Diiming-Imingi Kerja di Luar Negeri, Wanita Batam Jadi Korban Perdagangan Orang di Filipina

ILustrasi-perdagangan-Orang.jpg
(Media Indonesia.com)


RIAU ONLINE, BATAM - Perekrutan calon pekerja dengan iming-iming pekerjaan ke luar negeri kian marak di media sosial. Penyaluran secara ilegal itu menuju Dubai dan Filipina.

Namun nyatanya, di negara tujuan calon pekerja tidak dipekerjakan sesuai harapan. Mereka malah menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang direkrut untuk menjadi bagian dari sindikat penipuan di luar negeri.

Rindy (nama samaran) berkisah tentang pengalaman pedihnya saat bekerja di Filipina. Berawal dari iklan dengan tawaran kerja di negara kepulauan itu.

Korban berusia 25 tahun itu tergiur dengan promosi langsung dari rekan yang ia kenal saat berada di Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Iming-iming pekerjaan yang nyaman serta gaji besar membuatnya bertekad untuk bekerja ke luar negeri.

"Saya tergiur dengan promosi yang diposting oleh rekan saya. Apalagi akan mendapatkan gaji yang cukup besar," ujar Rindy, seperti dilansir dari Batamnews, jaringan RIAUONLINE, Rabu, 13 Juli 2022.

Sebelumnya, Ditreskrimum Polda Kepri mengungkap kasus yang sama, yakni penawaran kerja di Kamboja.

Awalnya, Rindy melihat postingan rekannya bernama Hellen yang merupakan warga Tanjung Balai Karimun terkait pekerjaan di Filipina sebagai Digital Marketing. Ia mencoba menghubungi rekannya itu yang merupakan karyawan di perusahaan tersebut.

Menurut informasi yang diperolehnya, Rindy akan dipekerjakan sebagai Digital Marketing dengan gaji mencapai RMB 8.000 atau setara Rp 16 juta.

"Kerja di situ sebagai Digital Marketing dengan jam kerja 10 jam per hari yakni di perusahaan Investasi," kata Rindy.

Syaratnya, Rindy harus dapat berbahasa mandarin dan Inggris. Rindy pun diterima bekerja di perusahaan tersebut setelah mengikuti interview sebatas online.

Pihak perusahaan bahkan menanggung segala pengeluaran untuk keberangkatan Rindy. Mulai dari tiket pesawat, akomodasi dan lainnya untuk sampai di Filipina.

Rindy kemudian berangkat ke Filipina pada 7 Agustus 2021 menggunakan penerbangan dari Singapura.
Sesampainya di sana, ia dijemput langsung oleh pihak perusahaan itu.

Paspor ditahan

Setibanya di Filipina, Rindy mulai menaruh curiga setelah pihak perusahaan menahan paspornya dengan alasan agar dapat disesuaikan dengan data sesampainya di kantor nanti.



Selain itu, lokasi kerja yang awalnya berada di pusat kota, saat itu berubah. Ia dibawa ke sebuah pedesaan yang jaraknya memakan waktu hingga 3 jam menggunakan mobil.

"Saya curiga kok tak seperti yang dijanjikan, katanya di pusat kota ini malah di bawa ke lokasi yang jauh. Bahkan dibelakang perusahaan itu adalah hutan," imbuhnya.

Sesampainya di perusahaan yang dituju, menurut Rindy ia dibawa langsung petugas ke sebuah mess karyawan.

Namun, Rindy merasa mess itu tak layak untuk ditempati. Ia kemudian diminta menunggu pihak trainer untuk mengajarinya cara bekerja di perusahaan tersebut.

Merasa ada yang tak beres

Perasaan Rindy tak enak. Ia mencoba menghubungi rekannya tersebut untuk menanyakan nasibnya. Namun jawaban dari rekannya tak sesuai dengan harapannya. Ia memilih untuk tak melanjutkan bekerja di perusahaan tersebut.

"Saya sudah memilih berhenti tapi rekan saya memaksa untuk saya melanjutkan dan bertahan selama 6 bulan, tapi saya tetap tak mau," jelasnya.

Tak lama kemudian, seorang trainer yang merupakan Warga Negara Malayia memberikan penjelasan dalam bekerja.

Rindy ditugaskan untuk mencari korban yang mayoritas warga negara Eropa untuk berinvestasi di perusahaan tersebut.

Trainer tersebut menjelaskan berbagai cara untuk menarik perhatian korban. Mulai dari mengajak korban berkenalan hingga seperti berpacaran, bahkan jika memungkinkan hingga melakukan video call sex (vcs) agar korban luluh dan berinvestasi di perusahaan tersebut demi berpacaran deangan perempuan Asia. Investasi tersebut nyatanya bodong.

"Saya disuruh merayu, apapun harus saya lakukan, supaya dia (korban) mau berinvestasi, layaknya menjalin hubungan pacaran dengan korban secara online via telfon ataupun video call. Hal itu juga menggunakan target per harinya harus berapa orang yang berinvestasi, kalau tak dapat ya kita akan didenda," imbuhnya.

Diancam perusahaan

Rindy kemudian bertekad untuk membatalkan bekerja di perusahaan tersebut. Namun, pihak perusahaan tak mengizinkan.

Jika ingin keluar dari perusahaan tersebut, Rindy dipaksa menandatangani surat pemberhentian kerja dan mengganti kerugian perusahaan saat memberangkatkan dirinya dari negara asal.

"Saya disuruh tandatangan surat resign, padahal saya tak pernah nandatangani kontrak kerja dan juga mengganti rugi kerugian perusahaan yang nilainya USD 1403.81 atau setara Rp 20 juta, yang terdiri dari tiket pesawat, hotel dan sebagainya, kalau saya tak mau maka paspor saya tak akan diberikan," terangnya.

Akhirnya ia pun dipindahkan ke salah satu mess yang tak berpenghuni. Ia merasa seperti orang yang dikurung dikarenakan mess tersebut dikunci dari luar dan dijaga ketat oleh penjaga. Ia bahkan tak diperbolehkan keluar sampai ia mengganti kerugian perusahaan tersebut.

Keesokan harinya, pihak keluarga mengirim sejumlah uang kepada Rindy agar ia dapat pulang ke Indonesia. Semua kerugian perusahaan diganti oleh Rindy dan dibayarkan menggunakan sebuah aplikasi kepada pihak perusahaan.

Lalu, paspor miliknya pun dikembalikan usai perusahaan menerima pembayaran kerugian. Kemudian ia dikeluarkan dari perusahaan dan disuruh mengurus sendiri cara agar ia dapat pulang ke negara asalnya.

"Saya disuruh cari kendaraan sendiri supaya bisa ke bandara, setelah 3 jam menunggu di depan perusahaan akhirnya ada warga yang saya untuk memesan taksi agar dapat pergi ke bandara," katanya.

"Sampai Bandara malam hari saya tidur di bandara hingga keesokan harinya menunggu jam terbang pesawat," tambahnya.

Trauma

Niat ingin mendulang uang di luar negeri berakhir trauma yang dirasakan Rindy. Bukannya untung malah buntung, karena Rindy harus mengeluarkan uang ganti rugi ke perusahaan.

Rindy pun mengingatkan agar masyarakat, khususnya di Kepri, untuk lebih berhati-hati dengan iming-iming bekerja ke luar negeri. Ia tak ingin ada korban perdagangan orang lainnya yang dilakukan oleh oknum-oknum di luar sana.

"Saya takut mereka mencari korban-korban lainnya. Iya kalau korban itu bisa membayar ganti rugi, kalau tak dapat bagaimana nasibnya disana nanti?" ucapnya.