Kampanye Pilpres Dimulai Besok, Saatnya Capres-cawapres Umbar Janji

Anies-Ganjar-dan-Prabowo.jpg
(Foto: kumparan)

RIAU ONLINE - Kampanye pemilihan presiden (Pilpres) secara resmi dimulai besok, Selasa, 28 November 2023. Seperti pilpres sebelumnya, akan banyak janji yang diumbar masing-masing calon.

Meski begitu, sebenarnya "kampanye" secara tidak resmi telah dimulai sejak masing-masing pasangan calon capres-cawapres diumumkan ke publik. Masing-masing calon bahkan telah berkeliling ke berbagai tempat untuk bertemu pemilih demi menyampaikan visi dan misi mereka, mengumbar janji terkait hal yang akan dilakukan jika terpiliha, menghadiri berbagai acara, dan beradu pemikiran lewat pidato.

Misalnya organisasi Muhammadiyah yang secara resmi menyediakan wahana bagi setiap pasangan calon untuk menguraikan program mereka di hadapan pengurus dan anggotanya. Capres nomor urut 1, Anies Baswedan misalanya, hadir di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Rabu, 22 November lalu untuk mengemukakan misinya. Dia menegaskan pentingnya perubahan bagi Indonesia.

“Itu juga yang menjadi prinsip kami, saya dan Gus Muhaimin, berangkat dengan sebuah niat dan tujuan bahwa ikhtiar kita, untuk melakukan perubahan, bukan sekedar mengubah tetapi kami ingin Indonesia yang lebih adil, Indonesia yang lebih setara,” katanya, dikutip dari VOA Indonesia, Senin, 27 November 2023.

Muhammadiyah sehari kemudian mengundang capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo di Universitas Jakarta. Ganjar bicara tentang banyak hal, satu di antaranya soal kemiskinan dan cara untuk menekan angka kemiskinan itu.

“Caranya yang tadi saya sampaikan, datanya harus pasti, orangnya pasti, dan ini diambil oleh negara, mau pakai BLT boleh, mau jaminan sesuatu boleh. Maka kalau Satu Data Indonesia-nya tepat, maka sinkroninasi akan terjadi,” papar Ganjar.

Pada Jumat, 24 November 2023, giliran capres nomor urut 2, Prabowo Subianto yang hadir dalam dialog terbuka Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di sana Prabowo bicara dengan penuh semangat. Ia menguraikan banyak langkan yang akan ditempuhnya jika menerima kepercayaan pemilih sebagai presiden. Prinsipnya, dia akan meneruskan berbagai program yang sudah dijalankan Jokowi, misalnya terkait hilirisasi.

“Di antaranya adalah, kita akan mengatur pengelolaan kekayaan kita, kita akan teruskan hilirisasi. Hilirisasi kita punya 21 komoditas dan kita sudah punya petanya, kita sudah punya strateginya, kita sudah punya rencananya, 21 komoditas yang nilainya akan bertambah berpuluh kali,” ucap Prabowo.

Kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mendeklarasikan periode kampanye itu. Ketiga pasangan capres-cawapres punya waktu hingga 10 Februari untuk berkampanye. Sedangkan hari pencoblosan akan dilakukan pada 14 Februari 2024.

Seperti pilpres sebelumnya, masa kampanye akan berlangsung selama 75 hari. Setiap pasangan calon berkesempatan untuk menyampaikan program, visi-misi, janji, dan pernyataan apapun untuk menarik dukungan pemilih.

Jargon seperti membela rakyat, bekerja demi bangsa, berbakti pada negara, tulus ikhlas berjuang, akan terus didengungkan selama masa kampanye. Selain itu, capres-cawapres akan rutin datang ke masyarakat miskin, berbelanja ke pasar, mengumbar foto-foto kedekatan dengan pekerja informal, seperti pengamen, sopir, buruh, hingga ibu rumah tangga.



Dr Hempri Suyatna adalah pengamat politik sekaligus dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia mengatakan, segala macam jargon, janji dan pencitraan semacam itu sudah tidak laku di kelas menengah terdidik, tetapi nampaknya masih akan dilihat oleh masyarakat menengah kebawah.

“Mungkin bagian dari seolah-olah mereka menunjukkan, agar mereka dianggap sebagai pro terhadap rakyat. Masih relevan isu-isu itu. Banyak juga pencitraan, selain jargon-jargon itu, juga seringkali pencitraan dengan terjun ke masyarakat miksin dan sebagainya,” kata Hempri.

“Kita tidak bisa menyeragamkan antar kelompok masyarakat. Sehingga menurut saya, dalam beberapa segmen-segmen, khususnya menengah ke bawah, hal-hal itu masih umum terjadi. Ini problem literasi politik,” tambahnya.

Satu di antara persoalan adalah budaya politik. Menurutnya, masyarakat mayoritas terjebak dalam dukung-mendukung dan merasa bangga serta menang saat calon yang didukungnya berhasil duduk sebagai presiden. Namun kemudian, tidak ada keinginan sama sekali untuk mengawal pemerintah yang didukungnya melalui pemilu itu, dengan turut melakukan pengawasan sebagai rakyat.

Pendidikan politik sangat penting untuk menyadarkan pemilih dari janji-janji manis capres, tetapi banyak pihak seperti perguruan tinggi dan partai politik, kata Hempri, saat ini sudah terjebak pragmatisme politik.

Pemilih harus melihat jauh ke belakang, siapa pihak yang ada di balik para capres ini dan bukannya sekadar mendengar pidato mereka.

“Harus kita lihat dari tiga pasangan ini, tidak sekedar dari visi-misi, tapi juga track record. Kita juga harus menjadi pemilih yang cerdas dan tahu, siapa yang ada dibalik dari tiga capres-cawapres itu. Politik kita masih biaya tinggi. Oligarki politik dan oligarki ekonomi masih dominan. Politik kita dibajak. Kita harus hati-hati, harus lebih cerdas jangan sekedar lihat bungkus luarnya. Kita harus melihat siapa yang ada di belakangnya,” tambah Hempri.

Sepanjang kampanye di Indonesia, ada dua kelompok pemilih yang akan didekati, yakni nasionalis dan agamis. Tidak heran, jika selama ini pemilihan pasangan capres-cawapres oleh partai politik hampir selalu mempertimbangkan keterwakilan dua kelompok ini.

Capres dan cawapres selama kampanye akan berbagi peran untuk melakukan pendekatan terhadap dua kelompok pemilih dominan ini.

Peneliti Pusat Penelitian Politik, BRIN, Wasisto Raharjo Jati menyebut hal ini sebagai keseimbangan kekuatan politik.

“Tentu disini ada kalkulasi politik yang telah diperhitungkan. Kalau kita baca, pola yang sekarang itu, kecenderungannya kandidat yang berlatar belakang nasionalis sekuler, itu tendensinya akan mengajak kandidat yang punya latar belakang religius. Disini ada ceruk pemilih yang tidak bisa dikuasai kalangan nasionalis, yaitu pemilih religius,” ujarnya.

Tapi sepanjang sejarahnya, tidak semua presiden dan wakil presiden datang dari rumus yang sama. Menurutnya, Indonesia mempunyai pola yang dinamis dalam konsep ini. Misalnya Soekarno, seorang nasionalis dan penggalang kekuatan justru berpasangan dengan Mohammad Hatta yang cenderung sebagai administratif.

“Kalau kita baca pola klasik itu solidarity maker sama administrator, itu yang merujuk pada sosok Bung Karno dan Bung Hatta,” katanya.

Namun pola pasangan untuk merebut suara pemilih itu terus berkembang dan berubah. Di akhir kepemimpinan Soeharto misalnya, kata Wasisto, tren kepemimpinan adalah Jawa dan luar Jawa. Era Gus Dur dan Megawati beralih ke agamis-nasionalis, lalu ketika Gus Dur jatuh, polanya adalah nasionalis-agamis dengan naiknya Hamzah Haz sebagai wakil presiden.

“Kemudian berlanjut dengan era SBY, dimana ada Jawa-luar Jawa lewat SBY-JK. Tapi tren itu berubah di era SBY kedua, yang memilih Budiono, yang seorang teknokrat sebagai wakil presiden,” lanjut Wasisto.

Pola Jawa-luar Jawa kembail di era Jokowi ketika dia berpasangan dengan Jusuf Kalla. Lalu di periode kedua, pola nasionalis-agamis dipakai, dengan memilih Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden.

Wasisto menyebut, dalam upaya memperoleh dukungan pemilih, capres dan cawapres saling melengkapi. Selain itu, cawapres adalah orang yang semestinya punya kapabilitas untuk bisa mengelola negara dari balik layar.

“Kalau kita kembali ke pola dasar, solidarity maker dan administrator. Jadi presidennya lebih tampil ke publik, wakil presidennya lebih banyak di kantor,” tambahnya.