RIAU ONLINE - Sidang vonis Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat digelar di PN Jakarta Selatan, Senin, 13 Februari.
Jaksa sebelumnya menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan Putri dituntut delapan tahun penjara.
Menurut pakar hukum pidana UGM, M Fatahillah Akbar, putusan hakim bisa saja lebih berat atau lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sehingga, tidak menutup kemungkinan Ferdy Sambo divonis hukuman mati.
"Ya ada kemungkinan kalau misalkan hakim melihat ada alasan yang lebih memberatkan. Misalkan istilahnya tidak kooperatif, tidak menyampaikan sesuatu dengan sebenarnya, itu mungkin saja dijatuhi pidana mati," kata Akbar, dikutip dari kumparan, Senin, 13 Februari 2023.
Jika akan menjatuhi hukuman mati, hakim harus menyampaikan alasan-alasan yang memberatkan untuk kemudian bisa menjadikan terdakwa dijatuhi hukuman mati.
"Tapi itu dimungkinkan, dengan menurut saya dengan konsep hukum yang ada sekarang, pembunuhan berencana dimungkinkan itu (hukuman mati)," katanya.
Kendati demikian, Ferdy Sambo bisa saja dijatuhi hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa. Akan tetapi, jaksa juga harus melihat hal yang meringankan dalam kasus ini jikan ingin menjatuhi lebih ringan dari tuntutan.
"Kalau saya sih agak condong sedikit ya alasan yang meringankan, hampir nggak ada yang meringankan bagi FS," kata dia.
Kasus pembunuhan berencana ini memang tengah disorot publik dalam beberapa bulan belakangan. Menurut Akbar, hakim harus tetap objektif tanpa terpengaruh pada hal-hal di luar persidangan. Meski, kemungkinan tekanan publik mempengaruhi psikologi hakim tetap ada.
"Ya hakim harus bersifat objektif. Nah ini kesulitannya, tapi tidak bisa kita pungkiri pasti psikologi hakim terpengaruh dengan melihat berita dan sebagainya itu, yang berbahaya makanya hakim harus bersifat objektif," katanya.
"(Masyarakat) yang lihat (secara) online juga tetap tinggi. Ya harusnya tidak (pengaruhi keputusan) secara umum, tapi tidak bisa memungkiri psikologinya terpengaruh walaupun tidak diketahui seberapa besar berpengaruh," katanya.
Akbar menilai antara surat tuntutan jaksa dan surat putusan hakim untuk Ferdy Sambo tidak akan banyak perbedaan.
Sebab menurutnya, ada sejumlah poin perencanaan pembunuhan yang terbukti, serta sudah diperkuat dengan alat bukti dan bukti pemberatan, yakni obstruction of justice berupa perusakan CCTV yang dilakukan Ferdy Sambo.
"Jadi ada pembunuhannya, pembunuhan berencana plus obstruction justice dalam bentuk CCTV, saya rasa memang hukuman yang paling sesuai ya seumur hidup," katanya.
"Walaupun tidak tahu apakah ada pidana lebih tinggi atau tidak, tapi untuk mereduksi perdebatan tentang hak asasi manusia mungkin seumur hidup yang akan diambil hakim juga" katanya.
Sementara untuk Putri, kata Akbar, fakta persidangan menjelaskan peran putri tak sesignifikan Ferdy Sambo. Dia hanya terlibat dalam konteks mengetahui rencana tapi tidak memberikan informasi.
"Dan alasan meringankannya juga dia tidak berada di lokasi penembakan dan lain sebagainya. Walaupun yang memberatkan tidak kooperatif juga," katanya.
Namun, tidak menutup kemungkinan Putri divonis lebih berat atau lebih ringan dari tuntutan jaksa.
"Saya sih kalau melihat arah kebanyakan dari pertimbangan hakim ya banyak hakim yang akhirnya ya sudah mengikuti pertimbangan jaksa dalam menjatuhkan (vonis) karena sampai saat ini pun kita tidak ada alat ukur untuk mengukur berapa sanksi pidana yang tepat untuk perbuatan X," katanya.
"Itu akhirnya menjadi pertimbangan subjektifitas pertimbangan hakim apakah dijatuhkan pidana sekian atau tidak," pungkasnya.