Suryadarma saat dilantik sebagai perwira Bintang Empat pertama oleh Presiden Sukarno pada 17 Juli 1959
(Historia.id)
RIAU ONLINE - Tiga kapal perang Belanda mengeroyok KRI Matjan Tutul. Kolonel Sudomo, dalam pelariannya dengan sigap segera mengirim surat kawat ke Markas Besar Angkatan Laut (MBAL) di Jakarta. Dalam surat itu, Sudomo meminta MBAL mengontak Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) untuk secepatnya mengirim pesawat-pesawat pembom Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) demi membantu posisi KRI Matjan Tutul.
Sudomo kepada Julius Pour dalam Laksamana Sudomo:Mengatasi Gelombang Kehidupan mengatakan, saat itu ia meminta agar kapal-kapl Belanda yang tengah mengejar KRI Matjan Tutul dibom saja.
Alih-alih terlaksana, permintaan Sudomo malah tak mendapat tanggapan apapun. Gegalat itu membuat Asisten Operasi KASAD Kolonel Moersjid yang saat itu ada di dalam KRI Harimau, menjadi geram.
Belakangan diketahui, meski kawat itu sampat ke MBAU, tapi pihak AURI mengalami kesulitan teknis operasional untuk mengabulkan permintaan dadakan dan tak terencana itu.
Begitu tiba di pangkalan, Kolonel Moersjid langsung terbang ke Jakarta. Dia lantas menemui Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution, untuk melaporkan semua yang dia alami di Arafuru, termasuk respon negatif AURI. Namun, sang Jenderal hanya diam seribu bahasa.
Moersjid kesal, lantas berkata kepada atasannya itu, “Jenderal takut melaporkan kenyataan ini?” melansir Historia.id, Rabu, 11 April 2018.
“Hari ini akan ada sidang Dewan Pertahanan Nasional di Istana Bogor, silakan Kolonel ikut ke sana…” ucap Nasution, setelah hening sejenak.
Moersjid kemudian melangkah ke ruang rapat di Istana Bogor, setelah empat hari kejadian Insiden Arafuru itu. Di hadapan Presiden Soekarno dan para perwira tinggi, secara emosional dia menceritakan apa yang dia alami selama ada di palagan Arafuru.
“Saya tak pedulikan semuanya. Pangkat saya hanya kolonel, pangkat paling rendah dari seluruh hadirin di ruangan tersebut. Saya nothing to lose, maka saya beberkan saja semuanya dengan lugas. Omong kosong AURI mampu menjaga wilayah udara Indonesia up to the minute, omong kosong karena tak seekor pun (pesawat) capung muncul ketika kapal kami diserang…” kata Moersjid.
Seketika wajah Presiden menjadi merah padam. Sangat jelas bahwa Si Bung murka. Rapat terbatas pun Bung Karno gelar bersama panglima dari ketiga angkatan, Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Saat memasuki ruang rapat itu, tiba-tiba Kasal R.E. Martadinata langsung menunjuk muka Kasau Suryadarma. “Mengapa AURI tidak membantu kapal saya?!” tanyanya sambil terlihat emosional.
Suryadarma yang merasa tak pernah dilibatkan dalam operasi itu tentu tak bisa menerima disalahkan begitu saja. Menurutnya, tak ada alasan bagi AURI untuk menolak tugas jika memang sebelumnya sudah dikonfirmasi terkaitsuatu operasi rahasia.
“Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada surat tembusan ke AURI bahwa ALRI sedang mengadakan operasi,” jawab Suryadarma dalam biografinya Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma.
Setelah rapat, Suryadarma langsung menuju MBAU. Diketahuilah bahwa ari seluruh berita yang masuk melalui PHB Langgur ditemukan satu berita SOS yang berasal dari KRI Matjan Tutul, bukan dari KRI Harimau.
Namun ketika dikonfirmasi oleh PHB Langgur, tak ada respon sama sekali dari sana. Katika itu pula, PHB Langgur menindaklanjuti dengan melakukan cross-check ke PHB Cililitan, dilanjutkan dengan menanyakan kepada piket Komando Mandala. Namun piket Komando Mandala pun menyatakan tak tahu menahu tentang adanya kegiatan operasi tersebut.
Dalam rapat kedua di Istana Merdeka bersama Bung Karno dan Kasad Nasution serta Kasal MartadinataKasau Suryadarma menyatakan bahwa AURI tak bisa disalahkan dalam kasus tersebut, karena merasa tidak ada yang salah dengan AURI.
“Bagaimana AURI bisa membantu kalau tidak tahu adanya kegiatan kalian. Kita harus lebih terbuka dalam merencanakan semua kegiatan operasi…” ujar Suryadarma.
Namun Insiden Arafuru itu sudah terlanjur membuat Bung Karno marah. Lantas, kepada tiga kepala staf itu, Bung Karno pun bertanya, "siapkah untuk melakukan aksi balas dendam kepada Belanda?" Saat itu, pernyataan siap hanya keluar dari mulut Martadinata dan Nasution, tapi tidak bagi Suryadarma.
Dalam biografinya, Suryadarma menyatakan tidak yakin dengan kekuatan personilnya. Jika keinginan Bung Karno, bahwa tentara kita harus diterjunkan secara besar-besaran di Irian itu artinya Indonesia sudah menyatakan perang terbuka kepada Belanda.
Menurut Suryadarma, Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara (PGT) tentu saja belum memiliki kemampuan untuk perang terbuka itu. Mereka hanya bisa melakukan operasi terbatas saja. Soal perlengkapan komunikasi antar pasukan pun dinyatakan masih minim. Singkatnya, Suryadarma tidak ingin mengorbankan jiwa prajurit-prajuritnya secara sia-sia, hanya untuk menyenangkan hati Bung Karno.
Suryadarma juga memaparkan kepada Bung Karno, terkait masalah-masalah yang akan terjadi jika pesawat pembom AURI tidak mendapat pangkalan yang layak untuk menyerang posisi Belanda di Irian.
“Kita memang punya Morotai, tapi terlalu jauh dari Irian. Adapun pangkalan udara Leftuan dan Langguran yang relatif dekat dengan Irian, kondisinya tidak memenuhi syarat untuk didarati oleh MIG-21…” ungkap Suryadarma.
Alih-alih menerima alasan Suryadarma, Bung Karno justru menarik Nasution dan Martadinata ke ruang sebelah dan meninggalkan Suryadarma sendirian. Suryadarma mengaku sangat kecewa diperlakukan demikan oleh pimpinan tertingginya.
Setelah beberapa lama, Bung Karno dan kedua kepala staf kembali ke ruangan di mana Suryadarma berada. Dengan suara berat namun tegas, ia menyatakan memberhentikan Suryadarma dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dan mengangkat Omar Dani sebagai penggantinya. Tentu saja, sebagai seorang tentara, tak ada sikap lain selain menerima pemberhentian itu secara lapang dada.
Sepeninggal Suryadarma, operasi “balas dendam” pun dirancang. Awalnya aksi militer yang diberi sandi “Operasi Jayawijaya” itu akan dilakukan pada 12 Agustus 1962. Lantas karena banyak kendala, kemudian dimundurkan menjadi tanggal 19 Agustus 1962.
Sebelum terjadi, empat hari pra operasi, markas besar PBB di New York mengumumkan bahwa perundingan antara Indonesia dengan Belanda telah berhasil mencapai suatu kesepakatan. Belanda akan angkat kaki dari Irian Barat pada 1 Mei 1963, maka otomatis Operasi Jayawijaya pun tidak jadi diselenggarakan.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id