Perludem Ungkap Perempuan Terpilih Jadi Kepala Daerah di Pilkada 2018

Ilustrasi-Caleg-Perempuan.jpg
(The Indonesian Institute)


RIAU ONLINE - Sebanyak 31 perempuan dari total 342 orang atau 9.06 persen, terpilih menjadi kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada 2018 lalu. Jika dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan bahwa angka ini cenderung stagnan.

Di Pilkada 2015, Perludem mencatat hanya ada 8.7 persen perempuan yang menang. Sementara di 2017, hanya 5.90 persen perempuan yang menang. Data ini menegaskan ketimpangan partisipasi perempuan di Pilkada serentak yang digelar dalam tiga gelombang pada 2015, 2017, dan 2018.

Direktur Eksekutif Perludem iti Anggraini, menyebutkan rekapilutasi hasil pilkada di tiga gelombang tersebut hanya melahirkan total 92 perempuan kepala dan wakil kepala daerah atau 8.49 persen, yang tersebar di 91 daerah (4 provinsi, 69 kabupaten, dan 18 kota) dari 542 daerah yang menggelar pilkada.

"Jika dibandingkan dengan 101 perempuan yang mendaftar sebagai calon kepala daerah, hanya 30.69 persen saja perempuan yang bisa memenangkan Pilkada. Angka keterpilihan ini juga cenderung stagnan dari pilkada ke pilkada. Di Pilkada 2015, angka keterpilihannya 37.1 persen dan di Pilkada 2017 angka keterpilihannya 26.67 persen," urai Titi Anggraini, Kamis, 2 Agustus 2018.

Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebut Titi, menjadi partai terbanyak yang tergabung dalam koalisi pengusung perempuan yang memenangkan Pilkada 2018. Partai Golkar tergabung dalam koalisi yang mengusung 17 (54.84) perempuan pemenang Pilkada 2018 disusul Partai Demokrat (14 dari 31—45.16 persen) dan PKB (13 dari 31—41.94 persen).



Menurut Titi, latar belakang 31 perempuan yang terpilih ini didominasi oleh mereka yang mempunyai jaringan kekerabatan (17 dari 31—54.84 persen), kader partai (15 dari 31—48.39 persen), eks dan anggota legislator (13 dari 31—41.94 persen), serta petahana (9 dari 31—29.03 persen). Empat hal ini konsisten mendominasi latar belakang perempuan kepala dan wakil kepala daerah terpilih dari pilkada ke pilkada.

"Hal ini menunjukkan sempitnya basis rekrutmen partai politik. partai tak punya suplai kader perempuan memadai. Kecenderungan ini terjadi karena partai tak punya mekanisme perekrutan anggota yang inklusif dan terbuka. Akhirnya, partai hanya menempatkan perempuan dengan elektabilitas tinggi," jelasnya.

Titi menyebutkan hanya ada 11 dari 31 perempuan terpilih (35.48 persen) yang memiliki visi, misi, dan program yang menyematkan kata perempuan, wanita, atau ibu. Meskipun visi, misi, dan program yang diusung calon kepala dan wakil kepala daerah ini menyemat kata perempuan atau wanita, perspektif gender belum menjadi bagian integral dari visi, misi, dan program tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya dari visi, misi, program yang bersifat umum (seperti memperluas ruang bagi wanita) tanpa menjabarkanya lebih lanjut dalam turunan program yang bisa dilaksanakan.

"Ini menunjukkan bahwa isu perempuan disematkan begitu saja dalam visi, misi, dan program yang diusung dengan mengabaikan substansinya. Pencomotan perspektif ini akan menjauhkan dari substansi kepentingan perempuan yang semestinya tergambar dalam visi, misi, dan program. Visi, misi, dan program seharusnya memuat pemahaman yang baik atas persoalan kompleks dari berbagai isu yang dihadapi perempuan. Sehingga visi, misi, dan program ini dapat benar-benar menjawab kebutuhan serta mampu merespon tantangan yang khas dihadapi perempuan," sambungnya.

Menurutnya, ini juga juga menunjukkan ketidakseriusan partai dalam mengusung kepentingan perempuan. Platform dan ideologi partai mengenai kepentingan perempuan tidak tampak dalam pemilihan perempuan sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah. Hal ini makin mengukuhkan sifat pragmatis partai.

"Partai tidak memilih kadernya sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah berdasarkan pertimbangan ideologis memperjuangkan kepentingan perempuan, tapi partai lebih mementingkan pertimbangan popularitas dan elektabilitas calon," tutupnya.