RIAUONLINE, PEKANBARU - Ketua komisi II DPRD Pelalawan yang membidangi Perkebunan dan Kehutanan, Abdul Nasib meminta agar PT Peputra Supra Jaya bertanggungjawab dengan mengganti lahan sawit masyarakat yang kini tengah dieksekusi.
Menurut anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD Pelalawan tersebut, putusan MA yang telah memvonis PT Peputra Supra Jaya melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah).
"Pelaksanaan eksekusi yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Pelalawan sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku, dengan menyerahkan barang bukti berupa perkebunan sawit tanpa izin seluas 3.323 Ha kepada Negara melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau," katanya, Rabu, 29 Januari 2020.
"Tindakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan penertiban dan pemulihan dengan mengembalikan fungsi kawasan hutan sesuai putusan MA tersebut sudah tepat dan berlandaskan hukum," lanjutnya.
Menanggapi kekisruhan beredar di media mengenai nasib masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani yang merupakan plasma atas adanya penertiban dan pemulihan tersebut, dia menyatakan hal itu seharusnya tanggung jawab dari PT Peputra Supra Jaya.
"Karena sebagai badan hukum dibidang perkebunan seharusnya sudah mengetahui areal tersebut merupakan kawasan hutan. Dengan demikian PT PSJ jangan membohongi masyarakat dan harus bertanggung jawab atas nasib masyarakat anggota plasma tersebut, solusinya adalah pihak PT PSJ bertanggung jawab mengembalikan seluruh materi dan immateri yang di derita oleh masyarakat yang tergabung dalam koperasi tersebut," tukasnya.
Berdasarkan ketentuan undang-undang perkebunan, dia menegaskan setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan harus memiliki izin usaha perkebunan. Jika dicermati dalam putusan MA bahwa PT PSJ tidak memiliki Izin usaha perkebunan (IUP) untuk areal 3.323 ha baik plasma maupun inti.
Dalam Permentan Nomor 26/2007 pasal 11 ayat 1 Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan. Dengan catatan kebun yang dibangun oleh Perusahaan Perkebunan tidak diperkenankan dibangun dalam kawasan hutan baik kebun inti maupun kebun plasma.
"Kami sebagai Anggota Dewan yang merupakan perwakilan masyarakat akan memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari PT PSJ untuk memberikan kebun plasma sebesar 20 persen dari total luas areal kebun PT PSJ yang berada diluar kawasan hutan kepada masyarakat tempatan," tegasnya.
Selain itu, ia juga mengatakan jika eksekusi itu selaras dengan semangat penertiban dan pemulihan kawasan hutan ini sudah sejalan dengan tujuan Panitia Khusus (Pansus) Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau serta Tim Satgas Terpadu Penertiban Perkebunan Ilegal Riau.
Sementara itu, ratusan petani sawit di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan masih berupaya melakukan upaya perlawanan hukum dengan menggugat surat tugas eksekusi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau yang disebut menjadi landasan eksekusi 3.323 hektare sawit di desa itu.
Kuasa hukum petani sawit yang tergabung dalam Koperasi Unit Desa Gondai Bersatu Asep Ruhiyat di Pekanbaru mengatakan gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru.
"Kita gugat surat tugas untuk eksekusi di sana ke PTUN. Hari ini sudah masuk sidang pertama," katanya.
Asep mengatakan gugatan itu merupakan salah satu langkah agar eksekusi 3.323 hektare perkebunan sawit di Desa Gondai yang berada di lahan PT Peputra Supra Jaya dan masyarakat dihentikan. Menurut dia, DLHK Provinsi Riau yang melakukan eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 tersebut tidak tepat.
DLHK, katanya tidak memiliki wewenang melakukan eksekusi yang kini tengah berlangsung dengan menggunakan 80 alat berat dan telah menumbangkan sedikitnya 1.000 hektare sawit di Gondai.
DLHK Riau sendiri membantah melakukan eksekusi perkebunan sawit di Desa Gondai. Kepala Seksi Penegakan Hukum Agus mengatakan bahwa eksekusi dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Pelalawan. Sementara DLHK hanya melaksanakan upaya penertiban.
"Saya ingin luruskan, ini bukan eksekusi, tapi pemulihan dan penertiban kawasan hutan. Lahan ini masuk dalam kawasan konsesi PT NWR. Itulah makanya kita tertibkan, kita pulihkan menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), lantaran kawasan ini memang Kawasan Hutan Produksi," kata Agus.
Sementara itu, meski ada penolakan masyarakat, dia mengatakan aksi eksekusi tetap akan dilakukan. Walupun, saat ini ada upaya peninjauan kembali (PK) ditingkat MA.
"Meski ada penolakan, putusan mahkamah agung tetap kita laksanakan. Upaya PK juga tidak menghalangi upaya ini," ujarnya.