RIAU ONLINE - Sejak 1966 hingga kini, teka-teki Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tak kunjung terungkap. Ternyata, situasi politik saat Supersemar dikeluarkan mendapat pantauan dari Central Intelligence Agency (CIA).
Dilansir dari detikcom, dokumen CIA menggambarkan proses terjadinya transisi kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Dokumen CIA itu dilaporkan pada 1966 namun baru diungkap pada Desember 2016 lalu yang dipublikasikan melalui situs resmi lembaga itu.
CIA menulis kronologi transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada 1966. Laporan itu menuliskan bahwa pemicu perpindahan kekuasaan adalah demonstrasi mahasiswa.
Ketika itu, mahasiswa menduduki kantor Kementerian Luar Negeri dan melakukan penjarahan. Setelah peristiwa G30 S atau Gestok pada 1965, situasi politik Indonesia digambarkan memanas.
Baca Juga: Misteri Di Balik Surat Sakti Pembuka Jalan Kekuasaan Soerharto
Tertuang dalam laporan itu, bahwa sebenarnya Soekarno tidak bermaksud untuk menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada Soeharto. Akan tetapi, Soeharto tetap merasa dirinya mendapat mandat dan langsung membentuk kabinet.
Dokumen CIA terkait SUPERSEMAR (DETIK.COM/ISTIMEWA)
Namun, laporan CIA itu tidak mengungkap secara detail proses 'penyerahan kekuasaan' dari Soekarno ke Soeharto itu terjadi. CIA hanya menyebutkan bahwa Soekarno tiba-tiba meinggalkan rapat pada 11 Maret 1966.
Berikut kronologi perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dalam pantauan CIA:
Pada 3 Maret 1966, Soekarno memerintahkan penutupan Universiitas Indonesia di Djakarta untuk menghadapi kelanjutan demonstrasi mahasiswa di Ibukota.
8 Maret, Mahasiswa Indonesia mengintensifkan demonstrasi antipemerintahnya, menduduki dan menjarah kantor Kementerian Luar Negeri. Serangan kecil ke kantor Kedubes AS juga dilancarkan oleh pemuda geraka kiri.
Klik Juga: Jalan Berdarah Soeharto Menuju Istana Negara
Dua hari kemudian, 10 Maret, pemimpin partai politik mengeluarkan penyataan dukungan untuk presiden dan mengutuk agitasi antipemerintah sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan Soekarno. Keesokan harinya, 11 Maret, Soekarno bersama Menlu Subandrio, dalam pertemuan dengan kabinet barunya tiba-tiba meninggalkan Istana Kepresidenan Bogor.
Di hari berikutnya, 12 Maret, Menghadapi ultimatum militer, Sukarno menandatangani penyerahan otoritas eksekutif kepada Jenderal Soeharto. Soeharto tiba-tiba mengeluarkan pemerintah "atas nama" Sukarno secara resmi melarang Partai Komunis.
Pada 16 Maret, Soekarno, dalam pengumuman kepresidenan mencoba mendapatkan kembali otoritas yang dia berikan kepada Soeharto, menegaskan bahwa perintahnya untuk Soeharto adalah sebuah kesalahpahaman dan bahwa dia sendiri mampu menentukan komposisi kabinet Indonesia. Kemudian dalam pernyatakan terpisah, Jenderal Soeharto sepakat bahwa otoritas presiden belum surut
Selanjutnya, 18 Maret, Bertindak untuk memenuhi kekuasaan yang dia asumsikan, tentara menahan 15 menteri dari aliran kiri, termasuk target utama mereka Menlu Subandrio, dan menggantinya dengan yang berasal dari kalangan moderat. Pimpinan tentara dan sekutu sipilnya mulai membicarakan formasi kabinet baru.
Lihat Juga: Teriakan 'Bubarkan PKI', Surat Sakti, Hingga Lengsernya Soekarno
Beberapa hari berikutnya, Soekarno, pada 23 Maret, membuat kemunculan yang mengejutkan dalam sebuah resepsi diplomatik dalam rangka mencoba memperbaiki citra dirinya yang hancur.
27 Maret, diumumkan bahwa kabinet moderat didominasi oleh Jenderal Soeharto, Sultan Yogyakarta, bertanggung jawab atas kementerian ekonomi, dan Menlu yang baru Adam Malik. Sedangkan, Jenderal Nasution kembali ke pemerintahan dan menjabat dalam kementerian sebagai deputi komandan tertinggi dari Kogam, 'Komando Ganyang Malaysia'. Sementara, Soekarno tetap mempertahankan posisinya sebagai presiden dan perdana menteri.
Hingga 4 April, Menlu Adam Malik dan Sultan Yogyakarta mengumumkan pernyataan publik tentang peletakan dasar moderat dalam kebijakan ekonomi dan luar negeri. Adam Malik mulai intens untuk mengembalikan keanggotaan Indonesia di PBB dan memulai upaya untuk mengakhiri konfrontasi melawan Malaysia yang sudah dilakukan selama tiga tahun. Sultan menerima bantuan asing dari berbagai sumber dan memberi garis program stabilisasi atas ekonomi Indonesia yang chaos.
Akhirnya, pada 10 April 1966, Pemerintahan yang baru mengumumkan penekanannya untuk memperpanjang pengakuan kembali ke Singapura tetapi menegaskan kembali permusuhannya terhadap Malaysia.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline