RIAU ONLINE, JAKARTA-Pengurus Yayasan Sativa Nusantara menyambangi kantor Suara.com untuk membahas pemanfaatan ganja medis untuk kesehatan di Indonesia. Apa saja manfaat dan sudah sejauh apa penelitiannya?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 106/PUU-XVIII/2020 menyatakan menolak permohonan penggunaan Narkotika Golongan I yakni ganja untuk keperluan medis, tidak lantas mengurungkan langkah Yayasan Sativa Nusantara mengadvokasi ganja medis agar bisa digunakan di Indonesia.
Ketua Yayasan Sativa Nusantara, Dhira Narayana mengatakan Putusan MK tidak lantas membuat advokasi ganja medis jadi mundur ke belakang. Ini karena dari putusan MK itu pemerintah diminta untuk meneliti manfaat ganja medis untuk keperluan suatu penyakit.
"Apakan putusan MK ini sebuah kemunduran? Saya rasa ini sesuatu yang tetap, karena tidak ada perubahan klausul pada undang-undang. Tapi kemajuannya, justru MK minta pemerintah untuk mengeluarkan riset," kata Dhira di markas Suara.com, di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (14/7/2023).
Kedatangan Dhira tidak sendiri, ia hadir bersama Pengawas Yayasan Sativa Nusantara, Ferly Novriadi bersama dua rekan lainnya. Mereka disambut langsung Pemimpin Redaksi (Pemred) Suara.com, Suwarjono di ruangan pribadinya.
Lebih lanjut dalam diskusi tersebut, Dhira mengakui masih tingginya stigma masyarakat Indonesia terhadap ganja medis. Ini karena sebagian besar orang berpikir, ganja medis sama seperti ganja rekreasi yang digulung dan dibakar selaiknya rokok.
Padahal Dhira mengatakan ganja medis digunakan tidak dengan cara dibakar atau hisap. Tapi bekerja dalam bentuk obat yang diresepkan ketat oleh dokter dengan diagnosis pasti, dan dosis yang tepat serta tidak sembarang orang bisa mendapatkannya.
"Jadi sama seperti beberapa obat golongan narkotika sebenarnya yang sudah digunakan di Indonesia, cuma kan emang obat ini kan nggak bisa sembarangan diberikan, harus sesuai pemeriksaan dan rekomendasi dokter, bahkan pengawasannya juga ketat," jelas Dhira.
Di sela-sela diskusi Dhira juga menunjukan bagaimana ganja bentuknya tidak melulu berbentuk lembaran daun, tapi di beberapa negara yang melegalkan ganja seperti Thailand, ganja industri sudah sangat berkembang pesat. Ini karena ganja bisa jadi bahan dasar pembuatan skincare, baju, dan sebagainya.
Tapi menurut Dhira, untuk ganja industri Indonesia belum siap dan butuh waktu lama untuk sampai ke sana saat ini. Selain itu masyarakat juga tidak perlu khawatir, pemanfaatan ganja medis ini bakal jadi peluang ganja rekreasi dilegalkan, sehingga digunakan untuk mabuk-mabukan.
"Banyak negara yang ganja medisnya jalan, tapi rekreasinya tetap dianggap kriminal. Seperti di Eropa misalnya, ada kepemilikan ganja terbatas jadi tidak di penjara. Di Maroko negara muslim, ganja medis itu program dijalankan, tapi jika disalahgunakan tetap ada kriminalisasinya, jadi ini korelasi yang berbeda," jelas Dhira.
Di sisi lain, Pemred Suara.com, Suwarjono membenarkan cukup sulit melawan stigma ganja medis yang sudah sangat melekat di Indonesia. Namun ia menyarankan, agar edukasi ini harus dibarengi dengan percontohan kasus sehingga lebih mudah dipahami masyarakat.
"Jadi cara paling mudah itu dengan menggandeng kasus, misalnya orang-orang yang sakit sangat membutuhkan ganja medis. Atau kisah orang yang memang terbukti berhasil sembuh berkat ganja medis, itu jadi menarik bagi pembaca," timpal Suwarjono.
Terakhir Dhira menjelaskan, saat ini Yayasan Sativa Nusantara yang dipimpinnya sedang berfokus membentuk tim penelitian, dengan harapan rampung di akhir 2023. Fokus pertama yang dituju yakni meneliti ganja medis sebagai pengobatan anti kejang dikutip dari suara.com
"Fokus saat ini buat obat ganja sebagai anti kejang, sesuai kondisi Pika, sebagai anak yang mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak yang kondisinya dikawal yayasan. Kisah Pika ini juga viral, karena ibunya Santi Warastuti yang putus asa memberikan ganja agar anaknya lebih tenang dan bisa sembuh dari kejang, walau tahu tindakannya ilegal di Indonesia," tutup Dhira.