Pancasila di Kehidupan Petani. Sudahkah Berdampak Baik?

Petani-di-Bukit-Kerikil.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI) mengungkap kehidupan warga pinggiran hutan Desa Bukit Kerikil Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Riau di hari lahir Pancasila tahun ini.

Miris terpuruk bahkan terseok-seok. Masyarakat menjalani pahitnya hidup di tengah gegap gempita Pancasila terutama sila kelima yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Mbah Kliwon, salah satu petani cabai yang belum merasakan dampak dari sila kelima tersebut.

Bermukim di pinggiran hutan Desa Bukit Kerikil, dengan penuh kesabaran Mbah Kliwon hanya mampu menumpang di sepetak sawah di atas tanah yang notabenenya masih berada di atas kawasan hutan pinggiran Desa Bukit Kerikil.

Terlebih lagi, Mbah Kliwon hanya mampu menjual hasil panennya tersebut kepada tengkulak-tengkulak yang mengambil dengan harga yang masih jauh dari kata layak, yakni Rp 8000 untuk setiap kilogram cabainya.



"Sebenarnya miris juga mendengarnya. Di televisi kita melihat lonjakan harga cabai yang dihasilkan oleh Mbah Kliwon yang seperti itu bisa dijual Rp20 ribu bahkan sampai Rp30 ribu untuk setiap kilogramya," kata Kepala Laboratorium Kedaulatan Pangan Agribisnis Kerakyatan PETANI unit Riau, Sahat Mangapul Hutabarat, Kamis, 1 Juni 2017.

Baca Juga: Yuk Mengenal Pembinaan Idiologi Pancasila Yang Dibentuk Presiden

Sahat mempertanyakan sila kelima itu. Sementara tak jauh dari ladang yang ditumpangi Mbah Kliwon, berdiri 100 meter pemukiman korporasi raksasa PT Arara Abadi Sinar Mas Group yang sudah punya sertifikasi status kepemilikan lahan. 

Berbanding terbalik dengan penduduk pribumi yang hanya mampu menumpang tinggal diatas tanah leluhur mereka. Bahkan di desanya kini berhadapan dengan kasus yang justru datang dari ketidakadilan atas cerminan ketidakhadiran dan perhatian dari pemerintah daerah sampai ketidakberpihakan pemerintah pusat.

"Inilah potret sebenarnya rakyat yang berada di pinggiran hutan desa Bukit Kerikil. Adakah Pancasila sudah menjadi realitas berpikir, realitas kebudayaan dan realitas kehidupan nyata berbangsa dan bernegara?" katanya kritis.

Menurutnya, selama Pancasila tidak menjadi praktik hidup bernegara dan berpemerintahan, Pancasila hanya sebagai alat pemadam kebakaran saja, dan setelah padam, maka terlupakanlah.

"Jangan sampai Pancasila mempertajam kesenjangan antara cita-cita dan kenyaataan. Cita-citanya Pancasila tetapi praktiknya dalam tindakan anti Pancasila," tutupnya.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline