(istimewa)
Jumat, 10 Desember 2021 06:23 WIB
Editor: Joseph Ginting
(istimewa)
RIAUONLINE, BANDUNG-Sebanyak 12 santri perempuan menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang pembina Pesantren di Bandung, 2 diantara para korban telah melahirkan 8 bayi. Korban perkosaan itu rata-rata berusia 13-16 tahun.
Kasus ini terjadi sejak 2016 hingga 2021. Pelaku bernama Herry Wirawan (36) itu adalah seorang pemilik sekaligus pembina Pondok Tahfidz Al-Ikhlas Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru.
Kasipenkum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Dodi Gazali Emil menjelaskan, berdasarkan berkas kasusnya, terdakwa diketahui melakukan tindakan cabul terhadap 12 anak didiknya. Tindakan cabul itu dilakukan sejak tahun 2016 sampai dengan 2021.
Pelaku melakukan aksi kekerasan seksual pada santri di beberapa tempat. Mulai dari di komplek pesantren, hotel hingga di apartemen milik terdakwa.
"Dari 12 korbannya, dua di antara telah hamil dan melahirkan 8 bayi. Kayanya ada yang hamil berulang tapi saya belum bisa memastikan," kata dia.
Kasus pencabulan dengan terdakwa dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 3 November 2021 dengan Surat Nomor : B-5069/M.2.10.3/Eku.2/11/2021.
Penetapan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg tanggal 3 November 2021 menentukan sidang pada hari Kamis tanggal 11 November 2021.
"Persidangan dimulai pada tanggal 18 November 2021. Pada minggu ini pemeriksaan persidangan masih dalam pemeriksaan saksi-saksi sudah sebanyak 21 orang saksi dimintai keterangan," kata Dodi, saat dihubungi via ponselnya, Rabu (8/12/2021).
Baca Juga
Terdakwa didakwa dengan dakwaan primair, melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dan Dakwaan Subsidair, yakni terdakwa didakwa melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemenag "Simpan'' Kasus karena Kasihan pada Santri
BBC menuliskan, kendati kasus dugaan kekerasan terhadap belasan santri perempuan itu sudah dilaporkan sejak Mei silam, namun kasus itu minim sorotan publik.
Akan tetapi, menurut pengakuan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono, ia telah "mendengar kasus ini sejak lama".
Namun karena para korban adalah santri perempuan yang berusia di bawah umur, lanjut Waryono, pihaknya bersama lembaga swadaya masyarakat pendampingan perempuan untuk "menyimpan" kasus ini.
"Karena kasihan juga santrinya. Waktu itu kami langsung berkoordinasi dengan pihak Polda, NGO, bersepakat untuk sementara kami tetap berproses, artinya kiainya tetap diproses, [hukum], korban juga mendapat pendampingan."
"Kita menyelesaikan [kasusnya], tapi kemudian tidak menjadi urusan publik. Karena kalau nanti urusan publik, ramai tapi kasusnya belum selesai. Itu pendekatan kami waktu itu," jelas Waryono dikutip dari suara.com
Ia mengingatkan publik agar tidak mudah menyebut tempat mengaji sebagai pesantren. Sebab, menurut Undang-Undang Pesantren, pesantren itu harus memenuhi sejumlah persyaratan.
"Nah di masyarakat ini kan gampang sekali menyebut rumah mengaji sebagai pesantren, padahal dia tidak memenuhi kualifikasi disebut pesantren menurut regulasi," kata Waryono.
Dijelaskan oleh Waryono, saat ini Kementerian Agama tengah mendalami kasus ini, seraya memastikan kualifikasi pesantren yang disebut dimiliki dan dikelola oleh HW, termasuk kualifikasinya sebagai 'kiai'.
"Kalau ini benar, sebenarnya kualifikasinya bukan kiai. Kalaupun layak baru ustaz ," jelas Waryono.