RIAUONLINE - Varian Delta (B.1617.2) dari COVID-19 menjadi strain virus corona SARS-CoV-2 yang paling dikhawatirkan saat ini. Salah satunya adalah karena mudahnya penularan, serta potensi untuk menurunkan efikasi vaksin.
Gatut Priyonugroho, dokter spesialis paru Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) mengungkapkan bahwa ada beberapa perbedaan antara varian virus corona Delta dengan varian yang lebih dikenal lainnya, seperti varian Alpha (B.1.1.7)
"Virus COVID-19 varian alpha dari UK bisa menular dari satu orang kepada enam orang, dan varian delta dari satu orang menularkannya kepada delapan orang," kata Gatut dalam webinar RSUI dan Fakultas Ilmu Administrasi UI.
Dalam siaran pers yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Minggu (17/7/2021), Gatut menyebut bahwa angka penularan tersebut tidaklah saklek. Namun, hal itu menggambarkan mudahnya varian itu menular.
Selain itu, pada orang yang sudah pernah terinfeksi COVID-19 lalu divaksinasi, maka akan terjadi peningkatan antibodi, kecuali untuk varian Delta.
"Ketika dia sudah kena varian delta, terus divaksin, maka keefektifannya tidak sebaik seseorang yang belum terkena jenis varian tersebut," ujarnya.
Gejala Varian Delta
Meski begitu, virus COVID-19 varian Delta memiliki gejala yang hampir sama dengan varian lainnya. Gejalanya yaitu demam (94 persen), batuk (79 persen), sesak (55 persen), berdahak (23 persen), serta nyeri badan (15 persen).
Gejala lain dari COVID-19 varian Delta adalah lelah (23 persen), sakit kepala (8 persen), rinorea (7 persen), batuk darah (5 persen), diare (5 persen), anosmia (3 persen), dan mual (4 persen).
Gatut mengatakan, apabila seseorang mengalami COVID-19 gejala ringan, pada umumnya dia akan baik-baik saja.
Meski begitu, menurut Gatut, ada kesalahpahaman di masyarakat bahwa penyintas COVID-19 akan lebih kebal terhadap virus corona.
"Mereka yang pernah kena COVID-19 bukan berarti dia sudah menumbuhkan antibodi, tetapi itu juga tandanya dia terbukti rentan terkena COVID-19, karena virus itu cocok dengan tubuhnya sehingga mudah masuk," katanya.
"Maka kita juga cukup sering menemukan kasus orang yang terinfeksi virus COVID-19 untuk yang kedua kalinya."
Gatut menjelaskan, World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa pasien COVID-19 yang asimptomatik atau tanpa gejala, diperbolehkan keluar dari isolasi setelah sepuluh hari dinyatakan positif COVID-19.
Sementara pada pasien bergejala atau simptomatik, boleh keluar dari isolasi setelah sepuluh hari sesudah on set gejala dan terbebas dari gejala.
Gatut mengingatkan bahwa masyarakat juga harus membersihkan ruangan demi mencegah tertular COVID-19. Menurutnya, pembersihan ruangan lebih utama ketimbang sekadar disinfeksi.
"Kalau tangan kita kotor, jangan didisinfeksi saja tapi tidak dibersihkan. Bersihkan dulu menggunakan sabun, karena cara ini paling aman untuk merontokan struktur virus yang hinggap pada tangan kita."
Selain itu, pada orang yang sudah sembuh dan boleh keluar dari isolasi mandiri atau isolasi di rumah sakit, juga harus tetap mematuhi protokol kesehatan: menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan, serta tetap menerapkan pola hidup bersih dan sehat.