RIAU ONLINE - Sejumlah pihak menggugat batas usia capres-cawapres menjelang Pemilu 2024 hingga berujung kontroversi. Kader partai politik hingga kepala daerah meminta Mahkamah Konstitusi untuk memperbolehkan capres-cawapres berusia di bawah 40 tahun.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengetuk palu dengan menyatakan syarat batas usia minimal capres dan cawapres tetap 40 tahun, kecuali bagi orang yang sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.
Keputusan ini menuai polemik. Banyak pihak yang menilai bahwa usia pemimpin lebih dari 40 tahun sangat ideal memimpin Indonesia. Bahkan Wakil Presiden ke10 dan ke-12, Jusuf Kalla menilai bahwa usia 40 tahun sudah kategorikan matang.
"Jadi waktu itu di DPR pertimbangannya bahwa ini kan Wakil Presiden, Presiden RI, memimpin 270 juta orang, tanpa pengalaman dan kepemimpinan yang kuat, bagaimana bisa memimpin 270 juta orang? Karena itu dipertimbangkan tingkat kematangan itu 40 tahun,” kata JK ditemui di Markas Pusat PMI beberapa waktu lalu, dikutip dari Suara.com, Selasa, 17 Oktober 2023.
Meski begitu, faktanya Republik Indonesia pernah dipimpin sosok pemuda berusia di bawah 40 tahun. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dahulu Indonesia punya 'presiden' berusia 38 tahun.
Kepemimpinan sosok pemuda ini memang tidak panjang. Namun, ia mempunyai andil besar dalam menyelamatkan kedaulatan Republik Indonesia dari Agresi Belanda.
Sjafruddin Prawiranegara, pria kelahiran Banten, 28 Februari 1911, kala itu diberi mandat untuk memimpin Indonesia kala Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Ketika Yogyakarta jatuh dan Soekarno-Hatta ditawan Belanda, Sjafruddin Prawiranegara, yang menjabat Menteri Kemakmuran RI, diberi kuasa untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sumatera, tepatnya di Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar).
Sebenarnya, saat itu Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram, namun tidak sampai kepada Sjafruddin Prawiranegara.
"Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra."
Sjafruddin Prawiranegara usai mendengar kabar tersebut langsung berinisiatif untuk menggelar rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukitting, pada 19 Desember 1948.
Ia lantas mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat. Gubernur Sumatra, Mr TM Hasan, yang hadir saat itu langsung menyetujui usulan tersebut.
"Demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".
Akhirnya berdiri pemerintahan sementara, dengan Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI, atau setara dengan presiden, dan memiliki beberapa menteri dalam kabinet tersebut.
Keberadaan PDRI yang berada di suatu lokasi daerah Sumatera Barat itu kemudian diakui menjadi pemerintahan Republik Indonesia yang sah meski Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.
Namun, 'masa pemerintahan' Sjafrudin Prawirangara sebagai pemimpin negara tidak berlangsung lama. Pada 13 Juli 1979, Sjafrudin Prawirangara menyerahkan kembali kepemimpinan negara kepada Presiden Soekarno di Yogyakarta.
Meski begitu, hingga kini Sjafrudin Prawirangara tidak diakui sebagai 'Presiden Indonesia'. Dalam artikel yang dimuat Harian Pelita pada 6 Desember 1978, Sjafrudin Prawirangara mengungkap alasannya tidak menggunakan jabatan presiden dan lebih memilih ketua.
"Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui mandat Presiden Sukarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati… Tapi andai kata saya tahu tentang adanya mandat tersebut niscaya saya akan menggunakan istilah ‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya."
Sjafruddin Prawiranegara mengembuskan napas terakhirnya pada 15 Februari 1989. Ia meninggal dunia di Jakarta pada usia 77 tahun. Pemerintah RI menetapkan Syafruddin sebagai pahlawan nasional pada 7 November 2011.