Presiden Soekarno saat berpidato di depan Panca Tunggal seluruh Indonesia. Tampak tiga pejabat di belakangnya, termasuk Soeharto.
(INSTAGRAM MATAPADI)
RIAU ONLINE - Jenderal Abdul Haris Nasution berangkat ke Uni Soviet pada akhir September 1964. Kala itu, Angkatan Perang Republik Indonesia membutuhkan peluru kendali jarak menengah. Sementara, konfil konfrontasi dengan Malaysia kian memanas. Jenderal Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Nasution bersiap-siap jika pecah perang dengan Malaysia yang didukung Inggris.
Bagi Nasution, ini merupakan kunjungan yang kesekian kalinya dalam misi pembelian senjata berat. Dia didampingi dua perwira staf Komando Siaga (KOGA), Laksamana Mulyadi dan Brigjen Ahmad Wiranatakusumah. Bahkan, Presiden Soekarno direncanakan akan turut bergabung untuk memperlancar lobi-lobi, setelah kunjungannya di Jenewa.
Kedatangan Soekarno ke Moskow disambut para pejabat tinggi Uni Soviet di pelabuhan udara. Di antaranya adalah Perdana Menteri Nikita Khrushchev, Presiden Anastas Mikoyan, dan Sekjen Partai Komunis Leonid Brazhnev. Ketika melihat Nasution di antara rombongan dari Indonesia, Khrushchev datang menghampiri seraya mengulurkan tangan kepada sang jenderal.
Dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, seperti dilansir RIAUONLINE.CO.ID dari Historia.id, Jumat, 13 Mei 2022, Nasution menuturkan pembicaraannya dengan Khrushchev. Komunikasi antara mereka tentu saja terjalin lewat bantuan penerjemah.
"Jenderal Nas ada di Moskow, semua gudang telah saya kunci, tidak bisa anda mendapatkan senjata-senjata yang kamu ingini," kata Khrushchev berkelakar.
"Itu bukan soal bagi saya, karena saya punya tangan-tangan di Moskow, antara lain Perdana Menteri Khrushchev," jawab Nasution. Mendengar jawaban itu, Khrushchev malah tertawa terbahak-bahak.
Pihak Indonesia dan Uni Soviet lantas duduk berhadapan setibanya di Istana Kremlin. Di meja perundingan, Nasution membisikan kepada Soekarno terkait kontrak yang diinginkan. Soekarno lantas meneruskannya kepada pihak Uni Soviet yang kemudian ditanggapi Khrushchev.
"Bagaimana saya bisa menolong Indonesia, sudah lama tidak dibayar angsuran," ujar Khrushchev.
Diakui Nasution, angsuran tahun 1963 memang belum beres. Demikian pula dengan cicilan di tahun yang sedang berjalan. Tapi menurutnya, tunggakan itu sudah dibayarkan sebagian. Juru hitung Uni Soviet membuat kalkulasi melalui nota kecil dan secara beranting diteruskan ke jurusan perdana menteri. Saat nota itu sampai pada Presiden Mikoyan, dia tidak segera meneruskannya kepada Khrushchev.
"Beliau dengan agak nakal melihat kepada saya dan saya balas dengan senyuman, kami duduk persis berhadapan di meja perundingan itu," kenang Nasution.
Juru hitung Uni Soviet dari urusan Perdagangan Luar Negeri itu ternyata menyangkal keterangan pembayaran dari Nasution. Meski begitu, nota kecil itu tetap bertahan pada Mikoyan. Terjadilah lampu hijau untuk urusan jual-beli senjata. Nasution boleh berlega hati. Setelah kontrak pembelian ditandatangani, dua hari berturut-turut diadakan jamuan makan oleh pihak Soviet untuk tamu-tamunya dari Indonesia.
Pada jamuan di Kremlin, Khrushchev secara terang-terangan mengkritik poros Jakarta-Peking yang diprakarsai Bung Karno. Katanya, "Nasib poros ini akan sama nantinya dengan poros Fasis-Nazi, Roma-Berlin dulu". Khrushchev bicara blak-blakan.
Keesokan harinya dalam jamuan balasan, Khrushchev tidak bergabung karena diagendakan berlibur dengan cucu-cucunya di Laut Hitam. Tamu penting saat itu hanya Presiden Mikoyan dan Sekjen Brezhnev. Brezhnev duduk didampingi Bung Karno, sedangkan Nasution mendampingi Mikoyan.
Indonesia sebagai tuan rumah sudah menyusun tempat duduk yang diatur ajudan Presiden Soekarno. Kebetulan kursi samping Nasution kosong. Seorang ajudan presiden kemudian mengantarkan seorang perempuan Soviet berparas cantik dan dipersilahan duduk di sebelah Nasution. Usai berkenalan, Nasution mendapati bahwa wanita itu ternyata seorang bintang film.
Babak makan usai, menyisakan bincang-bincang. Soekarno mendatangi Nasution. Dalam bahasa Belanda Bung Karno berkata, "Nas, tempat saya ini tochtig (dingin), saya tak kuat. Kamu saja duduk di sini, mari tukar tempat." lantas keduanya bertukar tempat duduk.
"Pihak Soviet agak ternganga melihat kami bertukar tempat. Bung Karno jadi sibuk ngomong-ngomong dengan artis tadi dan saya harus meladeni Presiden Mikoyan dan Brezhnev," kenang Nasution.
Acara jamuan makan itu berjalan dua jam, terjadilah pelimpahan kekuasaan. Bung Karno sepenuhnya menyerahkan urusan diplomatik dengan pimpinan Uni Soviet kepada Nasution.