Dijual Bebas, Siswa SMP dan SMA Jajan Rokok Habiskan Rp 200 Ribu Seminggu

Ilustrasi-rokok6.jpg
(Istimewa)

RIAU ONLINE - Rokok yang dijual secara bebas, bahkan di warung-warung kecil, menjadi satu di antara faktor utama siswa kecanduan nikotin. Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan para siswa SMP dan SMA bisa menghabiskan hingga ratusan ribu rupiah untuk membeli rokok.

Kebanyakan siswa membeli rokok eceran per batang di warung dekat sekolah maupun rumahnya.

"Mereka bisa habiskan uang jajan berkisar Rp30 ribu sampai Rp200 ribu per minggu untuk jajan rokok. Itu jumlah yang menakjubkan, uang jajan untuk dibeli rokok," kata project Lead for Tobacco Control Cisdi Beladenta Amalia dalam diskusi Duka Hari Anak Darurat, Anak Indonesia Kecanduan Rokok di XSpaces, dikutip dari Suara.com, Selasa, 23 Juli 2024.

Mayoritas siswa mengaku awalnya membeli rokok batangan hingga kecanduan. Apalagi, rokok dijual murah dengan harga rata-rata sekitar Rp 2.000 per batang.

"Kita lakukan FGD ke siswa SMP dan SMA di Jakarta, mereka mengaku, 7 dari 10 siswa itu mencoba pertama kali dengan rokok eceran. Jadi sangat murah dan mudah didapat di sekitar sekolah maupun rumah mereka," ungkap Bela.



CISDI menyimpulkan bahwa industri rokok saat ini sengaja menargetkan anak sekolah sebagai pembelinya. Sementara itu, pemerintah juga belum punya aturan tegas untuk melarang penjualan rokok eceran dan kepada anak-anak.

"Dengan adanya penjualan rokok batangan itu mudah mendorong anak beli rokok berulang. Meski ketengan, tapi lama-lama banyak. Itu sebabkan tahap adiksi mereka awalnya coba-coba jadi perokok tetap," ujar Bela.

CISDI pun menyoroti tiga faktor penyebab anak sekolah kecanduan rokok. Yakni, izin penjualan rokok eceran, kebebasan jual beli rokok kepada anak di bawah umur, dan akses membeli rokok yang dekat sekolah maupun tempat tinggal anak.

Bahkan, Kementerian Kesehatan mencatat adanya peningkatan pada jumlah perokok anak. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.