5 Masalah Pekerja Pers di Indonesia

jurnalis3.jpg
(pixabay)

Laporan Linda Mandasari

RIAUONLINE, PEKANBARU-Banyak kasus wartawan yang seringkali tidak diperhatikan. Pekerjaan wartawan sangat terkait dengan perburuhan. Media seharusnya memberi kesejahteraan yang layak kepada para pekerja media.

Terlebih jika pekerja media yang dipecat secara tiba-tiba dan tanpa uang pesangon hal itu hanyalah salah satu masalah dari sekian banyak masalah ketenagakerjaan pekerja pers yang ada di Indonesia.

Saat ini Riau Online akan membahas mengenai Indonesia, 5 masalah pekerja pers di Indonesia, simak ulasannya berikut ini.

Gaji pekerja pers yang rendah

Meskipun pekerjaan ini merupakan salah satu pekerjaan intelektual dan gaji pekerja pers di Indonesia masih tergolong rendah. Jika kita bandingkan dengan negara seperti Jepang, Australia, Hongkong dan Korea Selatan, kerja reporter atau reduktor bisa bersaing dengan pekerjaan profesional lain, sangat berbanding jauh dengan kenyataan yang ada di Indonesia.

 

Bahkan terdapat survei yang menunjukkan bahwa gaji wartawan tidak lebih baik dibandingkan dengan gaji buruh pabrik. Bagaimana dengan gaji tersebut jurnalis dapat menghidupi dirinya dan keluarganya? Karena hal itu wartawan bisa jadi akan menggantungkan hidupnya dari orang tua, suami atau istri mereka.

Kemungkinan terjadi wartawan akan mencari usaha sampingan untuk menutupi kekurangan uang belanja dan pengeluaran tiap bulannya. Usaha sampingan yang dijalankan pun dapat menjadi positif dan juga sebaliknya, jika wartawan bisa menjalankan pekerjaan lain yang tetap saja berakibat pada tidak maksimalnya pekerjaan utama mereka sebagai jurnalis. Dengan begitu banyak diantaranya nya penghasilan yang kurang tersebut wartawan merupakan etika dengan menerima uang amplop.

Nasib pekerja pers yang tidak jelas



Indonesia, 5 masalah pekerja pers di Indonesia selanjutnya adalah nasib pekerja pers yang tidak jelas. Ketika perusahaan pers memiliki masalah seperti penerbitan koran tiba-tiba berhenti, dan bahkan tidak ada dana, maka pekerja pers umumnya menempati posisi yang sangat lemah. Pekerja pers bukannya diperhatikan justru dipandang sebagai beban bagi perusahaan.

Tidak heran jika media kehabisan dana dan akhirnya ditutup wartawan yang pertama kali menderita kerugian. Pihak redaksi yang dipersalahkan karena tidak mampu membuat produk yang laku dijual dan tidak majas dalam bekerja. Pekerja pers selalu dipersalahkan pada saat momen tersebut bahkan tidak mendapatkan pesangon dan ganti rugi yang memadai.

Kehabisan dana selalu menjadi alasan dan tameng untuk menutupi hak-hak pekerja yang seharusnya mereka dapatkan. Ketika ada permasalahan seperti produk tidak laku dan modal tidak ada untuk menerbitkan surat kabar, hal tersebut sebetulnya adalah masalah manajemen dan pemodal, tidak ada keterkaitannya dengan wartawan.

Selain itu, bekerja di sektor pertanian masuk berat. Wartawan harus lembur sampai pagi untuk mengejar deadline, bekerja melebihi jam kerja, masuk di saat hari besar atau libur dan sebagainya. Kondisi kerja yang seperti itu seharusnya di imbali oleh kesejahteraan yang bagus tapi kenyataannya mereka tidak mendapatkan hak.

Posisi pekerja pers yang lemah

Di hadapan pemodal atau pemilik perusahaan pekerja pers mempunyai posisi yang lemah. Seorang pemodal dianggap segalanya dan mempunyai kekuasaan yang besar, sementara pekerja pers dipandang hanya sebagai buruh. Burung yang harus patuh dengan apa yang diinginkan oleh pemilik modal, jika melawan pekerja pers bisa dikeluarkan dengan tidak hormat.

Dengan alasan kepindahan, posisi, status sosial yang sering kali tidak dengan alasan yang jelas. Berbagai permasalahan peran pers tidaklah hanya berurusan dengan perut saja, tetapi ketenagakerjaan itu bisa menyebabkan masalah lain dalam kehidupan journalisme.

Seperti fenomena wartawan amplop, di samping moralitas wartawan fenomena wartawan amplop terjadi karena pengaruh rendahnya gaji dan fasilitas yang diterima wartawan. Karena gaji tidak mencukupi, sementara kebutuhan hidup setiap bulan cukup besar yang harus dikeluarkan maka wartawan mudah tergoda untuk menerima amplop.

 

 

 

 

Sama halnya seperti polisi yang menerima pungli atau sogokan, sebetulnya faktor penting yang memicu hal ini adalah rendahnya gaji dengan posisi mereka yang memiliki tanggung jawab serta jam kerja yang cukup tinggi. Hal seperti ini seakan milik penyakit yang sulit untuk ditindaklanjuti pangkalnya.

Wartawan yang menerima amplop karena kebutuhan hidupnya tidak bisa dicukupi kalau hanya mengendalikan gaji tiap bulan yang diterima, tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Dengan hal ini pihak perusahaan pers sendiri banyak yang tidak menerapkan aturan ketat untuk melarang wartawan yang menerima amplop,karena pihak perusahaan menyadari ia tidak bisa membayar wartawan dengan layak.

Sekian informasi mengenai Indonesia, 5 masalah pekerja pers di Indonesia. Semoga informasi yang telah Riau Online berikan bermanfaat bagi pembaca.