psikopat di antara kita?
Jika teman atau kerabat Anda ada yang sering bersikap kasar atau bersikap antisosial, bukan serta-merta ia seorang psikopat atau memiliki gangguan kejiwaan. Seorang psikopat, ujarnya, sesungguhnya bersikap sangat “dingin”, tidak memiliki emosi, dan tidak memiliki rasa empati.
Perlu diketahui, terdapat dua jenis rasa empati, antara lain empati kognitif dan emosional. Empati kognitif merupakan kemampuan mengetahui apa orang lain rasakan. Sedangkan, empati emosional adalah ketika Anda merasakan apa yang orang lain rasakan.
(Lihat Juga: Inikah Alasan Jessica Tega Membunuh Teman Kuliahnya)
Pada orang autisme, mereka dapat merasakan nyeri yang orang lain alami, namun tidak mampu mengenali atau membaca ekspresi orang lain (seperti misalnya kerutan atau senyuman saat seseorang sedang berpikir atau sedang bahagia).
"Pada psikopat justru sebaliknya. Mereka mengetahui apa orang lain rasakan, tetapi tidak dapat merasakannya. Ini justru memberikan "keuntungan" bagi seorang psikopat, karena mereka mengerti apa Anda pikirkan, namun mereka tidak peduli sehingga mereka akan bersikap semena-mena," jelasnya.
Empati bagi para psikopat, kata Nadia, merupakan aktivitas volunter. Tidak seperti ketika kita melihat korban atau keluarga korban pembunuhan, tentu dapat merasakan apa mereka rasakan.
"Namun bagi para psikopat, mereka bisa bersifat manipulatif dengan bersikap seakan-akan memiliki rasa empati, namun perasaan itu bukanlah hal yang konstan. Untuk membujuk korbannya, mereka dapat "menyalakan" mode empati mereka, namun ketika sang korban sudah berada dalam jebakan, rasa empati itu akan kembali hilang," pungkasnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline