Laporan: HASBULLAH TANJUNG
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pemerintah Indonesia melalui Dewan Gelar Nasional telah memilih seorang Mahmud Marzuki, tokoh Muhammadiyah Kabupaten Kampar, sebagai Pahlawan Nasional.
Gelar Pahlawan Nasional untuk pendiri Perguruan Muhammadiyah di Kumantan, Bangkinang tersebut, tinggal menunggu ditandatanganinya Surat Keputusan Presiden (Keppres) oleh Joko Widodo, dan penyerahannya kepada ahli waris keluarga di Istana Negara.
RIAUONLINE.CO.ID, mencoba menyajikan sejarah perjuangan Mahmud Marzuki, sang Pahlawan Nasional ketiga Riau, setelah Tuanku Tambusai dan Sultan Syarif Qasim II, sultan terakhir Kerajaan Siak. Berikut sejarahnya.
Baca Juga:
Mahmud Marzuki Naik Sepeda Pulang Pergi Bangkinang-Padang Panjang Cari Tahu Indonesia Merdeka
Pemerintah Pilih Tokoh Muhammadiyah Kampar Ini Sebagai Pahlawan Nasional
"Mahmud Marzuki adalah sahabat yang sangat hebat dan pemberani. Mahmud Marzuki adalah seorang orator dan singa podium yang belum ada tandingannya di Sumatera. Hanya ada 2 orang yang hebat seperti dia".
Itulah pengakuan dari seorang ulama besar Indonesia, Buya Hamka, disampaikannya dalam berbagai ceramahnya di berbagai tempat.
Ulama kelahiran Maninjau itu tak sungkan mengakui, jika Marzuki Mahmud, koleganya sesama aktivis Muhammadiyah terebut, sangat ahli dalam berorasi, berpidati. Mahmud bak seorang Singa Podium di masanya, zaman kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang yang singkat.
Dikutip dari buku Mahmud Marzuki, sebagai Calon Pahlawan Nasional dari Riau diterbitkan oleh Pemprov Riau tahun 2017, dijelaskan betapa hebatnya kemampuan orator ulama Bangkinang tersebut.
Bahkan, berkat kemampuan orasinya tersebut, mampu membangkitkan gairah dan semangat perjuangan setiap orang yang mendengarkan pidatonya.
Mahmud Marzuki menjadi anggota organisasi Muhammadiyah pada 1939, dimulai dari Ranting Penyasawan, Air Tiris. Hanya berselang setahun, 1940, ia sudah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah di Bangkinang.
Tahun selanjutnya ia menjadi Ketua Cabang di Payakumbuh, Sumatera Barat, dan terakhir ia menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Limo Koto Bangkinang.
Mahmud Marzuki memang menjadikan Muhammadiyah sebagai basis perjuangannya dalam mengusir penjajahan, karena latar belakang pendidikan dimilikinya.
Buktinya, Mahmud mampu mendirikan sekolah di Bangkinang, bak jamur di musim hujan, sekolah-sekolah agama pun bermunculan di setiap desa di Kampar.
Disamping Muhammadiyah menjadi medium perjuangan mengusir penjajah, Mahmud juga mendirikan kelompok pemuda "Hisbul Wathan", organisasi kelompok pemuda cinta tanah air, organisasi sayap Muhammadiyah.
Klik Juga:
Ternyata Orang Kampar Jadi Pahlawan Nasional Di Malaysia
Kibarkan Bendera China, Bagansiapi-Api Berubah Jadi Lautan Api
Konon, organisasi ini sangat ditakuti Jepang karena semangat patriotisme, cinta tanah air dan jihad fi sabililillah mereka yang terkenal sangat kuat.
Kemampuan orasi Singa Podium ini juga tidak hanya dirasakan oleh Organisasi Muhammadiyah saja, Namun juga dirasakan oleh masyarakat di kelompok-kelompok pengajian, dusun, maupun desa di Kampar dan Sumatera Tengah jumlahnya ratusan.
Mahmud dan kawan-kawannya dipermudah dalam menyampaikan orasi perjuangan karena adanya kelompok-kelompok pengajian ini secara diam-diam. Pasalnya, kala itu, mubalig sudah dimata-matai penjajah, karena dianggap berbahaya.
Puncaknya, pada akhir Agustus 1945, usai rapat persiapan dan mengumandangkan Proklamasi kemerdekaan di Kampar, tentara Jepang menyerbu dan menewaskan 8 orang serta ditemukan beberapa mayat dibuang di Sungai Kampar dan Kayu Aro. Tragedi ini dinamakan Tragedi Muara Jalai Air Tiris.
Dari sinilah, Mahmud Marzuki bersama tawanan lainnya, disiksa tiada perihnya oleh Jepang, dan membuat tubuhnya sakit-sakitan. Kondisi ini, sakit-sakitan usai disiksa Jepang, membuatnya tak bisa lagi berdakwah ke pelosok-pelosok seperti dahulu kala hingga Allah SWT menjemputnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id