RIAUONLINE - Abdul Fatah dan Sohirin, dua nelayan Indonesia yang berhasil lepas dari perbudakan kapal tuna yang berbasis di Honolulu, Amerika Serikat saat berlabuh di Fisherman Wharf, San Fransisco, Amerika Serikat.
Menurut pengacara keduanya, saat ini mereka tengah menggugat pemiliki kapal tersebut. Kedua tidak hanya merasa tertipu sehingga mendapatkan pekerjaan yang berbahaya, tapi juga tidak diperbolehkan meninggalkan kapal selama lebih dari tujuh tahun.
"Saya minta kompensasi ada penderitaan yang saya rasakan di atas kapal dan penderitaan yang saya alami setelah turun dari kapal," kata Sorihin kepada Associated Press dikutip dari Tempo, Sabtu, 24 September 2016.
Mereka berharap tidak ada lagi yang mengalami perbudakan dan menderita. Keduanya kini telah mempunyai visa bagi korban perdagangan manusia dan tinggal di wilayah San Fransisco.
Pengacara keduanya menjelaskan Abdul Fatah dan Sohirin direkrut di Indonesia tujuh tahun lalu tanpa mengetahui akan tidak dieri izin keluar dari kapal. Dalam gugatan disebutkan bahwa pemilik dan kapten kapal Sea Queen II bernama Thoai Nguyen, warga San Jose, California memaksa Abdul Fatah dan Sohirin untuk bekerja selama 20 jam.
Keduanya bahkan tidak mendapatkan tunjangan medis dan mendapat ancaman harus membayar ribuan dolar jika ingin meninggalkan kapal sebelum masa kontrak berakhir. Nguyen dituntut untuk membayar utang, gaji dan kompensasi atas penderitaan metal dan fisik, namun tidak ada angka yang disebutkan.
Menurut Sohirin dan Fatah, mereka dijanjikan gaji US$ 350 atau Rp 4,57 juta per bulan ditambah bonus saat menandatangani kontrak. Mereka meminjam US$ 300 atau Rp 3,92 juta untuk membayar agen di Jakarta.
Keduanya diterbangkan dari Jakarta ke Singapura, lalu Sydney, ke Fiji dan Pago-pago, Samoa, Amerika. Perjalanan 12.500 mil yang melelahkan.
Para nelayan kerap harus berenang dari satu kapal ke kapal lain sebelum berlayar menuju Honolulu untuk mencari ikan. Hal ini untuk menghindari biaya docking.
Keadaan terus memburuk. Suatu hari, Sohirin harus bergumul melawan ikan hiu di dalam kapal Sea Queen. Jari Sohirin terlilit tali pancing hingga hampir membuatnya patah. Sohirin tidak mendapat pengobatan secara medis, kapten kapal hanya mengikatnya dengan sumpit lalu menggosokkan jahe dan madu ke atasnya.
Kali lain, Sorihin kena sabetan kabel hingga bahunya retak. Bengkak dan sangat sakit, dia hanya diberi izin istirahat selama dua jam. Pernah juga seekor ikan todak (swordfish) mengiris wajahnya saat ditarik ke kapal.
Kapten kapal sering melontarkan kata-kata kasar. Mereka hanya diberi pelindung yang usang dan robek-robek. Ada alat pelindung yang masih baru di kapal, tapi si kapten bilang mereka harus membelinya. Keduanya diminta untuk ke dokter berulang kali, tapi diberitahu bahwa mereka tidak memiliki asuransi kesehatan. "Jika saya tetap tinggal di kapal, saya akan mati," kata Sorihin.
Mereka bekerja mulai pukul enam pagi hingga enam sore tanpa istirahat. Setelah itu, diberi makan dan beberapa jam istirahat. lalu bekerja lagi. Setelah beberapa kali berlayar, tiga kerabat kapten ikut bergabung sebagai awak kapal.
"Keponakan kapten membangunkan saya dengan cara menendang dengan kakinya," kata Fatah.
Keduanya harus mandi dengan ember plastik di dek meskipun ada toilet di kapal. Penderitaan yang mereka alami tidak sebanding dengan uang beberapa ratus dolar yang mereka terima.
Setelah 20 hari perjalanan dari Hawaii, mereka merapat di San Francisco sekali sebulan. Mereka menatap dari dermaga Fisherman Wharf ke Scoma, sebuah restoran hidangan laut klasik di San Francisco.
Suatu hari, Fatah tersapu gelombang besar hingga mencapai pagar. Dia menggigil kedinginan, hingga menangis dan berpikir bahwa itulah akhir hidupnya. Kapten kapal menyuruh mereka pulang tapi harus membayar US$ 6.000. Menurut kapten, itu biaya yang dia keluarkan untuk membawa mereka ke sana.
Mereka kemudian merencankan untuk kabur. Enam tahun lalu, sebelum fajar saat kapten pergi dan awak kapal lainnya tidur karena mabuk keduanya menyelinap ke kamar pribadi lalu mengambil paspor mereka, lalu berlari menuju San Francisco dan naik kereta ke selatan menuju San Jose.
Mereka minta bantuan pada kenalannya, warga Indonesia. Pria itu lalu membantu mereka, membawanya ke Gereja Katolik, sebuah penampungan, pekerja sosial lalu ke pengacara imigrasi.
Keduanya kini bekerja di dua tempat. Sebagai staf administrasi di toko minuman, dan menjadi sopir penyewaan. Fatah menjadi pegawai sebuah pusat perbelanjaan. Tidak jauh dari Fisherman Wharf.
Awal tahun ini, sebelum mengajukan gugatan, mereka melihat foto-foto Sea Queen II dan mantan kapten mereka. "Itu dia," kata Sorihin sambil menggelengkan kepala saat ditanya apakah dia mau melihat kapal itu. "Saya takut pada pria ini."
Gugatan diajukan dua minggu setelah investigasi Associated Press menemukan sekitar 140 kapal ikan yang berbasis di Honolulu, termasuk Sea Queen II memiliki ratusan awak kapal dari negara-negara miskin di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Hasil tangkapan mereka dijual di pasar-pasar dan restoran kelas atas di Amerika Serikat.
Celah hukum memungkinkan mereka bekerja tanpa visa selama mereka tidak menginjak kaki di pantai. Sistem ini difasilitasi sejumlah badan Amerika Serikat seperti US Coast Guard, juga Customs and Border Protection, yang mengharuskan para pemilik kapal memegang paspor pekerjanya.
Investigasi AP menemukan beberapa orang hanya dibayar 70 sen per jam. Juga menggunakan ember sebagai pengganti toilet. Banyak yang menderita luka-luka akibat kutu di tempat tidur, dan kadang tidak diberi makan secukupnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline