Direktur Pengendalian Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Raffles B Panjaitan
(Azhar)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Direktur Pengendalian Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Raffles B Panjaitan membeberkan bagaimana proses dari tahun ke tahun penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dilakukan oleh negara.
Menurutnya, penanganan Karhutla mengalami perubahan kearah perbaikan setelah kondisi karhutla semakin masif dimulai pada tahun 1982.
"Tahun 82 hutan sudah terjadi kebakaran yang sangat luas. Karena terjadi di lahan mineral jadinya tidak ribut," sebutnya, Senin, 8 April 2019.
Kemudian di tahun 1987 luas terbakar mencapai 11 juta hektare. Di tahun 1990an bencana asap mulai menyerang nagara tetangga.
" Pada saat itu kita belum paham dengan gambut dan teknologi belum secanggih sekarang," jelasnya.
Kondisi serupa terjadi di Riau. Dimana, kebakaran setiap tahun rutin terjadi. Seperti di tiga bulan pertama tahun 2015. Luasan yang terbakar mencapai 2.7 juta hektare.
Negara mengambil kebijakan bahwa kebakaran yang terjadi ditindak dengan langkah pencegahan. Namun sayangnya masih dilakukan dengan setengah hati. Karena negara belum bisa bergerak ke daerah apabila situasi daerah belum dinyatakan tanggap darurat.
Raffles mengatakan sejak saat itu terjadi sinkronisasi antar lembaga dengan cepat.
" Tahun 2015 koordinasi dengan BNPB terjadi perubahan kebijakan bahwa diturunkan levelnya di mana hanya dengan status siaga darurat sudah bisa menyalurkan dukungan untuk Pemerintah Daerah," imbuhnya.
Namun bukan malah lebih baik, perubahan saat itu justru menyusahkan tim yang bekerja di lapangan. Dimana, mereka kesulitan untuk memadamkan api di lahan masyarakat ataupun korporasi.
Karena regulasi yang mengharuskan petugas saat itu harus bekerja di hutan milik negara saja.
"Perubahan kebijakan itu memang terjadi, tapi jika di lahan masyarakat kami kesulitan. Saya pernah melakukan pemadaman di lahan masyarakat. Tapi malah diperiksa BPK saat kementerian masih bernama Kementerian Kehutanan. Saya harus membayar Rp 400 juta ke negara. Karena digunakan untuk pemadaman lahan yang terbakar bukan di hutan," sebutnya. Tapi itu juga sudah dirubah saat ini.
Kemudian yang lainnya di mana adanya perbedaan pendeteksian secara dini yang tidak pernah ada di tahun sebelumnya.
Seperti untuk mengetahui letak titik panas sudah menggunakan satelit. Dulu mereka masih menggunakan email.
" Saat itu semua orang request karena terjadi karhutla. Kita tampung menggunakan email baru bisa terhubung dengan Kementerian kehutanan. Tahun 2015 muncul portal. Semua orang bisa akses. Itu awal-awalnya informasi adanya hotspot," jelasnya.
Saat itu juga merupakan aksi perdana mereka turun langsung ke lapangan dalam pencegahan karhutla hingga ke tingkat tapak. Dimulai tahun 2016 melakukan patroli terpadu dengan memanfaatkan 731 desa rawan.
Mereka menggunakan tenaga TNI, Polri, NGO, warga desa dengan jumlah petugas enam orang dalam satu regu menggunakan sepeda motor dengan honor perhari Rp 150 ribu.
Hasilnya 80 persen daerah rawan tidak terbakar lagi. Tahun 2017 ditingkatkan menjadi 1203 desa rawan, tahun 2018 meningkat menjadi 1255 desa dan saat ini sudah ada 1240 desa rawan dengan petugas patroli terpadu yang dikoordinir oleh KLHK.
"Disamping itu juga ada langkah langsung memadamkan. Kenapa kebakaran 2015 bisa besar, karena keterlambatan aksi. Di 2015 belum ada yang seperti itu. Memang ada hujan saat itu. Operasi udara juga sama saat itu tapi hasilnya beda," tutupnya.