Cerita Penolakan GBI Gihon

Rumah-Penuntun-Iman.jpg
(RAHMADI DWI PUTRA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Dua laki-laki dewasa mengenakan celana jeans panjang dibalut baju kaos oblong terpotret sedang memasang spanduk berukuran 1x2 meter di pagar batu rumah warga. 

Spanduk berwarna kuning kombinasi merah tersebut bertuliskan "Kami Warga RW 01 Sidomulyo Timur Khususnya RT 03 RW 01 Demi Kerukunan/Kenyaman Hidup Bertetangga Maka Kami Menolak Pendirian Gereja di Wilayah Kami". Spanduk itu terpasang 19 Mei 2023 silam. 

Warga menolak pendirian rumah ibadah di daerah mereka, Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon di Jalan Nurul Amal Gang Rukun Jaya, Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Benarkah warga menolak peribadatan umat Kristen di rumah mereka sendiri? Benarkah warga menolak pembangunan gereja di pemukiman mereka? Benarkah warga sekitar rumah warga yang dijadikan tempat ibadat tersebut menerima? Lalu siapa yang menolak? 

Berdasarkan data Kemenag RI tahun 2022, jumlah rumah ibadah di Riau sebanyak 10.869 unit. Perinciannya, masjid sebanyak 7.100, Gereja Kristen 3.012, Gereja Katolik 408, Pura 17, Vihara 102, Klenteng 230. 

Tim RIAU ONLINE mencoba menelusuri guna menjawab pertanyaan tersebut. Warga rumahnya tak jauh dari bangunan disebut-sebut akan dijadikan gereja mengaku tidak mempermasalahkan aktivitas ibadah, apalagi ini soal kemajemukan beragama. Ia hanya mendengar informasi banyak orang meributkan alamat bangunan tertera di peta digital Google Maps sebagai GBI Gihon di rumah milik Hendrik Panggabean. 

"Kalau saya pribadi tidak ada masalah. Hanya saja dipertanyakan (warga) mengapa di Google Maps sudah jadi nama gereja," ujar pemilik warung tak jauh dari lokasi, pekan lalu, Rabu, 23 Agustus 2023.

Ketika medio Mei 2023 silam, tutur Ketua RT 003/RW 001, Ramli R Tanjung, meski sempat ada protes dari warga, namun tidak ada gejolak konflik berujung ujaran kebencian. Menurutnya, masyarakat hanya menanyakan izin bangunan rumah yang diklaim sebagai Rumah Penuntun Iman oleh pemiliknya. Apalagi setiap hari Minggu pagi dan sore selalu ada aktivitas di sana.

"Masyarakat hanya mempertanyakan izinnya saja. Izin bangunan belum jelas, rumahkah atau tempat ibadah? Saat protes, tidak terjadi konflik, namun hanya mengingatkan," ungkap Ramli.

Ia tidak mengetahui secara persis awal bangunan itu difungsikan sebagai tempat ibadah seperti dituduh warga dengan sebutan gereja. Namun, Ramli memastikan beroperasinya bangunan tersebut sudah lama, sebelum ia menjabat RT, Juli 2022 silam.

"Awalnya rumah biasa, milik warga sini. Berjalannya waktu mengalami renovasi menjadi bertingkat, di atas aula. Hanya saja karena berjalan terus aktivitas dan melanggar perjanjian, warga protes," ceritanya. 

Ramli menjelaskan, pemilik rumah semula meminta izin hanya untuk aktivitas arisan keluarga. Tapi kemudian berlanjut ke aktivitas ibadah. Pemilik juga sempat menampik bangunan tersebut dijadikan gereja. 

Rumah Penuntun ImanRumah milik warga, Hendrik Panggabean, yang dijadikan GBI Gihon. (Foto: Bagus Pribadi/RIAU ONLINE)

"Mereka sebut Rumah Penuntunan Iman. Hanya saja di Google Maps sudah tertera nama gereja," ungkap Ramli.

Menurutnya, lantaran tidak ada komunikasi lebih lanjut terkait aktivitas di bangunan tersebut, memicu kesepakatan warga untuk kemudian membuat surat penolakan. Surat tersebut diserahkan Desember 2022 ke kantor Lurah Sidomulyo Timur.

"Terjadi mediasi menyatakan sebelum ada pengurusan izin, maka kegiatan dihentikan. Namun mereka (pemilik) meminta tenggat waktu untuk perayaan Natal 2022 dan Tahun Baru 2023, setelah itu mereka akan tutup, masyarakat pun menyetujui," kata Ramli.

Aktivitas di bangunann tersebut masih beroperasi pasca kesepakatan dengan warga. Sempat melaksanakan KKR Natal mengundang pembicara Pendeta Tony Manulang asal Salatiga, Jawa Tengah, 23 Desember 2022.

"Kenyataannya, setelah 2023 bulan Januari mereka tetap melaksanakan ibadah. Sehingga masyarakat geram dan menolak keberadaan gereja tersebut," lanjut Ramli.

Di tempat sama, warga tempatan, Dedi menegaskan, bangunan yang dijadikan tempat ibadah tidak memiliki izin. "Bangunan tersebut tidak memiliki izin. Tiba-tiba datang orang-orang tidak kita kenal masuk. Tentu kita curiga, ini mengapa?" tanya Dedi. 

Atas dasar itu, akhirnya warga menyatakan penolakan bangunan rumah pribadi bertingkat dua tersebut dijadikan rumah ibadah dengan menerima warga luar lainnya.

Pada 18 Januari 2023, perangkat RT dan RW bersama FKUB dan organisasi lainnya mendatangi bangunan disebut dijadikan rumah ibadah. Mereka naik ke lantai dua bangunan kini dicat putih. Di lantai dua, seperti aula, tampak puluhan kursi tersusun rapi.

"Kita sudah survei sampai ke atas, orang FKUB kelurahan dan kecamatan. Maka setelah itu masuk surat pengaduan kedua. Sampailah mediasi ke Polresta, di situlah ditetapkan hasil mediasi awal dan hingga sekarang tidak beroperasi lagi," jelas Ramli.

Tertuang dalam surat kesepakatan mediasi penolakan rumah ibadah di RT 003 RW 001 berisikan 5 poin. Pertama, warga tidak mempermasalahkan ibadah dilaksanakan di RT 003 RW 001, tetapi keberatan dengan orang luar (bukan warga setempat) yang beribadah di tempat tersebut. 

Kesepakatan warga dan gerejaSurat kesepakatan mediasi penolakan rumah ibadah di RT 003 RW 001 yang berisikan 5 poin

Kedua, rumah ibadah (pos pelayanan iman) tersebut belum memiliki izin mendirikan bangunan untuk pos pelayanan iman. Ketiga, bersepakat untuk mengurus izin sementara pemanfaatan bangunan gedung untuk pos pelayanan iman. Keempat, penutupan sementara kegiatan ibadah di lokasi tersebut (kecuali untuk ibadah keluarga) di lokasi tersebut. Terakhir, hal-hal lain di luar kesepakatan ini akan diatur secara musyawarah mufakat antara pihak pemilik bangunan dan warga.

Surat ditandatangani pemilik bangunan, Hendrik Pangabean, Ketua RW 001 Muhammad Usman, Ketua RT 003 Ramli R Tanjung, dan Pendeta Yuli Susanto. Diketahui juga oleh FKUB Kota Pekanbaru, Kasi Trantib Marpoyan Damai, Lurah Sidomulyo Timur, Bhabinkamtibmas, Babinpotdirga, Babinsa, Ketua FK RT RW, Ketua LPM.

Penolakan Kembali Terjadi 

Aksi penolakan warga kembali terjadi pada 19 Mei 2023. Warga yang protes kemudian memasang spanduk berisi penolakan.



Sejak adanya penolakan lantaran dianggap melanggar perjanjian, aktivitas pun dihentikan sementara. Rumah milik Hendrik Pangabean masih bisa melaksanakan ibadah bagi keluarga besarnya saja.

warga tolak pendirian gerejaWarga Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, memasang spanduk penolakan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon. (Foto: Istimewa)

"Rumah masih buka, karena pemilik tinggal di sana. Lantai dua baru difungsikan sebagai tempat ibadah. Kita, masyarakat tidak melarang beribadah, melainkan mempertanyakan soal izin bangunan," terang Ramli.

Kasus penolakan rumah ibadah di Jalan Nurul Amal, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, ini sempat viral di media sosial, sekitar Mei 2023 lalu.

Pemilik Rumah Urus Izin

Yayasan Berkat Bintang Bangsa menaungi GBI Gihon Rayon 12 Kota Pekanbaru beralamat di Kompleks Ruko Taman Anggrek, Jalan Tuanku Tambusai, enggan berkomentar terkait penolakan tersebut. 

"Maaf, terkait hal itu saya tidak punya kewenangan untuk menjelaskan. Sekarang juga bapaknya sedang tidak berada di tempat, sedang di luar kota dan ada sidang," ujar salah seorang pihak yayasan yang menolak disebutkan identitasnya. 

RIAU ONLINE sempat mendatangi rumah yang dijadikan tempat ibadah tersebut. Pemilik rumah itu, Hendrik Panggabean tinggal bersama sang istri Boru Manullang dan anaknya Panggabean.

Keluarga Hendrik mengakui bahwa tempat tersebut pernah menjadi tempat pelayanan dan ibadah keluarga besar. Namun, ia menampik bahwa tempat tersebut dijadikan sebagai gereja.

“Tidak bisa dibilang gereja ini karena memang bukan gereja. Kami di lantai 2 ini aktivitasnya memang untuk mengajak orang-orang di pasar berdoa karena kami kan orang pasar. Tak ada yang lain,” kata Manullang.

Meski demikian, mereka tidak ingin berkomentar lebih banyak terkait kasus tersebut. Pasalnya kejadian itu sudah berlalu cukup lama.

“Saat ini kami sedang mengurus izinnya bersama FKUB dan Pemko. Ini kami baru dari sana. Sudah diproses dan seminggu lagi katanya keluar ini izinnya,” terangnya.

Yayasan GBIKantor Yayasan Berkat Bintang Bangsa yang merupakan Kantor GBI Gihon Rayon 12 Kota Pekanbaru di Kompleks Ruko Taman Anggrek, Jalan Tuanku Tambusai, Kota Pekanbaru, Riau. (Foto: Bagus Pribadi/RIAU ONLINE)

Ia tak menutup kemungkinan adanya masalah di kemudian hari mengenai perizinan rumah doa tersebut. Ia pun mengundang RIAU ONLINE agar ikut memantau jika izin tak kunjung keluar.

Menanggapi penolakan warga sekitar, Sekretaris Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Riau, Pendeta Masieli Zendrato, mengatakan pembubaran aktivitas beribadah seharusnya bukan urusan kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat hanya berhak melaporkan kepada pihak berwenang, apabila ada aktivitas ibadah tidak sesuai dengan aturan berlaku. 

"Oleh karena itu, kita harapkan kelompok masyarakat, dimanapun berada, terutama di Kota Pekanbaru, agar tidak mengambil tindakan sendiri. Sebagai pengurus PGI, kita mengecam tindakan-tindakan yang melarang aktivitas peribadatan," ujarnya.

Ia menjelaskan, ketika penolakan warga tersebut dilakukan, dirinya belum dilantik sebagai pengurus PGI Riau. Masieli Zendrato meminta gereja, dalam hal ini GBI Gihon agar mengikuti aturan berlaku dalam membangun rumah ibadah. 

"Sebenarnya kasus di Marpoyan Damai itu bukan gereja tetapi aktivitas beribadah yang masih dilakukan di rumah. Seharusnya belum berlaku aturan mengurus perizinan sebagai rumah ibadah gereja. Akan tetapi, silakan lah GBI mengupayakan pengurusan izin sesuai aturan dua menteri. Karena ini seharusnya semua agama mengurus izinnya," jelasnya.

Penolakan Dipicu Faktor Komunikasi

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Riau, Abdul Rahman Qaharuddin, tak menampik kasus pembangunan rumah ibadah memang kerap terjadi di Riau. Menurutnya, berbagai hal bisa melatarbelakangi terjadinya penolakan rumah ibadah. Satu di antaranya disebabkan faktor komunikasi yang tidak dibangun dengan baik sejak awal pembangunan rumah ibadah.

“Penolakan rumah ibadah di Marpoyan Damai sudah ditangani. Itu terjadi karena komunikasi di awalnya kurang bagus. Masyarakat tidak menerima. Awalnya rumah ruko terus dijadikan rumah doa sifatnya insidentil. Lama kelamaan mereka agak rutin yang kemudian seperti dijadikan rumah ibadah," ujarnya, pekan lalu. 

Abdul Rahman menjelaskan, pemilik rumah dijadikan rumah ibadah itu tidak melakukan komunikasi dengan baik, sehingga membuat warga sekitar bertanya-tanya. Ia menyebut beberapa mediasi dilakukan juga tidak menemui titik terang hingga berujung pro dan kontra di tengah masyarakat sekitar.

"Kemudian FKUB Pekanbaru bersama dengan beberapa stakeholders melakukan mediasi. Alhamdulillah, sempat tidak ada masalah," ceritanya.

Harapannya, tokoh-tokoh agama bisa mengawali pembangunan rumah ibadah dengan komunikasi yang baik. Ia meyakini hal-hal positif akan muncul saat itu semua dibangun sejak dini.

"Ada beberapa pihak atau oknum mementingkan urusan (administrasi) belakangan, itu menjadi masalah (di kemudian hari). Untuk pembangunan rumah ibadah itu atas rekomendasi FKUB, lalu izinnya ke Wali Kota atau Bupati, tergantung wilayah akan dibangun rumah ibadah, bukan ke Kemenag. Ini sejenis IMB," paparnya.

Abdul Rahman menilai sosialisasi dan diskusi penting dilakukan untuk menjaga harmoni di tengah perbedaan di Bumi Lancang Kuning ini. Kendati masih terjadi masalah perizinan rumah ibadah, ia menyebut sekarang kerukunan umat beragama di Riau sangat baik, bahkan berada di urutan ke-16 dari seluruh provinsi di Indonesia.

"Antar tokoh atau antar elite dari masing-masing agama bisa berkomunikasi dengan lancar sehingga terus bisa bersama-sama. Sehingga, tidak ada masalah jika komunikasi yang dilakukan berjalan dengan baik," ujarnya.

Menurutnya, tidak ada perlakuan diskriminasi antar umat beragama di Riau yang menyebabkan terganggunya kerukunan di Riau. "Riau ini kan kental dengan Melayu, jadi terbuka," katanya. 

Diskriminasi Beribadah?

Anggota Komisi I DPRD Riau membidangi pemerintahan dan keamanan, Mardianto Manan, mengatakan Indonesia memiliki instrumen hukum yang mengatur pembangunan rumah ibadah.

“Pertama NKRI Harga Mati, ini artinya segala hal yang ada di NKRI ini sudah ada aturannya. Ada pagar, instrumen dan persyaratan yang harus dipenuhi atas berdirinya bangunan baik itu bangunan sekolah, rumah sakit termasuk rumah ibadah," kata politisi PAN tersebut.

Di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 Pasal 13 dan 14 mengamanatkan Kepala Daerah untuk memberikan izin sementara sebagai bentuk fasilitasi negara dalam mencari solusi pendirian rumah ibadah, sementara jemaat mengupayakan dukungan 90 dan 60 KTP.

“Dalam rumah ibadah itu biasanya dinaungi FKUB, dan itu ada kesepakatan serta aturan Kemenag dan Kemendagri tadi. Makanya persoalan ini kemudian tentu kita identifikasi dulu,” kata Mardianto. 

“Kalau misalnya hanya 10 KK di situ tentu tak bisa dibangun. Harus sesuai syaratnya, kan minimal 60 KK. Kalau tak terpenuhi maka orang akan protes. Itu aturannya,” imbuhnya.

Ia mengaku belum mengidentifikasi permasalahannya, tapi menurut dia, ada salah satu tahapan proses yang belum dilakukan dalam pembangunan gereja itu.

“Kalau dibilang diskriminasi harus didudukkan dulu, diskriminasinya di mana? Posisinya harus didudukkan ini,” pungkasnya.

YLBHI-LBH Pekanbaru Lakukan Pendampingan

Staf Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Pekanbaru, Wira Manalu menceritakan, secara runut kejadian penolakan tersebut. Ia mengatakan, YLBHI-LBH mendapatkan informasi setelah melihat media sosial ada banyak video terkait penutupan rumah doa cabang GBI Gihon, 19 Mei 2023 silam.

“Kemudian kami ke lokasi dan mendapatkan fakta itu bukan pembubaran ibadah seperti gereja di hari Minggu. Akan tetapi lebih ke arah doa syafaat. Saat itu jemaat sedang melaksanakan doa syafaat sekitar pukul 19.00 WIB, lalu didatangi puluhan warga mengatakan kegiatan itu tak ada izinnya sehingga harus dibubarkan,” jelasnya. 

Menurut Wira, adanya kasus pembubaran kegiatan beribadah diatur dalam perundang-undangan terkait pendirian bangunan termasuk rumah ibadah, SKB 2 Menteri mengacu UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung dan PP 36/2005 yang mengatur soal Izin Mendirikan Bangunan.

“Seringkali masyarakat (menolak) seperti mendapatkan perlindungan karena adanya SKB 2 Menteri ini,” tegasnya.

Wira menuturkan, untuk kasus GBI Gihon di Sidomulyo Timur, agak menarik. Pasalnya, pelaku pembubarannya bukan warga sekitar. Memang, katanya, tokoh penggeraknya warga sekitar, namun mayoritas bukan warga sekitar. 

“Jadi sebaiknya aparat RT/RW bisa menengahi permasalahan antar warga bukan malah ikut-ikutan seperti itu,” jelas Wira.

Berdasarkan kasus-kasus sebelumnya, seperti pada 2021, LBH Pekanbaru mendampingi GKIN Siak Kecil. Ketika itu terkait rumah ibadah mereka yang dibubarkan warga. LBH Pekanbaru mendapatkan pola yang sama, warga yang menolak bukan warga yang tinggal di lokasi gereja.

“Jadi memang hal ini bukan murni karena perbedaan agama terus mayoritas lebih berkuasa terhadap minoritas. Akan tetapi ada faktor lain, seperti irisannya lebih luas bisa berkaitan politik, ekonomi, dan sebagainya,” ujarnya.

Selain bukan warga sekitar, LBH Pekanbaru menilai proses perizinan rumah ibadah dipicu pemberlakuan SKB 2 Menteri. “Jadi untuk penerbitan rumah ibadah itu harus mendapatkan 90 dan 60 KK dari dukungan masyarakat. Kalau itu bagi mayoritas tak masalah, tapi bagi agama minoritas di suatu daerah itu tentu hal memberatkan. Belum lagi harus mendapatkan rekomendasi FKUB,” katanya.

“Hak beragama merupakan hak asasi manusia dan sudah diatur dalam UUD Pasal 28, ada juga di UU HAM No 39 Tahun 1999. Jadi idealnya negara tak bisa mencampuri ranah ibadah ini, melainkan harus bisa memastikan orang dapat melaksanakan ibadah dan memeluk agama tanpa adanya diskriminasi,” tambah Wira.

Sebab itu, ia mengimbau kepada masyarakat perlunya menyadari, menjalankan kegiatan keagamaan itu hak asasi manusia. 

“Sudah ada dasar hukumnya dan itu menjamin dan melindungi hak setiap masyarakat untuk melaksanakan hak ibadahnya. Jadi kalau ada perlakuan yang dianggap diskriminatif, jangan takut untuk melaporkan ke pihak terkait seperti kepolisian dan lembaga untuk mendapatkan perlindungan,” terang Wira.

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah oleh 12 media lokal dan nasional bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)