Laporan: Indah Lestari
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Lima hari lalu, Selasa, 22 November 2022, Festival Film Indonesia (FFI) menyatakan Before, Now & Then (Nana) 2021 sebagai pemenang Piala Citra tahun ini.
Berlatar tanah Sunda, historical drama produksi Fourcolours Films dan Titimangsa Foundation ini mengangkat isu sosial perempuan. Apa saja?
1. Kentalnya Paradigma Patriarki Masyarakat Tahun 60-an
Nana, bintang utama cerita panjang Before, Now and Then (Nana) yang diperankan oleh aktris ternama tanah air, Happy Salma.
Nana merupakan tokoh perempuan korban kerusuhan tahun 1960, perang dan konflik Jawa Barat yang membuatnya kehilangan suaminya.
Melansir fourcoloursfilms.com, kehidupan yang awalnya berkecukupan dan baik-baik saja, seketika menjadi suram. Nana jatuh ke dalam kemiskinan, hingga harus kehilangan anak pertama dan ayahnya.
Luka dari masa lalunya, tak pernah menyingkir dari benaknya. Meski setelah menikah dengan Raden Darga, keturunan bangsawan kaya raya yang diperankan Arswendy Bening Swara Nasution.
Dikaruniai empat orang anak dari pernikahan keduanya, dan harta yang berlimpah, ternyata tak cukup membuat dirinya bahagia dan melupakan luka masa lalunya.
Kekangan juga tuntutan menjadi istri yang patuh dan taat suami membuat hidup Nana terjebak dalam bayang-bayang ketakutan.
Sebagai perempuan desa yang kini menjadi warga kelas dua, Nana dituduh masyarakat sebagai janda matre yang hanya mengincar kekayaan suami barunya. Dia dipaksa hidup oleh lingkungan, hanya sekadar untuk melayani suami dan keluarganya saja. Tanpa peduli kebahagiaannya sendiri.
Hidup tak mudah bagi Nana. Rutinitas dijalaninya bak siklus tiada ujung. Kerusuhan, belasungkawa, dan dominasi suaminya sebagai laki-laki, membuat Nana kian terjerat dalam sistem patriarki yang mengakar di masyarakat era itu. Masyarakat yang beranggapan, dapur, sumur, kasur, adalah tempat yang seharusnya untuk kaum hawa.
2. Perempuan dan Masalah Mentalnya
Kejadian-kejadian buruk seperti kehilangan suami, kematian anak dan ayahnya sendiri, diikuti pengalaman keguguran kandungan yang pernah menimpanya, membuat Nana merasa gagal sebagai perempuan.
Stigma masyarakat yang berdasar pada patriarki, menjadikan pengalaman itu menjelma delusi. Lewat berbagai delusi itulah, secara simbolik Kamila Andini sebagai penulis naskah, menyuarakan masalah mental Nana sebagai seorang perempuan, yang lahir dari trauma masa lalu.
Belum lagi, posisi perempuan di era itu, dicap rendah derajatnya daripada laki-laki. Setelah menikah, hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Mengurus rumah, anak, dan mesti selalu menurut pada suami.
Beban bertubi-tubi yang ditanggungnya, membuat situasi kejiwaan karakter Nana pun menjadi kian kompleks.
Seolah tak cukup, pola pikir patriarki suami barunya terus menambah masalah dan penderitaan bagi hidup Nana. Darga, suami barunya tersebut, diketahui Nana terlibat hubungan gelap dengan sejumlah wanita.
Nana pun hanya bisa diam, walau instingnya terusik akan kehadiran perempuan lain dalam bahtera rumah tangganya. Tak sanggup lagi menahan luka dan duka, Nana pun jatuh sakit. Bisul muncul di kepalanya.
Pada saat bersamaan, Nana bertemu dengan Ino, salah satu gundik suaminya yang diperankan oleh Laura Basuki.
Ino berbeda dengan gundik Darga lainnya. Dia memasuki kehidupan Nana seperti air, membebaskan Nana dari beban pikiran dan perasaannya.
Ino akhirnya sedikit mampu menghibur Nana. Menjadi satu-satunya tempat yang bisa Nana bagikan cerita masa lalunya. Mereka saling mendukung.
Persahabatan keduanya, perlahan mengobati luka Nana. Meski membuat kehidupan pernikahannya menjadi jauh lebih kompleks. Namun, satu hal yang Nana sadari, yaitu mentalnya mulai membaik dan mulai membebaskan diri dari belenggu.
3. Hak Memerdekakan Diri
Tak lama setelah pertemuannya dengan Ino, hal yang mengejutkan datang kepadanya. Nana yang telah berputus asa, tak lagi berpikir bahwa suami pertamanya masih hidup.
Tapi sebuah keajaiban pun terjadi. Nana kembali dipertemukan dengan mantan suaminya.
Syok dengan hal tersebut, Nana berusaha tetap tenang. Saat semuanya mulai membaik, masa lalu yang lama membelenggunya kembali hadir. Hal itu membuat Nana bingung dan terus mencari-cari arti dari kebebasan.
Bahkan lebih jauh, Nana berusaha keras untuk memerdekakan diri dari ketakutan dan trauma, mencoba berani dalam menentukan keputusan ke depan.
Lewat Before, Now and Then (Nana), Happy Salma secara metaforis berpesan dalam adegan pelepasan sanggul, bahwa tak semua masalah dan aib harus disembunyikan perempuan. Terlebih penindasan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Baik laki-laki maupun perempuan, berhak bersuara, bahagia dan punya kesempatan sama untuk memerdekakan dirinya.
Nah, itu tiga isu dan pesan moral yang diangkat dalam Film Before, Now and Then (Nana), sebagai film Terbaik Piala Citra 2022. Cerita panjang berdurasi 103 menit ini, dapat ditonton melalui Prime Video. Selamat menonton!