RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengamat politik dari Universitas Riau, Rawa El Amady, menyoroti seringnya terjadi konflik antara gubernur dengan bupati sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang pemerintahan daerah. Hal itu dikatakannya mengikuti konflik antara Gubernur Riau, Syamsuar, dengan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, beberapa waktu lalu.
Rawa mengatakan, UU tersebut mengatur bahwa hubungan pemerintah tingkat II dengan pemerintah provinsi bersifat administratif dan bukan kekuasaan struktural. Sehingga, terangnya, hal itu memberi celah terjadinya pembangkangan bupati terhadap kebijakan atau instruksi gubernur.
"Kejadian ini bukan sekali, dari dulu memang sering terjadi. Bahkan banyak perintah dan tugas yang diberikan gubernur diabaikan kabupaten, karena ia tidak bertanggung jawab secara struktural ke provinsi. Fungsinya pemerintah provinsi hanya koordinatif kalau dalam konteks UU itu," tutur Rawa.
Sebab itu, Rawa menyarankan agar Presiden Joko Widodo meniadakan jabatan gubernur dan DPRD provinsi. Hal ini karena bupati atau walikota mempunyai otoritas atas daerah kekuasaannya termasuk mengatur anggaran pembangunan daerah.
"Saran saya, tidak ada lagi pemilihan gubernur ke depan kalau Jokowi berani. Kalau pemerintah berani, hapuskan jabatan gubernur dan DPRD provinsi. Yang ada itu pejabat administrasi selevel gubernur yang merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri, seperti kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman. Harusnya seperti itu, agar menghemat uang negara. Jadi, fungsinya bersifat birokratis dan tidak politis. Nah, yang banyak terjadi itu karena gubernur bersifat politis dan bupatinya bersifat politis juga sehingga terjadi perbenturan kepentingan," jelasnya.
Bagi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau itu, banyak biaya disalurkan pada jabatan gubernur. Padahal menurutnya, gubernur tidak mempunyai fungsi secara politik terhadap kabupaten/kota, sehingga hanya menghabiskan uang administrasi untuk pelaksanaan Pilkada dan sebagainya.
"Jadi, kalau kita mau tetap otonomi di tingkat dua maka tidak ada lagi DPRD provinsi dan tidak ada lagi pemilihan gubernur. Gubernur merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri yang ditunjuk oleh Mendagri dan bertugas menjalankan tugas administratif pemerintah pusat," lanjut Rawa.
Rawa melanjutkan, sementara UU tentang otonomi daerah tersebut memberi wewenang kepada gubernur tak hanya menjalankan tugas administrasi pusat, tapi juga sebagai kepala daerah.
"Sedangkan daerah kan nggak ada gubernur itu. Yang memiliki daerah itu ya kabupaten. Sedangkan kabupaten bukan merupakan bagian struktural dari provinsi karena otonominya ada di kabupaten," terang Rawa.
Tak berhenti di situ, Rawa berkata, kebijakan pemerintah provinsi tidak ada pengaruh secara langsung terhadap pembangunan kabupaten/kota lantaran tidak ada ikatan secara struktural. Lanjutnya, hubungannya lebih kepada koordinasi dan pembangunan antar-kabupaten.
"Jadi, apa sih fungsi gubernur secara politik? Enggak ada. Justru menghabiskan uang rakyat. Apa sih fungsi DPRD provinsi? Enggak ada gunanya kalau dari konteks pelaksanaan pembangunan otonomi daerah tingkat dua. Kalau dilihat dari UU otonomi daerah itu fungsi DPRD itu enggak penting karena wilayah provinsi itu bukan wilayah politik tapi wilayah administratif," pungkas Rawa.