Mengungkap Dosa yang Hantui Militer Indonesia di Serambi Mekah

ILUSTRASI-perang-GAM.jpg
(GETTY IMAGE/AFP/INOONG)

RIAU ONLINE - Selama operasi militer penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), rakyat Aceh harus menanggung penderitaan selama bertahun-tahun akan seakan menjadi dosa yagn akan terus menghantui militer Indonesia.

 

Kala itu 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati mengirim lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi untuk melancarkan operasi militer di Aceh. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.

 

Sejak 1976, GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya, GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Hal ini terungkap setelah 2000 silam Polda Metro Jaya menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM senilai Rp3 M saat penggerebekan sebuah rumah.

Baca Juga: Bantu Indonesia Merdeka, Hitler dan Nazi Kirim Senjata ke Soekarno

 

Perang pemberontakan Aceh yang paling rentan pelanggaran HAM terjadi pada 1990-1998. Perang selama delapan tahun itu telah menghilangkan sekitar 12.000 nyawa, yang kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI yang berlangsung selama itu diyakini justru telah menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.

 

Pada 2013 silam, Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998. Penyelidikan itu menargetkan tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.


 

Selama operasi militer 2003 di Aceh TNI berikrar akan lebih hati-hati. Namun serupa di Timor Leste, penduduk desa kerap mengalami intimidasi untuk mengungkap persembunyian pemberontak.

 

Dilansir dari DW.COM, catatan Human Rights Watch menunjukkan bahwa telah terjadi berbagai kasus penculikan dan penganiayaan terhadap anggota keluarga terduga gerilyawan. Desember 2003, Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM".

Klik Juga: Kibarkan Bendera China, Bagansiapi-api Berubah Jadi Lautan Api

 

Pada 17 Mei 2003, tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan dan mengiterogasi penduduk desa tentang persembunyian GAM. Hasilnya, 16 penduduk tewas. Komisi untuk Orang Hilang, KontraS menyebutkan sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup. Kemudian, insiden itu dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.

 

Berbeda dengan DOM 1990-1998, kali ini TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.

 

Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2.000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim bahwa seluruhnya merupakan gerilyawan GAM. Namun, berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.

Lihat Juga: Dua Pasukan Khusus TNI Ini Loyal ke Bung Karno Hingga Lengsernya

 

Satu diantaranya strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan bersedia keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.

 

Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini, sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline