Pegiat Hukum Lingkungan Kecam Dibukanya Keran Ekspor Pasir

Tambang-pasir.jpg
(Shutterstock)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Setelah 20 tahun perizinan tambang pasir laut dihentikan dan larangan ekspore pasir ke Singapura dihentikan. Pada 15 Mei 2023 silam Pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut (PP 26 tahun 2023).

Keputusan mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.

Pegiat Hukum Lingkungan, Ahmad Zazali, menyampaikan saat ini sudah ada penolakan berbagai pihak terhadap kebijakan baru tersebut. Ditambahkannya, penolakan-penolakan itu sudah disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil yang memperjuangankan lingkungan, karena kebijakan ini memberikan peluang perizinan penambangan dan ekspor pasir laut. 

“Dibukanya kembali keran ekspor pasir keluar negeri ditegaskan pada Pasal 9 ayat (2) huruf d dalam PP 26 tahun 2023 yang menyatakan, pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan kebijakan ekspor diberikan kepada Menteri Perdanganan setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan ketentuan teknisnya diatur melalui Peraturan Menteri,” ujarnya, Rabu, 31 Mei 2023.

Kekawatiran para pemerhati lingkungan, dikatakan Ahmad Zazali, kebijakan itu akan menimbulkan resiko besar bagi kerusakan lingkungan pesisir dan laut dan menimbulkan dampak krisis iklim. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, juga dikawatirkan akan semakin miskin karena ruang hidupnya dan sumber mata perncahariannya dihancurkan. 

“Dibukanya keran pemanfaatan dan ekspor pasir laut ini pasti akan memberikan dampak signifikkan pada kerusakan ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Jika izin penambangan pasir bermunculan dan tidak terkendali seperti 20 tahun lalu, maka dipralediksi akan banyak pesisir yang terkena abrasi, pemukiman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terancam tenggelam,” tuturnya.

 



Ahmad Zazali menerangkan, jika dikaji dari maraknya tambang pasir laut 20 tahun lalu,  ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil. Maka, sebelum menerbitkan perizinan baru penambangan pasir, ia berharap pemerintah menerapakan analisis dampak sosial dan lingkungan yang ketat dan transparan serta melibatkan pemangku kepentingan, termasuk harus memastikan adanya rencana pemulihan yang terukur terhadap dampak kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang akan timbul.

 

“Maraknya izin penambangan pasir laut di Indonesia pada awal tahun 2000, tak bisa dipisahkan dari adanya permintaan material untuk menimbun lautan menjadi daratan atau reklamasi yang dilakukan negara Singapura dari waktu ke waktu. Pada saat itu, Singapura membutuhkan banyak pasir laut untuk reklamasi perluasan bandara Changi dan Pulau Sentosa,” terang Ahmad Zazali.

 

Ia menyayangkan dengan tingginya permintaan tinggi Singapura akan bahan reklamasi membuat izin-izin tambang pasir laut bermunculan bak jamur di wilayah laut Provinsi Kepulauan Riau, tepatnya di sekitar Kabupaten Karimun mengarah ke Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti dan ke arah Kabupaten Bengkalis dan ke arah Kota Tanjung Pinang.

 

“Penyedotan pasir laut dalam jumlah besar dan terus-menerus telah menyebabkan abrasi pantai, laut menjadi keruh berwarna coklat pekat dan menimbulkan busa-busa yang mengambang serta air laut menjadi bau,” kata dia. 

“Belum lagi dampaknya yang merusak ekosistem laut, tak terkecuali biota laut yang penting bagi tumbuh kembang ikan laut, termasuk merusakan tempat bertelur dan berkembangan biaknya ikan laut. Nelayan traditional yang mencari nafkah dari aktifitas penangkapan ikan merasakan dampak negatifnya, karena ikan-ikan menjadi langka. Begitu juga pemukiman di pesisir pantai akan selalu terancam akibat pengikisan daratan karena abrasi bibir pantal. Aktifitas pelayaran juga menjadi terganggu oleh aktifitas kapal sedot pasir di jalur lintas kapal laut,” tambah Ahmad Zazali.