Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) mengundang sejumlah pihak untuk ikut bersama-sama berpartisipasi dalam melakukan revisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat adat dan pemanfaatannya.
(Hasbullah)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) mengundang sejumlah pihak untuk ikut bersama-sama berpartisipasi dalam melakukan revisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat adat dan pemanfaatannya.
Pada kesempatan tersebut, LAMR menyimpulkan untuk membentuk dua tim guna merevisi Perda yang tengah dibahas oleh DPRD Riau pasca Juducial Review sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diterima oleh Mahkamah Agung (MA).
"Dari hasil rapat kita bentuk dua tim, yakni tim kerja dan perumus terhadap Perda tersebut dan tim komunikasi antar tim perumus dengan DPRD Riau," kata Ketua DPH LAMR Datuk Syahril Abubakar melalui anggota DPH LAMR, Yusman Hakim, Selasa, 19 November 2019.
Untuk tim kerja dan perumus sendiri akan diketuai oleh Dr Firdaus SH MH yang merupakan anggota DPH LAMR sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
Didalam tim itu ada nama Ketua Tim Tim Asistensi Percepatan Pengakuan, Perlindungan dan Pemajuan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (Tanjak), Alwamen dan Datuk Syahril Abubakar sendiri.
"Tugas tim pertama ini adalah melakukan pengkajian-pengkajian mendalam terhadap isi Perda tersebut, apakah hanya merevisi Perda yang di judicial review saja atau ada masukan lain," kata Hakim.
Sedangkan tim kedua adalah tim komunikasi yang bertugas melakukan komunikasi intens dan lobby-lobby kepada DPRD Riau. Tim ini diketuai oleh Sekum LAMR Datuk M Nasir Panyalai beserta perangkat LAMR.
Untuk diketahui, revisi Perda ini dilakukan menyusul pengabulan gugatan sejumlah LSM terhadap isi perda tersebut pada bulan April hingga Mei 2018 lalu.
Adapun dalam rekomendasi MA, Gubernur dan DPRD Riau diwajibkan mencabut Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 10/2015 yang merugikan kepentingan Masyarakat Hukum Adat.
Kedua Pasal Perda Nomor 10/2015 yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan beberapa aturan yang lebih tinggi dan memberikan ancaman nyata terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya.
Pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) memberikan pengecualian terhadap penguasaan dan pengelolaan bahan tambang oleh masyarakat hukum adat dan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan investasi.
Kemudian, pada Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 10/2015 yang juga dibatalkan oleh Mahkamah Agung yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bertentangan dengan aturan lebih tinggi karena tidak menjamin kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan tanah ulayat sebagai sumber kehidupannya.
Dalam rapat di LAMR yang berlangsung dari pagi hari hingga siang hari ini, peserta rapat juga akan mempertimbangkan untuk menyisipkan sejumlah pasal yang menurut mereka cukup urgen.
Tambahan tersebut ialah aturan terkait tidak jelasnya objek dan subjek dalam masyarakat adat itu. Padahal, menurut mereka masyarakat adat tersebut harus dijelaskan dalam Perda tersebut agar tidak memicu konflik nantinya.
"Kalau dua pasal ini di rubah. Dia tidak akan berdampak pada pengakuan masyarakat adat.
Karena pengakuan atas mereka harus dibunyikan juga," kata Hakim.
Tak hanya itu, LAMR juga akan berupaya untuk memasukkan hak adat atas laut yang bertujuan menjaga hak-hak masyarakat Melayu pesisir yang selama ini sangat dekat dengan laut seperti Bengkalis, Rohil, Dumai dan Meranti.
"Kalau ada pintu perubahan, kenapa tidak merubah semua saja? Ketika proses perubahan di lakukan, tentu kita mau ada impact terhadap masyarakat adat itu," tutupnya.
Sebagai informasi, saat ini Tim Tanjak dan LAMR sudah menginventarisir sebanyak 261 kelompok masyarakat adat berdasarkan hasil pertemuan Tim Tanjak dengan semua LAM kabupaten dan kota se Riau.
Kemungkinan angka ini akan terus bertambah mengingat masih ada LAM kabupaten kota yang belum memberikan data lengkap tentang jumlah kelompok masyarakat adat di wilayahnya.
Semua permasalahan adat di wilayah Riau akan terus digesa karena akan menjadi bahan utama dalam Seminar dan Lokakarya (Semiloka) pada 24-26 November nanti.