RIAU ONLINE - Di Blitar, tepat di hari kasih sayang, 14 Februari 1945, ratusan prajurit yang tergabung dalam Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) melancarkan aksi perlawanan terhadap Jepang.
Aksi perlawanan itu nyaris gagal total. Rancana penyerangan itu bocor. Jepang yang sudah mengetahui mengirim pasukan ke Blitar, sehingga para prajurit "pemberontak" mulai terdesak.
Posisi pimpinan kemudian diambil aliih oleh Muradi setelah sang komandan utama lenyap entah kemana. Teisha Katagiri, nama komandan resimen yang dikirim Jepang kemudian berembug. Kepada Muradi yang berpangkat sama dengan Supriyadi, Kolonel Katagiri meminta agar seluruh anggota PETA yang terlibat perlawanan untuk segera menyerah dan kembali ke markas.
Perintah sang kolonel Jepang tak serta merta dituruti Muradi. Muradi hendak mengajukan syarat, jika Jepang menginginkan mereka mengakhiri pertempuran, yaitu senjata para anggota PETA yang terlibat tidak akan dilucuti, dan mereka juga tidak boleh diperiksa atau diadili atas perlawanan tersebut.
Baca Juga: Atas Nama Perang Tak Hentikan Negeri Singa Hukum Mati Marinir Indonesia Ini
Persyaratan itu langsung disanggupi oleh Katagiri. Di depan para anggota PETA dan tentara Jepang yang hadir dalam perundingan gencatan senjata itu, Katagiri menyerahkan sebuah pedang samurai kepada Muradi, sebagai bukti atas ucap janjinya, seperti dilansir dari tirto.id.
Namun ternyata, sumpah Katagiri hanya tipu daya agar kaum "pemberontak" itu bisa ditangkap dengan mudah dan tanpa harus mengerahkan tenaga yang lebih besar. Katagiri yang mengingkari martabatnya sebagai orang Jepang yang dikenal berpegang teguh pada kehormatan diri, menghadapkan lebih dari 78 orang para anggota PETA ke meja hijau.
Pengadilan militer Jepang di Jakarta menjatuhkan hukuman mati kepada 6 orang terdakwa, termasuk Muradi. 6 orang lainnya dibui seumur hidup, sisanya disanksi sesuai tingkat kesalahannya, kecuali 4 orang yang tewas semasa berada di dalam tahanan usai disiksa.
Klik Juga: Kisah Hijrah Pria Kurai Taji Sumbar Hingga Berteman Akrab dengan Bung Karno
Pada 16 Mei 1945, tepatnya 72 tahun silam atau kurang dari 3 bulan sebelum Soekarno menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Muradi bersama 5 perwira PETA lainnya dieksekusi mati.
Keenam perwira itu digiring ke kawasan Eevereld yang sepi. Di tempat yang kini termasuk wilayah Ancol di pesisir pantai utara Jakarta itu, mereka menjadi tumabl bagi republik yang sebenarnya tengah menyongsong kemerdekaan.
Mereka dipenggal dengan pedang samurai, senjata sakral yang sempat dijadikan jaminan janji kepada Muradi, kendati ternyata diingkari.
Sukai/Like Fan Page Facebook dan Follow Twitter @red_riauonline