RIAU ONLINE - Pagi itu narasumber kami spesial, Pak Mochtar Lubis. Mungkin sebab itulah fotografer majalah kami (D&R), Rully Kesuma ingin menjepret juga di luar ruangan. Penulis novel Senja di Jakarta itu tak keberaratan. Di pekarangan rumahnya yang asri, Jalan Bonan, persis di kanan Gedung Proklamas, Jakarta, dengan senang hati ia turut perintah penjepret.
Kami sedari tadi menonton saja sesi pemotretan, ternyata dipanggil juga untuk bergabung. Rachmat H Cahyono, Jay, dan aku tentu saja mau terlebih setelah Pak Mochtar berujar, "Mari..mari Bung, kita ramai-ramai.” Di depan VW kodok merah Kang Rully, biasa disapa, kami lantas pasang aksi. Pastilah fotografer itu yang tetap menjadi pengarah gaya.
Kejadian itu, masih di era jaya Orde Baru. Ingatanku tentangnya segera kembali tatkala di tumpukan album lawas, Jumat malam, 25 November 2016, kutemukan hasil jepretan sang wartawan foto, sebagian besar karirnya di majalah Tempo.
Selembar foto bisa lebih dari 1.000 kata. Kenanganku bersama Pak Mochtar Lubis kontan berloncatan tak terbendung. Pak Mochtar menghasilkan sejumlah novel. Jalan Tak ada Ujung, Harimau! Harimau!, serta Maut dan Cinta, antara lain. Begitupun, sebagai jurnalis, ia lebih kukagumi.
Aku takzim melihatnya yang lebih memilih penjara daripada harus berkompromi dengan penguasa yang ingin mendikte isi berita. Ongkos harus dibayarnya sungguh mahal. Indonesia Raya milikny, koran ini pernah menguak kasus korupsi spektakuler Pertamina melibatkan Direktur Utama Ibnu Sutow, menjadi korban bredel (pemberangusan) baik di masa Orde Lama dan Orde Baru. Ia sendiri harus membui. Tapi ia tak kunjung menyerah dan proses kreatifnya berlanjut.
Di penjara Orde Lama (1958-1968), Mochtar menghasilkan kitab Catatan Subversif (1980). Ia kembali mendekam di hotel prodeo (penjara), sehabis Peristiwa Malari 1974. Catatan Nirbaya (2008), ia tulis saat dua bulan menjadi penghuni di sana. Dengan kisah kepelawanan seperti itu wajar memang kalau para koleganya menjulukinya wartawan jihad.
PENULIS, Hasudungan Sirait berfoto bersama Peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi.
Arti jihad dalam konteks ini adalah memerangi kejahatan siapa saja, tapi tentu tidak dengan cara meledakkan bom melainkan menorehkan pena atau mengetikkan isi pikiran. Sejak mahasiswa pun aku sudah respek ke Pak Mochtar dan ingin bercakap dengannya.
Ternyata itu mewujud; bukan sekali tapi berkali-kali. Aku merasa sangat beruntung karena sempat cukup dekat dengan dia. Aku mengenalnya jauh sebelum bersanding dengan latar VW kodok merah seperti yang di foto. Pula hubungan kami tak sekadar dalam relasi wartawan dan narasumber.
Yang kami percakapkan bisa apa saja. Ihwal media massa, sastra, lukisan (ia pelukis yang baik), atau manusia Indonesia (bukunya, ‘Manusia Indonesia’, lama sudah menjadi pokok bahasan kaum terpelajar negeri kita sebab thesis-thesisnya menohok betul).
“Bung tulislah sesuatu untuk Obor,” ucapnya pada satu siang di kantor Yayasan Obor Indonesia, Jl. Plaju, Jakarta.
“Apa yang bisa saya tulis, Pak?”
“Apa saja yang Bung suka. Nanti Obor yang menerbitkan.”
Tawaran itu sangat menggiurkan dan menggirangkan aku. Aku mempertimbangkannya sepenuh hati. Saat itu aku tak punya waktu untuk menulis buku sebab masih wartawan aktif di koran ‘Bisnis Indonesia’. Begitupun aku bertekad tak akan membuang peluang emas.
Sebuah buku bagus berjudul Representation of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures, kudapat dari toko buku Kinokuniya, Jakarta. Edward Wadie Said, intelektual Palestina-Amerika, menjadi profesor di Universitas Columbia, penulisnya. Setelah kubaca, buku itu kuperlihatkan ke Pak Mochtar. Garis besar isinya kupaparkan.
Ia ternyata tertarik. “Terjemahkanlah. Soal teknisnya nanti bicara dengan Mbak Kartini saja,” katanya. Mbak Kartini Nurdin adalah tangan kanan Mochtar Lubis, dalam menjalankan penerbit Obor. Orangnya ramah dan murah senyum sehingga kusuka.
Bersama Rin Hindriatiy P, kolega-pacar, kemudian menjadi ibu Kei dan Che, dua jagoank, kitab itu ku-Indonesiakan. April 1998, Obor menerbitkannya dengan judul yang disesuaikan: Peran Intelektual. Sebuah kata pengantar berpanjang 29 halaman kami tulis di dalamnya. Adapun kata pengantar Romo Franz Magnis-Suseno 7 + 1/6 halaman.
Honor kuterima dari Obor. Kecil saja, justru imbalan untuk kata pengantar kami itu yang besar. Buat aku Rupiah itu tak ada artinya dibanding kepercayaan diberi Pak Mochtar dan Mbak Kartini ke kami berdua.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline