Inilah Kisah Kejahatan APP Grup kepada Masyarakat Suku Adat di Riau

ILUSTRASI-Konflik-Agraria.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Asian Pulp and Paper (APP) dinilai tak menjalankan komitmennya untuk menghormati keberadaan suku adat dalam membuka dan mengelola lahan konsesi perusahaan atas izin dari negara. Bahkan, seringkali melakukan penindasan kepada suku adat yang memiliki hak ulayat.

Beberapa perwakilan suku adat yang hidup berdampingan dengan anak perusahaan APP ini menyampaikan, keberadaan APP grup justru menghilangkan pencaharian yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka, bahkan sebelum negara merdeka.

"Dulu kami memiliki hutan untuk mencari buruan untuk dimakan, damar dan rotan untuk dijual. Serta lahannya cukup untuk bercocok tanam. Tapi PT Arara Abadi memusnahkan semua hutan dan pencaharian kami," kata salah seorang warga suku Sakai, Nurasiman yang tinggal di Minas Barat, Kamis, 12 Januari 2017.

Baca Juga: APP Grup Langgar Kebijakan Sendiri, Konflik Agraria Meningkat

Nurasiman adalah salah satu warga Sakai Minas yang masih tersisa dan bertahan di Kampung Banja Sebii. Tahun 2011 lalu kampungnya digusur oleh Arara Abadi dan diganti dengan akasia sebagai tanaman industri untuk PT Indah Kiat Pulp and Paper.

Sejak perusahaan tersebut masuk ke kampung Nurasiman di Minas, Scale Up Riau mencatat perusahaan tersebut telah menebang hutan seluas 2 ribu hektar dan diganti dengan tanaman mono kultur.

Kini masyarakat Sakai Minas hanya tinggal sekitar 40 keluarga saja. Sisanya terpaksa harus berpencar karena sudah tak memiliki pemukiman serta mata pencaharian untuk penghidupan mereka sehari-hari.

"Desa kami terkepung oleh lahan konsesi perusahaan. Kami bahkan tak lagi punya lahan ulayat yang dulu jadi warisan nenek moyang kami," jelasnya.


Klik Juga: APRIL Dan APP Penyebab Terbesar Konflik Agraria Di Riau

Selain Nurasiman dan masyarakat suku Sakai, ada banyak lokasi konflik masyarakat adat lainnya dengan APP grup, diantaranya terjadi di Kampar dan Teluk Meranti.

Pertama adalah Konflik masyarakat di Tiga Koto Sibelimbing. Syamsir adalah salah seorang warga Desa Siabu kecamatan Salo Kabupaten Kampar. Ia mengatakan bahwa luas lahan masyarakat suku Melayu Tiga Koto Sibelimbing dikuasai oleh PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI) seluas 5 ribu hektar.

Bahkan Scale Up mengisahkan bahwa intimidasi pada rakyat adat juga dilakukan dengan menggunakan alat negara seperti TNI dan kepolisian. PSPI kemudian menggusur warga kemudian menguasai kawasan tersebut dan menanaminya dengan akasia,

"Bahkan sering mereka menyewa preman-preman dulunya untuk menakuti warga," terang Syamsir.

Lihat Juga: Konflik Agraria Di Indonesia Masih Tinggi, Mencapai 1.772 Titik

Eriyanto warga Desa Teluk Meranti juga menjadi korban invasi perusahaan. Ia menjelaskan akan adanya upaya penyerobotan lahan seluas 28 hektar milik 14 KK warga desa Teluk Meranti yang dilakukan PT Arara Abadi. Yaitu perusahaan yang berafiliasi ke APP Group.

"Penyerobotan mereka lakukan di lahan di luar kanal gajah milik mereka. Padahal mereka sendiri yang mengatakan kalau kanal itu adalah batas lahan konsesi mereka," kata Anto.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline