Puluhan WNI korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) diselamatkan Kepolisian Thailand dan KBRI Bangkok.
(VOA)
RIAU ONLINE - Budi, seorang penjual buah mengadu nasib jauh hingga meninggalkan Tanah Air. Di Kamboja, ia berharap dapat memulai babak baru kariernya di bidang Teknologi Infoermasi (TI).
Tapi alih-alih meraih impiannya, Budi terperangkap di penahahan yang dijaga ketat. Parahnya lagi, Budi dipaksa menjadi bagian dari sindikat penipuan daring.
Setibanya di Kamboja, Budi yang tidak tahu akan dipekerjakan sebagai penipu diminta untuk membaca skrip.
"Ternyata kami diminta bekerja sebagai penipu," ungkap Budi, bukan nama sebenarnya, dikutip dari VOA Indonesia, Minggu, 8 Desember 2024.
Pria berusia 26 tahun itu dipaksa bekerja 14 jam sehari di lokasi yang menggunakan kawat berduri dan dijaga penjaga bersenjata. Setiap hari, Budi dihantui ancaman dari atasan. Tidak pernah ada waktu yang cukup untuk beristirahat bagi Budi, malam-malam dilaluinya dengan sangat singkat.
Budi hanya menerima $390 dari $800 yang dijanjikan, setelah enam pekan bekerja di sana.
Ternyata Budi tidak sendiri, ada ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang dibujuk untuk bekerja di negara-negara Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Dengan iming-iming gaji besar, mereka justru jatuh ke dalam jaringan penipuan internasional yang kejam.
Sejumlah WNI yang menjadi korban penipuan telah diselamatkan dan dipulangkn oleh otoritas setempat dan pemerintah. Namun, ada puluhan korban lainnya yang masih terjerat pekerjaan berkedok penipuan, terpaksa menjelajahi situs dan media sosial untuk mencari mangsa.
Nanda, seorang pekerja warung makan, bercerita bahwa suami terbang ke Thailand pada pertengahan 2022 setelah majikannya bangkrut. Sang suami memutuskan mengambil tawaran pekerjaan TI dengan gaji Rp20 juta per bulan yang direkomendasikan temannya.
Setibanya di Bangkok, seorang agen Malaysia membawanya menyeberangi perbatasan bersama lima orang lainnya ke Hpa Lu di Myanmar, kota yang menjadi lokasi dirinya dipaksa bekerja di kompleks penipuan daring.
Pria itu dipaksa bekerja selama lebih dari 15 jam per shift. Ia juga harus menerima ancaman hukuman dan pelecehan verbal setiap kali tertidur saat bekerja.
"Dia menceritakan apa yang dialaminya, dia disetrum, dan juga dipukuli, tetapi dia tidak menceritakannya secara rinci agar saya tidak terlalu memikirkannya," kata Nanda yang berusia 46 tahun itu.
Nanda mengungkap bahwa sang suami dijual dan dipindahkan ke operasi penipuan lain pada awal tahun ini. Seperti Budi, suaminya hanya dapat menceritakan kondisinya di perantuan saat diizinkan menggunakan telepon.
Ponsel mereka dikumpulkan di awal hari kerja dan log panggilan serta pesan disaring oleh para operator penipuan.
Namun, komunikasi secara diam-diam, terkadang dengan kata-kata sandi singkat, sering menjadi satu-satunya petunjuk yang membantu kelompok aktivis dan pihak berwenang dalam menemukan lokasi-lokasi penipuan untuk menyelamatkan para korban.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri mendata antara tahun 2020 dan September tahun ini, ada lebih dari 4.700 WNI yang terjerat dalam operasi penipuan daring dari berbagai negara termasuk Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam, yang berhasil dipulangkan pemerintah.
Direktur Perlindungan Warga Negara Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menyebut setidaknya ada 90 WNI yang masih terjebak dalam jaringan penipuan di sekitar wilayah Myawaddy, Myanmar. Menurutnya, jumlah tersebut bisa saja lebih tinggi.
Seorang istri yang suaminya masih terjebak sindikat penipuan daring di Myanmar mengaku telah memohon bantuan kepada pemerintah, tetapi usahanya belum membuahkan hasil.
"Sangat tidak manusiawi, pekerjaan dengan kondisi kerja 16 hingga 20 jam, tanpa bayaran dan selalu mendapat intimidasi, hukuman," kata ibu rumah tangga berusia 40 tahun itu, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Judha mengatakan, bagaimanapun, bahwa pemerintah hanya dapat bekerja sama dengan otoritas setempat dan tidak memiliki yurisdiksi untuk melakukan penangkapan di luar negeri.
"Ada berbagai faktor yang memengaruhi kecepatan penanganan kasus ini," ujarnya. Ia menjelaskan bahwa jaringan penipuan di Myawaddy semakin sulit dijangkau karena adanya konflik di wilayah tersebut, yang memperlambat proses penyelamatan dan pemulangan.
Pihak berwenang Kamboja menyatakan akan mengambil tindakan tegas terhadap operator penipuan tersebut. Namun mereka juga mengimbau pemerintah serta negara-negara lain untuk gencar melakukan kampanye kesadaran publik tentang bahaya penipuan semacam itu.
"Jangan menunggu sampai ada masalah dan saling menyalahkan. Itu sama sekali bukan solusi," kata Wakil Ketua Komite Nasional Anti-Perdagangan Manusia Kamboja, Chou Bun Eng.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Kamboja tidak akan membiarkan penjahat bekerja dengan bebas.
"Kami tidak akan membiarkan mereka (pusat penipuan) berkembang," tambahnya.
Ia menekannya pentingnya kerja sama internasional untuk menghentikan kelompok-kelompok tersebut.
"Para penjahat ini tidak bodoh, mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain setelah melakukan kegiatan kriminal," kata dia.
Pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa mereka yang terjebak oleh sindikat penipuan hidup dalam "neraka."
Hanindha Kristy dari LSM Beranda Migran mengatakan korban tidak memiliki banyak pilihan selain berjuang untuk bertahan hidup di bawah tekanan yang berat. Ia mengatakan pihaknya sering mendapatkan permohonan bantuan dari WNI yang menjadi korban penipuan.
"Ini adalah praktik perbudakan modern, di mana mereka direkrut dan ditipu untuk bekerja sebagai penipu," ujarnya.
Budi berhasil kabur setelah dipindahkan ke jaringan penipuan lain di kota perbatasan Kamboja, Poipet.
Meski merasa bersyukur berhasil kabur, Budi, yang kini bekerja di perkebunan kelapa sawit, masih dihantui rasa bersalah akibat penipuan yang terpaksa dilakukannya.
"Rasa bersalah itu akan terus menghantui saya seumur hidup, karena saat kita merampas hak milik orang, rasanya seperti ada yang mengganjal di hati," tukasnya.