RIAU ONLINE - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima pengajuan gugatan yang dilayangkan lima orang ibu. Kelima ibu ini memiliki kisah yang sama, anaknya 'diculik' sang mantan suami.
Mereka ialah Aelyn Halim (Pemohon I), Shelvia (Pemohon II), Nur (Pemohon III), Angelia Susanto (Pemohon IV), dan Roshan Kaish Sadaranggani (Pemohon V).
Gugatan yang mereka layangkan ke MK mempermasalahkan Pasal 330 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".
Frasa 'barang siapa' pada pasal tersebut dipersoalkan. Mereka merasa dirugikan hak konstitusionalnya lantaran hal ini.
Frasa tersebut membuat mereka tidak bisa memproses secara hukum mantan suami atas dugaan penculikan. Pasalnya, 'penculikan' anak dilakukan oleh ayah kandung sang anak.
“Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari Anak’,” bunyi petitum yang dimohonkan Pemohon, dikutip dari kumparan, Selasa, 12 Maret 2024.
Aelyn Halim selaku Pemohon I bercerai dan telah berkekuatan hukum sejak Maret 2022. Ia memiliki anak perempuan yang lahir pada November 2017 dari pernikahannya dengan mantan suami.
Berdasarkan putusan cerai, hak asuh anak jatuh kepada Aelyn. Namun pada 2020, saat anak berusia 2 tahun 8 bulan, sang mantan suami mengambilnya tanpa sepetanguan Aelyn. Sang mantan suami mengambil anaknya di kediaman Aelyn, ketika Aelyn tidak di rumah.
Aelyn sempat menyambangi kediaman mantan suaminya. Tapi, tidak berhasil menemui anak karena kediaman dijaga ketat aparat.
Hingga permohonan diajukan, Aelyn mengaku tidak bisa menemui anaknya. Ia pun mendapat kabar bahwa mantan suami membawa putrinya itu ke luar negeri.
Aelyn sempat melapor ke bagian Pelayanan Masyarakat Kementerian Hukum dan HAM yang kemudian merekomendasikan perkara dilaporkan secara pidana menggunakan Pasal 330 Ayat (1) KUHP di Kepolisian. Namun, laporan kemudian tidak diterima karena pihak yang membawa anak tersebut adalah ayah kandung sendiri.
Kemudian Shelvia selaku Pemohon II, mempunyai seorang anak kelahiran Mei 2021 dari pernikahannya dengan suami yang belakangan sudah bercerai.
Dari putusan PN Tangerang pada 8 Februari 2023 dan PT Banten 10 April 2023, Shelvia mendapat hal asuh. Hingga masuk ke MK, proses cerai masih bergulir di MA.
Pada 7 September 2022, anak Shelvia yang sedang berada di rumah, dikunjungi oleh mantan mertua. Sang suami kemudian tiba-tiba datang dan langsung mengambil anak tersebut. Shelvia kemudian sulit menghubungi mantan suaminya itu.
Pada 11 September 2022, Shelvia berangkat ke Batam karena ada informasi suaminya dan anaknya berada di sebuah hotel. Tiba di lokasi, Shelvia sempat bertemu dengan anaknya. Meski demikian, ia dihalangi hingga terjadi kericuhan. Akhirnya ia mengalah dan meninggalkan hotel sambil menunggu sikap dari suami.
Namun, akses komunikasi terputus. Shelvia tidak dapat menghubungi suaminya dan tidak tahu kondisi anaknya. Ia sempat mendapat informasi bahwa anaknya dibawa ke Singapura.
Shelvia berupaya melaporkan kejadian itu ke KPAI. Ia juga membuat laporan pidana di Kepolisian terhadap suaminya menggunakan Pasal 330 Ayat (1) KUHP. Namun, laporan itu disebut tidak diterima.
Ia lantas melaporkan dengan perkara lain, yakni pemalsuan identitas anak dalam pembuatan paspor serta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pemohon III, Nur yang bercerai dan telah berkekuatan hukum tetap sejak Juli 2017. Ia memiliki dua anak perempuan dari pernikahannya dengan mantan suami. Nur mendapat hak asuh kedua anaknya berdasarkan putusan cerai.
Saat proses cerai masih berlangsung pada 2 April 2016, suami Nur membawa paksa kedua putrinya. Namun dengan bantuan Ketua RT dan polisi, kedua anaknya bisa kembali ke Nur.
Pada 9 Desember 2022, anak kedua Nur yang berusia 11 tahun dijemput ayah kandungnya dengan alasan makan sebentar. Namun, sore harinya, Nur menerima surat dari sang mantan suami bahwa anak dibawa ke Solo. Sejak itu, komunikasi ditutup. Nur tak tahu keberadaan anak keduanya.
Sejak kejadian itu, anak pertama Nur yang berusia 14 tahun mengalami depresi berat. Trauma atas kejadian pada 2016. Bahkan sempat sempat berhenti sekolah.
Atas kejadian itu, Nur membuat laporan pidana Pasal 330 KUHP di Polres Jakarta Timur pada Desember 2022. Namun, tetap belum ada kejelasan soal keberadaan anaknya.
Nur khawatir laporannya akan dihentikan. Sebab, ada pandangan bahwa Ayah atau Ibu Kandung tidak dapat dipidana berdasarkan pasal 330 Ayat (1) KUHP.
Kejadian itu juga menyebabkan Nur mengalami gangguan psikis. Ia bahkan harus mendapat penanganan psikolog.
Pemohon IV bernama Angelia Susanto bercerai dan telah berkekuatan hukum tetap sejak September 2020. Ia memiliki anak perempuan yang lahir di Beijing pada Juni 2013. Hasil pernikahannya dengan mantan suaminya yang merupakan WNA. Dari putusan cerai, hak asuh anak jatuh ke tangan Angelia.
Mantan suami Angelia disebut tidak bekerja sejak 2006. Angelia menjadi pencari nafkah keluarga sekaligus membiayai ibu mantan suami di Filipina. Angelia pun disebut merupakan korban KDRT fisik/psikis.
Pada 30 Januari 2020, mantan suami Angelia disebut menculik anak mereka di atas jembatan Casablanca. Anak tersebut sedang berada di mobil antar-jemput sekolah.
Sejak itu, Angelia tidak tahu lagi keberadaan anaknya. Komunikasinya ditutup keluarga mantan suami. Bahkan Angelia mengaku sempat diperas mantan kakak iparnya.
Angelia sempat mengecek ke Imigrasi tapi tidak menemukan adanya perjalanan ke luar negeri. Padahal paspor mantan suaminya itu sudah kedaluwarsa.
Angelia menduga anaknya telah dibawa kabur ke luar negeri secara ilegal, lantaran mantan suami dan anaknya tidak pernah terdeteksi di Indonesia.
Pada 30 Januari 2020, Angelia bermaksud melaporkan mantan suaminya ke Polda Metro Jaya atas dugaan penculikan. Namun, laporan kemudian hanya menggunakan UU Perlindungan Anak.
Angelia sempat kembali mendatangi Polda Metro pada 14 Februari 2020. Namun, laporan atas dasar penculikan dengan Pasal 330 Ayat (1) KUHP disebut tidak diterima.
Pemohon V bernama Roshan Kaish Sadaranggani bercerai dan telah berkekuatan hukum tetap sejak Desember 2020.
Ia memiliki dua anak hasil pernikahannya dengan mantan suaminya. Dari putusan cerai, hak asuh anak jatuh ke tangan Roshan.
Pada Januari 2021, sang mantan suami disebut menjemput kedua anak mereka dengan alasan ingin mengajak ke mal. Namun, hingga malam hari, tidak ada kabar lebih lanjut.
Belakangan, mantan suami mengabarkan anak-anak tidak akan diantar balik ke rumah Roshan. Roshan juga diminta tidak menjemput maupun menghubungi lagi.
Ia sempat mendatangi rumah mantan suami dan melihat ada kedua anaknya. Namun, ia tak diizinkan masuk.
Ia sempat melapor ke KPAI, P2TP2A, hingga DPPPA DKI Jakarta tetapi tidak ada hasil. Roshan kemudian melapor ke polisi menggunakan Pasal 330 Ayat (1) KUHP. Namun, laporannya tidak diterima dengan alasan Ayah kandung tidak dapat diproses pidana menculik Anak kandung.
Kelimanya sudah mendaftarkan gugatan ini ke MK sejak 11 Oktober 2023. Permohonan ini pun sudah beberapa kali disidangkan. Pihak DPR maupun Pemerintah juga sudah diminta keterangannya oleh MK atas permohonan ini.
Presiden/Pemerintah diwakili oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Asep Nana Mulyana. Dalam persidangan, Asep mengatakan bahwa pada prinsipnya suami istri yang telah bercerai secara hukum masih diberikan hak dan tanggung jawab terhadap anak akibat perceraian sehingga kedua belah pihak harus tetap memiliki iktikad baik demi perkembangan anak.
Akan tetapi, kata Asep, jika mantan suami yang merupakan ayah kandung melakukan tindakan-tindakan terhadap anak tanpa adanya kesepakatan terhadap mantan istri sebagai hak asuh anak, dapat berdampak tidak baik.
Perbuatan sengaja mengambil paksa disebut bisa dilaporkan ke polisi oleh Ibu sebagai pemegang hak asuh sebagai rasa tanggung jawab terhadap anak.
Asep yang merupakan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pun menambahkan bahwa laporan yang tidak ditindaklanjuti dengan alasan yang melakukan perbuatan adalah ayah kandung dari si anak sendiri, merupakan alasan yang kurang tepat.
Jika laporan tersebut tidak ditindaklanjuti, secara hukum dampak yang dilakukan terlapor tidak dapat diukur secara hukum apakah perbuatan ayah yang dituduh membawa anak dari ibu kandungnya berdampak positif atau negatif terhadap si anak.
Meskipun terlapor adalah ayah dari anak, tetapi jika adanya laporan yang merupakan kepentingan hukum pelapor tetap harus ditindaklanjuti sebagai upaya negara untuk melindungi si anak dari perbuatan yang berdampak tidak baik. Serta alam rangka mencegah perbuatan yang dapat memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya.
Dalam sesi terpisah, Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai permohonan Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas melainkan persoalan implementasi norma.
Selain itu, menurut DPR, frasa "barangsiapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsh – Indie merupakan terjemahan dari "Hij die" dalam bahasa Belanda.
Pria yang akrab disapa Tobas itu lebih lanjut menjelaskan Frasa "hij die" dalam Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsh–Indie yang selama ini diterjemahkan sebagai frasa “barangsiapa” telah diperbaiki menjadi “setiap orang”. Dengan demikian, terdapat relevansi rujukan perbaikan rumusan pasal dalam UU 1/2023 Tentang KUHP yang baru dengan permohonan a quo.
“DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai konstitusionalitas Pasal a quo dalam pengujian KUHP UU 1/1946 terhadap UUD NRI Tahun 1945,” tegas Tobas yang merupakan Politikus NasDem itu.
Merujuk jadwal MK, permohonan masih akan disidangkan pada Rabu 13 Maret 2024. Agendanya mendengarkan keterangan ahli.
Pihak kepolisian maupun para mantan suami Pemohon belum berkomentar soal adanya permohonan ini.