RIAU ONLINE - Tragedi Gerakan 30 September 1965 atau dikenal G30S PKI menyasar setiap daerah di Tanah Air, tak terkecuali Sumatera Barat (Sumbar). Kala itu, tidak sedikit warga Ranah Minang ditangkap hingga dibantai lantaran dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemerhati sejarah dari STKIP PGRI Sumbar, Syamdani, mengungkap bahwa pembantaian simpatisan PKI di Sumbar pasca G30S PKI berbeda dengan kisah kebanyakan di daerah lain di Indonesia.
Dalam sejarah pemberontakan di Indonesia, Sumbar termasuk daerah "merah". Jauh sebelum pemberontakan PKI, gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telah meletus di Ranah Minang. Pasukan Kodam Diponegoro Jawa Tengah lalu menumpas gerakan ini.
Syamdani mengatakan, kekuatan pendukung PKI di Sumbar kian meningkat setelah penumpasan PRRI. Posisi pos-pos pimpinan masyarakat yang sebelumnya diisi orang-orang anti PKI yang mendukung PRRI ditinggalkan.
"Ini terjadi karena pimpinan masyarakat yang anti PKI khawatir dengan dendam di antara orang-orang PKI. Atas kondisi itu, sebagian besar pos-pos pimpinan tersebut diisi oleh tokoh dan simpatisan PKI," katanya, dikutip dari Suara.com, Jumat, 29 September 2023.
Saat sebagian besar pos-pos pimpinan masyarakat diisi oleh tokoh dan simpatisan PKI, berbagai urusan administrasi dan sebagainya di pemerintahan dikaitkan dengan keanggotaan PKI.
Hal itu juga berlaku di berbagai organisasi pendukungnya. Kondisi ini yang kemudian memaksa masyarakat menyelaraskan diri demi bertahan hidup di Sumbar.
Ketika pos-pos pimpinan masyarakat dikuasai pendukung PKI, kata Syamdani, seorang sopir bahkan harus menjadi anggota Serikat Buruh Kendaraan Bermotor (SBKB) yang berafiliasi dengan PKI, hanya untuk mengoperasikan kendaraan jalur tertentu.
"Jika tidak menjadi anggota SBKB, maka izin mengoperasikan kendaraan tidak keluar. Akibatnya karena tidak ada jalan lain, akhirnya ia didaftarkan sebagai anggota SBKB yang mendukung PKI," katanya.
Kondisi yang sama juga terjadi pada bidang kehidupan lain, seperti pertanian. Seorang petani tiba-tiba sudah tercatat sebagai seorang PKI lantaran hanya menerima bantuan cangkul dan menandatangani bukti pemberian bantuan. Padahal, petani tersebut hanya seorang yang tidak pandai tulis baca.
"Cerita-cerita semacam ini banyak ditemukan ketika berbicara dengan orang-orangtua yang hidup pada zaman itu yang menjadi sasaran kekejian pasca peristiwa G30SPKI. Sebagian mereka juga kemudian ada yang ditangkap," tuturnya.
Menurut Syamdani, sejarah mencatat ada sekitar 25.653 orang tahanan G30S PKI di Sumbar. Dari jumlah ini, sebanyak 5.967 orang di Kabupaten Padang Pariaman, 4.308 orang di Tanah Datar, 3.057 orang di Pasaman, 3.019 orang di kabupaten 50 Kota, 2.322 orang di Kabupaten Agam.
Adapula di Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 1.889 orang, 1.239 orang di kabupaten Solok, 1.131 orang di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, 1.078 di Kota Padang, 727 orang di di Kota Sawahlunto, 536 orang di Payakumbuh, 189 orang di padang Panjang, 111 orang di Kota Solok dan 90 orang di Bukittinggi.
Berdasarkan data tersebut, diperkirakan aksi-aksi untuk meringkus mantan anggota dan simpatisan PKI terjadi di sebagaian wilayah kabuapten dan kota di Sumbar, termasuk di daerah yang anggota dan simpatisan PKI lebih banyak.
"Pembersihan anggota dan simpatisan PKI dilakukan dengan berbagai macam cara dan yang paling keji adalah pembunuhan," ucapnya.
Saking banyaknya aksi pembataian, banyak mayat-mayat simpatisan PKI yang dihanyutkan hingga dikuburkan secara massal.
"Penelitian akurat tentang hal ini belum dilakukan. Angka korban yang dimunculkan oleh orang-orang tertentu hanya bersifat perkiraan," katanya.
Satu di antaranya muncul saat Saafroeddin Bahar dalam sebuah wawancaranya mengatakan korban pembunuhan terhadap orang-orang PKI pasca G30S PKI di Sumbar lebih kurang 50 orang dan kebanyakan dilakukan orang kampung mereka.
Secara nasional, menurut Syamdani, komisi pencari fakta yang ditunjuk Presiden Soekarno melaporkan bahwa pada Januari 1966 bahwa terdapat 78.500 orang tewas dibunuh di Indonesia. Angka ini sengaja diperkecil oleh sebuah komisi yang dikuasai perwira-perwira militer dan yang mendasarkan laporannya pada informasi dari kalangan perwira militer juga.
"Salah satu dari dua orang sipil di dalam komisi, Oei Tjoe Tat, mengatakan bahwa secara pribadi ia menyampaikan kepada Sukarno, jumlah pembunuhan sebenarnya di Indonesia pasca G30SPKI mendekati angka 500.000 hingga 600.000 orang," tutupnya.