RIAU ONLINE - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan suap di Mahkamah Agung (MA). Setidaknya saat ini ada tiga praktik dugaan suap terkait pengaturan vonis di pengadilan negara tertinggi itu.
Sementara itu, lembaga anti-rasuah tersebut telah menjerat sejumlah ASN hingga penitera pengganti/hakim yustisial dalam kurun waktu yang berdekatan. Dua hakim agung juga tak terlepas dari jeratan itu.
Mereka dijerat KPK dalam kurun waktu September hingga Desember 2022. Mereka diduga menerima suap untuk pengurusan perkara di tingkat kasasi di MA. Perkaranya berbeda-beda. Mulai dari perdata hingga pidana.
Lalu dugaan kasus suap apa saja yang dibongkar KPK di MA?
Kasasi Pailit Koperasi Intidana
Terbongkarnya dugaan praktik suap di MA berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang terjadi di September dan Jakarta. KPK menduga ada transaksi suap pengurusan perkara di MA.
Diawali dengan adanya laporan pidana dan gugatan perdata terkait aktivitas dari koperasi simpan pinjam Intidana di Pengadilan Negari Semarang.
Gugatan diajukan Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku debitur koperasi dengan diwakili melalui kuasa hukumnya yakni Yosep Parera dan Eko Suparno. Gugatan itu berlanjut kepada tingkat kasasi di MA.
Pertemuan dan komunikasi kemudian dilakukan Yosep dan Eko dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan Majelis Hakim.
Pegawai yang bersedia dan bersepakat ialah Desy Yustria, seorang PNS pada Kepaniteraan MA. Desy dijanjikan imbalan pemeberian sejumlah uang.
Diduga, Desy turut mengajak Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu, dan PNS pada Kepaniteraan MA Muhajir Habibie, sebagai penghubung penyerahan uang kepada hakim, seperti dilansir dari kumparan, Selasa, 20 Desember 2022.
KPK dalam proses penyidikan menemukan adanya keterlibatan Hakim Agung, Sudrajad Dimyati. Ia diduga menerima suap untuk mengatur vonis kasasi pailit Koperasi Intidana agar dikabulkan.
Berikut daftar tersangka dalam kasus ini:
Penerima suap
- Sudrajad Dimyati (Hakim Agung pada Mahkamah Agung
- Elly Tri Pangestu (Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung)
- Desy Yustria (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung)
- Muhajir Habibie (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung)
- Redi (PNS Mahkamah Agung)
- Albasri (PNS Mahkamah Agung)
Pemberi Suap
- Yosep Parera (Pengacara)
- Eko Suparno (Pengacara)
- Heryanto Tanaka (Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana)
- Ivan Dwi Kusuma Sujanto (Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana)
Uang yang diserahkan Yosep Perara dan Eko Suparno totalnya sekitar SGD 202 ribu atau setara Rp 2,2 miliar.
Sudrajadi di awal kasus ini disebut menerima Rp 800 juta dari jumlah uang yang disediakan Heryanto dan Ivan Dwi. Namun saat OTT, KPK mendapatkan bukti SGD 205 ribu dan Rp 50 juta.
Diduga ada perkara yang melibatkan Desy Yustria dkk. KPK kemudian melakukan pengembangan. Hasilnya, ada kasus lain yang terungkap.
Kasasi Pemalsuan Akta Pengurus Koperasi Intidana
Dari hasil pengembangan kasus Sudrajad Dimyati, terungkap kasus lain di MA. Hakim Agung lain terlibat dalam perkara yang berbeda.
Ialah Gazalba Saleh, Hakim Agung lainnya yang terjerat kasus serupa dengan Sudrajad, dugaan menerima suap untuk mengatur vonis perkara kasasi.
Jika Sudrajad terkait perkara perdata, namun Gazalba terseret dalam perkara pidana. Dalam kasus Gazalba ini, pemberi suap sama dengan Sudrajad, yakni Heryanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana dan dua advokat yang sama, Yosep dan Eko.
Diduga, Heryanto dkk menyiapakn Rp 2,2 miliar untuk dua perkara. Pertama, perkara perdata yang ditangani Sudrajad Dimyati dkk. Kedua, untuk perkara pidana yang ditangani Gazalba Saleh dkk.
Pada kasus Gazalba, uang tersebut diduga diberikan sebagai fee pengaturan vonis kasasi kasus pidana pemalsuan akta pengurus KSP Intidana, Budman Gandi Suparman, selaku terdakwa.
Pasalnya, Budiman Gandi Suparman divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Semarang. Jaksa kemudian mengajukan kasasi atas vonis tersebut. Heryanto Tanaka diduga ingin Budiman dinyatakan bersalah pada tahap kasasi tersebut sehingga menyuap hakim melalui dua pengacaranya.
Guna memuluskan aksinya, Yosep dan Eko berkomunikasi dengan Desy Yustria selaku PNS pada Kepaniteraan MA. Melalui jalur itulah, ada kesepakatan pemberian uang Rp 2,2 miliar.
Desy turut mengajak Nurmanto Akmal selaku PNS MA yang kemudian berkomunikasi dengan Redhy Novarisza selaku staf Gazalba Saleh. Redhy juga disebut sebagai orang kepercayaan Gazalba.
Rendy dan Prasetio Nugroho selaku Hakim Yustisial dan Panitera Pengganti pada Kamar yang jgua asisten Gazalba, aktif mengkomunikasikan keinginan Heryanto Tanaka, selama proses kasasi.
Dalam putusan pada 5 April 2022, MA mengabulkan kasasi tersebut. Budiman dinyatakan bersalah dengan hukuman 5 tahun penjara. Merujuk situs MA, majelis kasasi itu ialah Sri Murwahyuni sebagai Ketua dan Gazalba Saleh serta Prim Haryadi sebagai anggota.
"Pengondisian putusan kasasi terpenuhi dengan diputusnya Terdakwa Budiman Gandi Suparman dinyatakan terbukti bersalah," ujar Johanis dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Sebelum pengkondisian kasasi itu pun, diduga ada pemberian uang pengurusan perkara melalui Desy kepada Nurmanto Akmal, Rendy, Prasetio, Gazalba. Desy juga turut mendapat bagian. Namun jumlahnya belum dibeberkan KPK.
Sebagai realisasi karena kasasi dikabulkan, dua pengacara itu menyerahkan Rp 2,2 miliar kepada Desy. Pembagian uang tersebut tengah didalami oleh KPK.
"Masih terus dikembangkan lebih lanjut oleh Tim Penyidik," pungkas Johanis.
Sebab, Rp 2,2 miliar itu diduga uang total yang disediakan oleh Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma untuk menyuap dalam dua kasus tersebut. Yakni satu di lingkup pidana yang memperkarakan Budiman, satu lagi di lingkup perdata yang meminta koperasi Intidana pailit.
Berikut daftar tersangka dalam kasus ini:
- Gazalba Saleh (Hakim Agung)
- Prasetio Nugroho (Hakim Yustisial/Panitera Pengganti pada Kamar Pidana MA RI serta Asisten Hakim Agung Gazalba Saleh)
- Redhy Novarisza (Staf Hakim Agung Gazalba Saleh)
- Nurmanto Akmal (PNS Mahkamah Agung)
- Desy Yustria (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung)
- Heryanto Tanaka (Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana)
Namun setelah dua kasus tersebut berjalan, ternyata masih ada kasus lainnya di MA yang kembali diungkap oleh KPK.
Suap Kasasi Pailit Yayasan RS Sandi Karsa Makassar
Kasus dugaan suap di MA kembali diungkap KPK. Akan tetapi masih dengan konstruksi kasus yang serupa dengans sebelumnya, yakni suap pengaturan vonis kasasi.
Berawal saat KPK mengumumkan status tersangka terhadap hakim yustisial/panitera pengganti bernama Edy Wibowo. Edy Wibowo dijerat kasus vonis kasasi pailit Yayasan Rumah Sakit.
Kasus ini bermula dari adanya gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Negeri Makassar pada Februari 2022. PT Mulya Husada Jaya sebagai pemohon dengan termohon ialah Yayasan RS Sandi Karsa Makassar.
Gugatan itu berisi agar hakim menetapkan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar dalam PKPU. Hakim mengabulkannya dalam vonis yang dibacakan pada Mei 2022. Hakim menyatakan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar pailit.
Kemudian pihak yayasan mengajukan kasasi ke MA. Salah satu isi permohonannya agar Yayasan RS Sandi Karsa Makassar tidak dinyatakan pailit.
Pada Agustus 2022, Wahyudi Hardi selaku ketua yayasan diduga melakukan pendekatan dan komunikasi intens dengan Muhajir Habibie dan Albasri yang juga PNS MA. Keduanya diminta membantu dan memonitor serta mengawal proses kasasi agar dikabulkan.
“Diduga disertai adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri.
Pemberian uang kemudian dilakukan. Termasuk kepada Edy Wibowo.
“Sebagai tanda jadi kesepakatan, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp 3,7 miliar kepada EW yang menjabat Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti MA yang diterima melalui MH dan AB sebagai perwakilan sekaligus orang kepercayaan,” papar Firli.
KPK menduga bahwa serah terima uang telah dilakukan selama proses kasasi di MA. Diduga, pemberian uang itu untuk mempengaruhi isi putusan agar kasasi dikabulkan.
“Setelah uang diberikan, maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” papar Firli.
Merujuk situs MA, putusan kasasi itu diketok pada 14 September 2022. Perkara tercatat dengan nomor 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022.
Ketua Majelis kasasi itu yakni Takdir Rahmadi dengan hakim anggota Nurul Elmiyah dan Rahmi Mulyati. Sementara Panitera Pengganti ialah Edy Wibowo. Belum ada pernyataan dari Yayasan RS Sandi Karsa Makassar maupun Wahyudi Hardi terkait kasus ini.
KPK menjerat 3 tersangka penerima suap dalam kasus ini, yakni:
- Edy Wibowo (Panitera Pengganti/Hakim Yustisial)
- Muhajir Habibie (PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung)
- Albasri (PNS Mahkamah Agung)
Namun, KPK belum mengumumkan tersangka pemberi suap dalam kasus ini. Termasuk adanya kemungkinan pihak lain yang turut menerima suap.
MA belum berkomentar terkait kasus ini. Tapi, beberapa waktu lalu, Ketua MA, Muhammad Syarifuddin sudah menyatakan bahwa lembaganya terus melakukan pembenahan.