Tanya jawab dalam peluncuran buku Biografi Kim Teng oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Provinsi Riau di Mal SKA Pekanbaru, Minggu 16 Januari 2022/Haslinda/Riau Online
(Haslinda/Riau Online)
Laporan Haslinda
RIAUONLINE, PEKANBARU-Usai Perjuangan bukan berarti usai segalanya, begitu penggalan kalimat dari buku yang ditulis Nyoto berjudul Kim Teng dari Pejuang Hingga kedai Kopi.
Di sela-sela sesi tanya jawab dalam peluncuran buku yang diadakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Provinsi Riau di Mal SKA Pekanbaru, Minggu 16 Januari 2022, Nyoto kembali mengenang sosok Kim Teng.
Nyoto berujar buku ini berkisah tentang Kim Teng, seorang veteran pejuang 45 berdarah Tionghoa yang tergabung dalam kesatuan Tentara Rahasia Resimen IV Devisi I, Banteng Riau.
"Beliau ini dalam konteks perang kemerdekaan terlibat. Pasukannya dipimpin kolonel Hassan Basri. Tugas Kim Teng sebagai badan intelijen dan itu sangat berat," kata Nyoto.
Menurut Nyoto, kisah Kim Teng tergambar jelas lewat buku hasil garapannya. Dalam buku tersebut telah dijelaskan keterlibatan Kim Teng tergabung bersama pasukan intelijen bermula setelah Jepang angkat kaki dari Kota Pekanbaru. Hassan Basri dan Tan Ten Hun mengajak Kim Teng untuk bergabung.
Kala itu, komandan Kim Teng adalah R.A Priodipuro, sementara komandan perangnya adalah Kapten Syarief Syamsuddin. Tentara rahasia ini bermarkas di Batu I jalan Bangkinang Pekanbaru dan dikenal dengan sebutan Asrama Putih.
Namun, malang tak dapat dielak. Kim Teng acap kali mendapat stereotip negatif dan menyebut Tionghoa hanya menumpang d Indonesia. Padahal dalam pasukan yang digeluti Kim Teng, ada 8 tokoh asal Tionghoa yang terlibat pergerakan kemerdekaan.
Tapi Kim Teng tak goyah, yang ada dalam kepalanya adalah berjuang. Saat itu, di usia 25 tahun Kim Teng bertugas sebagai siasat perang dan perbekalan. Berkali-kali Kim Teng menyelundupkan senjata yang diperoleh dari Singapura untuk dibawa ke Pekanbaru.
Kadang-kadang terpikir oleh Kim Teng akan tertangkap oleh patroli Belanda dan mati konyol di atas kapal. Tetapi jalan baik selalu berpihak pada Kim Teng. Barangkali garis wajah Tionghoa dan roman pedagangnya membuat Belanda sama sekali tak curiga. Padahal, Kim Teng adalah informan utusan untuk mencari tahu dimana kapal-kapal Belanda itu berpatroli.
"Ya, beliau menyamar sebagai seorang pedagang. Dengan wajah Tionghoa, kecendurangan untuk dicurigai lebih kecil. Apalagi Kim teng bawaannya tenang," kata Nyoto.
Perang kemerdekaan usai, situasi ekonomi di Indonesia khususnya di Pekanbaru nyatanya tak berbuah manis. Kim Teng saat itu berstatus sebagai pengangguran di usia 30 tahun. Kim Teng juga tidak lagi melanjutkan keanggotaan tentaranya di Resiman IV Riau. Teman-teman seperjuangannya pun menentukan nasibnya masing-masing.
Kim Teng akhirnya mengikuti jejak kakaknya Tjung Lan, yang lebih dulu memiliki usaha kedai kopi di Pekanbaru. Kim Teng membuka kedai kopi tradisional pada tahun 1950-an dan menjalankan usaha ini bersama kakaknya.
Semula, kedai kopi pertama Kim Teng diberi nama "Kedai Kopi Yu Hun" yang terletak di jalan Sago. Rumah sewaan berdinding papan dengan atap daun rumbiah dan berlantai tanah. Hanya ada 4 meja minum dan beberapa kursi yang bisa dihitung jari.
Huruf demi huruf dari kedai kopinya ditulis dengan gaya kaligrapi Tionghoa. Namanya diambil dari kata Yu yang artinya teman dan Hun yang artinya awan.
Saat pertama kali merintis kedai kopi, yang ada di dalam kepala Kim Teng adalah bagaimana terlepas dari beban hidup dengan tanggungan 1 orang istri (Tjang Fei Poan) dan 3 anak (Tang Kok Liong, Tang Kok Meng, dan Tang Lai Yeng). Apalagi, di tahun 1930-1950-an Kota Pekanbaru masih hutan dan kegiatan pasar hening.
Di tahun 1951 dan 1953, dua buah hati Kim Teng lahir. Anak keempat yakni Tan Lai Penng dan anak kelimanya Tang Lai Kin. Mereka hidup bersama dan menyewa rumah sederhana di jalan Tanjung Datuk.
Lalu, pada tahun 1955 kedai kopi milik Kim Teng pindah ke tepian Sunga Siak. Kedai itu diberi nama "Kedai Kopi Nirmala" karena lokasinya tepat berada di penginapan Nirmala. Mereka menyewa di lantai dasar penginapan.
Namun, kedai kopi ini tak berumur panjang. Isu tentang kepulangan warga Tionghoa merebak. Kedai kopi ini ditutup sementara. Saat itu anak Kim Teng sudah berjumlah 7 orang. Anak keenam Kim Teng yang diberi nama Tang Kok Sun lahir pada tahu 1955 dan setahun berikutnya anak bungsu Kim Teng yakni Tang Lie Lian juga lahir.
Nyatanya nasib baik masih berpihak pada Kim Teng. Piagam penghargaan dari Bung Karno dan Ir. Djuanda yang diterima Kim Teng pada tahun 1958 membawanya tetap menetap di Bumi Melayu Lancang Kuning ini.
Kim Teng pun kembali membuka usaha kedai kopi sekitar tahun 1960 atau 1961 dengan nama 'Kedai Kopi Segar' yang berlokasi di Simpang Sago (sekitar Bank Danamon sekarang). Lalu kedai ini berpindah ke kedai di dekat pintu gerbang pelabuhan Pelindo I.
Pada akhirnya di tahun 2002, Kedai Kopi Segar pindah ke jalan Senapelan, Tampan. Di lantai 1 Kim Teng menggeluti usahanya dan di lantai 2 mereka tinggal bersama istri dan ke tujuh anak serta cucu-cucunya.
"Bahwa sebenarnya kedai kopi ini 4 kali pergantian nama. Tapi orang tidak peduli dengan nama itu, orang taunya kedai kopi milik Kim Teng," pungkas Nyoto.
Setahun pindah ke kedai baru, Kim Teng yang lahir pada Maret 1921 menghembuskan nafas terakhir pada 6 Mei 2003 di Pekanbaru. Kim Teng dimakamkan di Pekuburan Warga Tionghoa di Rumbai dengan upacara militer layaknya Tentara Veteran Republik Indonesia.
Dan kini, nama Kim Teng harum bersama Kopinya yang legendaris. Bahkan telah ada beberapa cabang di berbagai tempat di Kota Pekanbaru.