RIAU ONLINE - Secara perlahan namun pasti, api mulai melahap seluruh Kota Bandung di hari ke 24 saat Maret 1946. Di beberapa titik, sekelompok pejuang masih sibuk membakar rumah-rumah dengan menggunakan dinamit lokal yang sumbunya harus disulut secara langsung.
“Bayangkan di tengah hujan gerimis, kami harus melakukannya satu persatu: betapa melelahkannya…” kenang Aleh (93), mantan pejuang Bandung, melansir Historia.id, Jumat, 6 April 2018.
Di tengah gelap dan hujan tiada henti, Aleh dan kawan-kawannya merasakan waktu berjalan sangat lama. Saat jam menunjukkan pukul 20.00, tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat keras dari arah timur, sebagai perintah untuk membakar Bandung lebih cepat.
Akhirnya, kata Aleh, ia dan kawan-kawannya memutuskan untuk menggunakan granat dan Molotov. "Supaya lekas selesai…” ujar Aleh.
Seantero Bandung kemudian diributkan oleh ledakan dahsyat yang marak cahaya api memanjang dari arah barat hingga timur. Gumpalan asap putih yang bersanding dengan kepulan debu-debu hitam pun membumbung ke angkasa. Jalan yang semula gelap menjadi terang. Dan terlihatlah iringan-iringan pengungsi bergerak menuju selatan Bandung.
“Sulit untuk dilukiskan perasaan kami saat itu, melihat tumpah darah kami menjadi lautan api. Rasanya pasti sedih…” ungkap Karman Somawidjaja dalam Hari Juang Siliwangi.
Rasa lelah yang mendera menjadikan perut mereka keroncongan. Namun, tak ada makanan yang mereka bawa. Untuk meminta kepada pengungsi, mereka pun tak tega.
Untung saja, rasa lapar itu tak berlangsung lama. Memasuki pinggiran Bandung, para pejuang dan pengungsi menemukan warung-warung yang ternyata telah menyediakan makanan selama 24 jam.
“Warung-warung yang malam buta pun tetap beroperasi itu kami sebut sebagai “warung siluman”,” kenang Mohamad Rivai dalam biografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kemunculan "warung siluman" itu, murni atas inisiatif rakyat di pinggiran Kota Bandung. Awalnya mereka membangun dapur umum di setiap desa, namun tak mencukupi untuk menampung para pejuang dan pengungsi, maka rakyat pun membuat sejenis warung darurat secara mandiri.
Penyediaan bahan mentahnya pun dilakukan secara swadaya: memanfaatkan hasil kebun dan peternakan pribadi. Petugas-petugas warung tersebut terdiri dari para lelaki dan perempuan. Merekalah yang menyelenggarakan kebutuhan logistik para tamunya dari Bandung.
“Tak ada yang mau dibayar, semua mereka berikan secara gratis dan ikhlas…” kenang Aleh.
Menurut Haji Rusdi, seorang koordinator warung-warung siluman itu, jumlah pos-pos logitsik tersebut mendekati ribuan. Di kawasan Cibaduyut saja, kata Haji Rusdi, jumlah warung siluman mencapai angka seratus lebih.
“Sepanjang jalan Ciparay-Majalaya, saat itu dipenuhi warung-warung siluman yang diperkuat oleh ratusan pengelolanya…” ujar Haji Rusdi kepada surat kabar Minggu Buana edisi 18 Juli 1983.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id