RIAU ONLINE, PEKANBARU - Bangkai lokomotif uap tua berwarna coklat tua sisa peninggalan pendudukan Jepang ini sudah lama menghiasi dapur rumah milik Desrina.
Loko tua itu, di zamannya, direncanakan mengangkut batubara dari tambang di Sawahlunto, Sumatera Barat, menuju tepian Sungai Siak. Batubara tersebut digunakan untuk persiapan negeri Matahari terbit tersebut untuk menghadapi Sekutu di Perang Dunia II.
Sisa-sisa besi tua itu letaknya persis di belakang rumahnya di Jalan Tanjung Karang, Kecamatan Limapuluh, Kota Pekanbaru. Jika masuk dari pintu depan rumah Desrina, dihadapkan dengan pemandangan sederhana sebuah keluarga.
Berbelok sedikit ke kiri, kemudian arahkan langkah kaki ke kanan, maka akan tiba di kamar mandi sekaligus terhubung dengan dapur rumahnya. Keluar beberapa langkah mengarah ke kanan dibatasi kusen tanpa pintu, di sanalah teronggok lokomotif tua itu sejak puluhan tahun silam.
Gambarannya, loko tua ini posisinya melintang, sedikit condong, beralaskan tanah dengan diberikan atap mengarah ke kanan. Setengah sisa bagian mesinnya berada di area empunya rumah, sedangkan bagian lainnya berada area tetangganya, penjual sarapan lontong.
Lokomotif yang masuk bagian rumahnya, sudah tidak utuh lagi, kondisinya lapuk dimakan usia. Sementara, bagian luarnya dilapisinya dengan warna coklat. Setengah di laman rumah tetangganya, lebih parah lagi. Kondisinya sangat tidak terawat, hancur dan diisi sampah oleh rumah tangga di bagian kolongnya.
Posisinya pun sudah tak rata lagi. Miring sedikit ke kanan ditimbun setengah tanah di bagian sisi kana rodanya. Rumput-rumput tipis juga banyak yang tumbuh di sekitar lokomotif.
Begitu memprihatinkan. Sebuah peninggalan sejarah dalam kondisi seperti itu. "Tak ada perhatian. Kalau lihat-lihat sudah banyak kok. Wartawan, pemerintah, bule juga ada, "kata Desrina bercerita saat duduk di atas lokomotif di belakang rumahnya.
Dari dapur itulah, ibu rumah tangga ini memasak seperti ibu-ibu lainnta. Makan siang sedang dikerjakannya untuk disantap satu anak dan suaminya.
Lokomotif yang berada di laman rumahnya itu sudah ada sejak ia lahir, tahun 1960-an silam. Bahkan sejak orangtuanya menginjakkan kaki, awalnya sebagai gudang beras pendistribusiannya diberikan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) pada zamannya, sudah seperti itu.
"Sejak saya lahir sudah kayak ini. Rel memang sudah tidak ada lagi. Ya seperti ini lah," ceritanya.
Diwarisi dari omongan orang terdahulunya, sisa lokomotif uap ini merupakan peninggalan dari zaman Jepang. Tentara Jepang memang sudah menyiapkan romusha guna membangun rel kerta api dari Muaro, Sijunjung, Sumatera Barat menuju Pekanbaru untuk mengangkut batubara, saat Perang Dunia II.
Terbentur biaya, serta Jepang kalah perang, rel kereta api ini akhirnya terhenti. Masa Jepang, rencana itu diwujudkan dengan memakan ribuan korban jiwa, kemudian dikenal dengan sebuat, Jalur Neraka.
"Tapi peninggalan sejarah ini malah tak diperhatikan. Karena kami Sayang, makanya sisa ini kami bersihkan, kikis untuk membuang karatnya dan sudah tiga kali dicat," kata Desrina menceritakan upayanya merawat peninggalan sejarah tersebut.
Begitu juga dengan bangunan sudah turun-temurun mereka tempati ini. Bahkan Jenderal berbintang dua sudah ada yang berani menawarkan rumah beserta isi-isinya kepada mereka.
Lagi-lagi, demi mempertahankan saksi sejarah Kota Pekanbaru, tawaran terbilang menggiurkan itu mereka tolak mentah-mentah. "Kami harapkan semoga ada perhatian dari Pemerintah Riau. Merawat dan menjaga sisa peninggalan sejarah zaman Jepang ini," tutupnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id