RIAUONLINE, PEKANBARU - Sidang lanjutan dugaan gratifikasi Bupati Bengkalis non aktif Amril Mukminin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru menghadirkan saksi ahli pidana Universitas Riau Dr Erdiansyah.
Dalam keterangannya kepada majelis hakim yang dipimpin Hakim Lilin Herlina, Kamis, Erdiansyah banyak membahas tentang dugaan gratifikasi yang melilit Amril Mukminin, baik sebelum menjabat Bupati maupun saat masih duduk sebagai wakil rakyat.
Diawal keterangannya, dia mengungkapkan unsur pidana tidak akan hilang meskipun seorang terdakwa telah mengembalikan uang rasuah.
"Dari sisi pidana harus tetap dipertanggungjawabkan," kata dia.
Keterangan akademisi perguruan tinggi negeri terbesar di Riau itu banyak berkutat pada Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang menjerat Amril dalam perkara dugaan suap Rp5,2 miliar yang melilit Amril.
Dugaan suap itu diduga terkait proyek Jalan Duri-Sei Pakning Bengkalis. Uang ini beberapa waktu lalu sudah dikembalikan Amril kepada negara melalui penyidik KPK.
Menurut Erdiansyah, suap punya niat jahat dalam suatu kegiatan terkait jabatan seseorang. Niat jahat itu jika diiringi niat baik, salah satunya dengan mengembalikan uang hasil tindak pidana, berarti tidak ada kerugian negara. Meski begitu, secara pidana harus tetap dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain dalam kasus ini, Amril juga didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menerima gratifikasi terkait jabatannya sebagai anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 2014 -2019, dan Bupati Bengkalis 2016-2021.
Gratifikasi ini berasal dari pengusaha sawit Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755. Uang itu, diterima istri terdakwa secara tunai maupun ditransfer ke rekening bank atas nama Karmarni pada Bank CIMB Niaga Syariah nomor rekening 4660113216180 nomor rekening 702114976200.
Selama sidang berlangsung, Asep Ruhiat, pengacara terdakwa bertanya soal gratifikasi kepada Erdiansyah. Terutama terkait seorang yang menjalankan bisnis dengan pengusaha sebelum memangku jabatan sebagai kepala daerah.
Menurut Erdiansyah, perjanjian selama itu tidak menggunakan kekuasaan melekat tidak masuk pidana. Erdiansyah berpendapat itu merupakan ranah privat antara dua pihak.
Apalagi perjanjian itu, tambah Erdiansyah, ada akta notaris. Beda halnya dengan gratifikasi yang diberikan secara diam-diam tanpa ada perjanjian dan termasuk pendapatan tidak sah.
"Boleh saja seseorang berbisnis sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, sepanjang tidak menggunakan kekuasaan," kata Erdiansyah.
Erdiansyah menjelaskan, perjanjian bisnis bisa berlangsung meskipun seseorang itu menjadi pejabat. Syaratnya harus dilaporkan dalam bentuk LHKPN (laporan hasil kekayaan penyelenggara negara).
LHKPN harus memuat dari mana sumber pendapatan dan ada item-item yang disebutkan detil. Baik itu yang ditransfer ataupun diterima secara tunai.
Erdiansyah juga ditanyai terkait seseorang yang menjadi pengepul sawit dari warga dan mendapatkan Rp10 per kilo. Usaha ini pernah dilakoni Amril sewaktu menjadi anggota DPRD Bengkalis.
Kata Erdiansyah, itu tidak bisa dikatakan gratifikasi kalau ada perjanjian kerjasama dan akta notaris. Apalagi dalam perjanjian ada dimuat persenan yang diterima.
"Kalau setelah menjabat (bupati) hubungan private masih berjalan itu tidak masuk gratifikasi," sebut Erdiansyah.
Terkait rekening Kasmarni yang berisi uang miliaran rupiah, Pengacara Amril, Asep Ruhiat memperlihatkan bukti laporan ke LHKPN, ke majelis hakim. Begitu juga dengan bukti perjanjian kerjasama Amril Mukminin dengan pengusaha sawit.
“Bukti rekening yang didakwa itu, sudah dilaporkan ke LHKPN pada Februari 2016,” kata Asep.