RIAU ONLINE - Nobel Perdamaian yang diberikan dunia kepada pembela hak azasi manusia (HAM) asal Myanmar, Aung San Suu Kyi, terancam bakal dicabut.
Ancaman itu mulai terlihat saat ratusan pegiat HAM melalui wadah petisi online, change.org, meminta kepada Komite Nobel Perdamaian untuk mencabut penghargaan tersebut yang diterima oleh Suu Kyi, 2012 lalu.
Pemicu keluarnya petisi ini karena Suu Kyi mengeluarkan kata-kata rasis dengan mengatakan, "Tak seorang pun memberi tahu saya akan diwawancara oleh seorang Muslim”.
Baca Juga: Kandidat Kuat Presiden Myanmar Sahabat Dekat Aung San Suu Kyi
Tak ayal, pernyataan rasis itu ternyata tertulis di buku biografinya berjudul, The Lady and The Generals : Aung San Suu Kyi and Burma’s Struggle for Freedom, dikeluarkan Suu Kyi karena ‘geram’ usai wawancara dengan wartawan BBC, Mishal Husain, berdarah Pakistan, 2013 silam.
Ketika wawancara tersebut berlangsung dengan Suu Kyi, Husain sebelumnya mempertanyakan sikap presiden Partai NLD tersebut, yang membisu terhadap sentimen anti-Islam dan diksriminasi terhadap etnik minoritas Rohigya.
Seorang penggagas petisi, aktivis sosial Hamid Basyaib, menilai pernyataan Suu Kyi itu sebagai tindakan “diskriminatif” terhadap Muslim.
“Itu kan pernyataan tidak pantas, tidak relevan. Kalau diwawancara, oleh siapa saja ya boleh toh. Orang Islam, atau apa...,” ungkap Hamid, seperti dilansir dari BBC Indonesia, Senin, 28 Maret 2016.
Turunkan kredibilitas Nobel
Komentar figur kerap disebut “pejuang demokrasi” tersebut, dinilai penggagas petisi, bertentangan dengan prinsip Nobel Perdamaian, menjunjung unsur-unsur antidiskriminasi, antirasisme dan pluralisme.
Klik Juga: Ini Alasan kenapa Suu Kyi tak Bisa Jadi Presiden Myanmar
“Kalau seorang penerima nobel perdamaian justru memunculkan sikap antitesis yang berlawanan dengan unsur perdamaian, berarti nggak pantas.”
Agus Sari dari Publik Virtue Institute, ikut mengajukan petisi ini menyebut, “(Pernyataan Suu Kyi) menurunkan kredibilitas dari Nobel Peace Prize, karena banyak sekali pemegang nobel yang betul-betul berjuang untuk perdamaian dan sampai akhir hayat konsisten.”
“Jadi, kalau tak bisa konsisten, lebih baik, dikembalikan atau dipaksa untuk mengembalikan.”
Pada petisi di Change.org ditulis, “Selama tiga tahun terakhir lebih dari 140.000 etnik Muslim Rohingya hidup sengsara di kamp pengungsi di Myanmar dan berbagai negara. Bukankah demokrasi dan HAM mengajarkan menghormati setiap perbedaan keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan?”
Dilansir dari The Telepraph, dalam buku biografinya, Suu Kyi disebut “menolak mengutuk sentimen anti-Islam dan pembantaian terhadap kelompok Muslim di Myanmar”.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline