RIAU ONLINE, PEKANBARU - Seorang oknum jaksa telah mencoreng marwah Korps Adhyaksa di Bumi Lancang Kuning. Jaksa perempuan itu diduga terlibat kasus suap narkotika mencapai miliaran rupiah.
Terduga pelaku berinisial SH bertugas di Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkalis ini terlibat dalam kasus narkotika yang sedang bergulir di pengadilan.
Pengamat Kriminolog Universitas Islam Riau (UIR) Syahrul Akmal, menilai fenomena ini dinamakan silent marketing.
"Maksud dari silent marketing adalah marketing secara diam-diam namun menggunakan otoritas yang melekat. Koneksi ini sangat berpotensi menjadi target lahan atau target dari sebuah kemitraan baik yang berkaitan dengan jabatan maupun fungsi dan sebagainya," terangnya, Selasa, 9 Mei 2023.
Menurutnya, kasus ini menjadi catatan buruk karena membuat narkotika tidak bisa mendapat upaya penegakan hukum secara maksimal dari negara.
Terlebih sebelumnya, sejumlah nama di tubuh penegak hukum, seperti Polri sudah terjerat dalam kasus ini.
Syahrul pun menyebut nama mantan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Pol Teddy Minahasa yang terjerat kasus narkotika.
"Sebagian besar melibatkan berbagai elemen penegakan hukum atau orang-orang yang berkaitan dengan penindakan. Artinya, ini assessment sment. Penegakan hukum menjadi sorotan," ungkapnya.
Pengamat yang juga dosen pasca sarjana ini mengaku tidak begitu kaget jika jaksa terlibat dalam kasus suap. Sebab menurutnya, siapa saja bisa terlibat, termasuk seorang jenderal.
"Jadi gencar-gencar ke lini paling bawah, ternyata yang paling atasnya melenggang dengan uang haram yang menjerumuskan rakyatnya sendiri. Maka, ini kami meminta penindakan terhadap narkotika tidak ada ampun baik pengguna maupun bandar," urainya.
Syahrul menyebut, revisi KUHP terkait pengguna dan bandar narkoba perlu dilakukan. Pasalnya, teori silent marketing tidak mungkin ada penjual tanpa pembeli.
Selain itu, beberapa waktu lalu ada napi kasus narkotika yang membuka bisnis barang haram ini di balik penjara. Ia menilai Riau terutama di bagian pesisir menjadi celah bagi para pelaku untuk melakukan bisnis narkoba, terutama banyak oknum yang memiliki otoritas.
"Semakin memudahkan masuk. Kejahatan narkotika lebih masif di tahun politik. Bisa jadi mereka terlibat sebagai donatur politik. Demokrasi modal mahal tidak semua kontestan punya dana. Dana yang tidak memiliki kompensasi dari dana judi dan narkoba. Sementara, jika dari swasta akan minta ganti rugi," tuturnya.