Legalisasi Ganja Medis di Indonesia, Mungkinkah?

ilustrasi-ganja-medis.jpg
(Shutterstock via Suara.com)


Laporan: Dwi Fatimah

RIAUONLINE, PEKANBARU - Usulan legalisasi ganja di Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah foto aksi seorang ibu yang menuntut legalisasi ganja medis untuk pengobatan anaknya viral di media sosial.

Seorang ibu yang bernama Santi membawa sebuah poster di kawasan CFD di Jakarta bersama suami dan anaknya yang mengidap Cerebral Palsy atau lumpuh otak. Foto tersebut viral di sosial media setelah dibagikan di akun twitter penyanyi Andien Aisyah.

Andien bercerita kalau ia bertemu dengan ibu Santi saat tengah berkeliling di Car Free Day (CFD) Jakarta, Minggu 26 Juni 2022. Dari foto yang dibagikan, tampak seorang ibu bersama anaknya yang terbaring di stroller dan memegang poster bertuliskan “TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS”

Santi sempat bercerita kepada Andien kalau ia sudah dua tahun terakhir memperjuangkan legalisasi ganja medis untuk anaknya, Pika. Menurutnya, salah satu terapi yang dibutuhkan Pika saat ini adalah CBD Oil atau minyak ganja.

Tidak hanya Santi dan Pika, kisah Dwi Pertiwi dan putranya Musa IBN Hassan Pedersen, juga kisah Fidelis Arie Sudewarto dan istrinya Yeni Riawati, pernah mengajukan legalisasi ganja ini. Musa dan Yeni kini telah berpulang karena penyakit yang mereka derita.

Dwi Pertiwi merupakan ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen, anak laki-laki berusia 16 tahun yang mengidap cerebral palsy. Bersama Santi Warastuti, Dwi Pertiwi mengajukan gugatan uji materi UU Narkotika ke MK pada November 2020. Sama dengan Santi, lewat gugatan uji materi ini, Dwi ingin mengupayakan pengobatan ganja demi kesembuhan putranya.

Musa mulanya mengalami pneumonia ketika bayi. Namun, karena terdapat kekeliruan dalam diagnosa dan pengobatannya, penyakit tersebut berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak. Untuk berjuang melawan penyakitnya, Musa menjalani fisioterapi dan obat-obatan anti kejang. Namun, langkah tersebut tak membuat kondisi Musa membaik.

Dwi Pertiwi lantas mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Dalam beberapa kasus di luar negeri, anak-anak yang menderita cerebral palsy dapat sembuh karena pengobatan ganja. Beberapa penelitian dan jurnal ilmiah juga pernah membuktikan bahwa ganja mampu mengobati anak yang mengidap cerebral palsy.

Atas dasar itulah, Dwi Pertiwi ingin MK membatalkan larangan penggunaan ganja medis yang tertuang dalam UU Narkotika. Namun, belum sampai mendapatkan pengobatan ganja, Musa akhirnya meninggal dunia. Putra Dwi Pertiwi itu menghembuskan napas terakhir sebulan setelah gugatan ke MK diajukan tepatnya 26 Desember 2020.

Sebelum Dwi Pertiwi dan Musa, kisah Fidelis Arie Sudewarto dan istrinya, Yeni Riawati, lebih dulu menghebohkan publik pada awal 2017.

Fidelis merupakan pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dia menanam ganja untuk mengobati istrinya yang didiagnosa menderita syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan atau syrinx dalam sumsum tulang belakang.

Yeni didiagnosa mengidap syringomyelia pada Januari 2016. Sejak saat itu, Fidelis sendiri yang merawat Yeni di rumahnya dibantu oleh seorang perawat dan panduan perawatan penyakit syringomyelia dari sejumlah literatur.

Berbagai pengobatan yang sudah dijajal mulai dari obat medis, obat herbal, bahkan orang pintar. Namun, upaya itu tak mampu mengembalikan kondisi fisik Yeni. Berbekal literatur-literatur yang didapat dari luar negeri, Fidelis akhirnya menerapkan pengobatan ekstrak ganja untuk istrinya.

Ganja itu ditanam Fidelis sendiri di rumahnya. Sejak mendapat pengobatan tersebut, kondisi Yeni berangsur-angsur membaik. Nafsu makannya mulai meningkat dan tidurnya bisa pulas sebagaimana orang pada umumnya.



Namun, keceriaan itu tak berlangsung lama. Pada 19 Februari 2017, petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Fidelis karena kedapatan menanam 39 batang pohon ganja di rumahnya. Fidelis pun ditahan oleh BNN Kabupaten Sanggau.

Ekstrak ganja untuk Yeni dimusnahkan. Artinya, pengobatan ganja untuk Yeni berakhir. Akhirnya, tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap BNN, Yeni menghembuskan nafas terakhir.

Kisah perjuangan Santi, Dwi serta Fidelis untuk legalisasi ganja medis di Indonesia hingga membawa kasus tersebut ke MK belum juga terealisasi.

Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa ganja termasuk ke dalam narkotika golongan I. Artinya, dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan, hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, ganja sama sekali ilegal di Indonesia.

Untuk kebutuhan medis, ganja sebenarnya sudah dilegalkan. Aturan itu bahkan diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menyetujui permintaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melegalkan ganja dalam pengobatan mulai Desember 2020.

Dikutip dari Mayoclinic, ganja medis merupakan istilah untuk turunan dari tanaman ganja atau Cannabis Sativa. Tanaman ini digunakan untuk meredakan gejala yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu. Istilah ganja medis juga dikenal sebagai cannabis medis atau marijuana medis.

Ganja medis mengandung banyak senyawa aktif, paling terkenal adalah delta-9 tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabinoid (CBD). THC adalah bahan utama dalam ganja yang membuat orang "high" alias mabuk atau melayang-layang.

Studi melaporkan bahwa ganja medis kemungkinan memiliki manfaat untuk beberapa kondisi. Akan tetapi penggunaannya tergantung syarat undang-undang di negara yang melegalkan ganja medis.

Dilansir dari cnnindonesia.com, pemerintah sempat memunculkan harapan pemanfaatan ganja sebagai alternatif medis usai Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan tanaman ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian.

Ketetapan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian yang ditandatangani Menteri Syahrul sejak 3 Februari lalu.

Dalam Kepmen tersebut ganja masuk dalam lampiran jenis tanaman obat yang dibina oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Setidaknya total ada 66 jenis tanaman obat yang dibina Ditjen Hortikultura. Selain ganja, jenis tanaman obat lain yang dibina antara lain kecubung, mengkudu, kratom, brotowali, hingga purwoceng.

Kendati demikian, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha Kementan mengatakan, bahwa sebelumnya pihaknya telah menjadikan komoditas ganja sebagai salah satu tanaman binaan sejak 2006 lalu, kala pemerintah gencar menggalakkan kegiatan anti narkoba.

Menurut Tommy, saat itu Kementan mulai mengajak petani ganja di Aceh beralih menanam komoditas lain, salah satunya komoditas pisang. Pada 2006, pembinaan yg dilakukan adalah mengalihkan petani ganja untuk bertanam jenis tanaman produktif lainnya, dan memusnahkan tanaman ganja yang ada saat itu.

Peraturan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 Tentang Jenis Komoditi Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, dan Direktorat Jenderal Hortikultura.

Namun, Tommy menegaskan bahwa aktivitas tersebut tak ada sangkut pautnya dengan status legalisasi ganja secara hukum. Sebab, Permentan tersebut hanya digunakan di kalangan Kementan untuk pembinaan petani yang masih menanam ganja.

Tak berselang lama, Sabtu 29 Agustus 2020 lalu, Menteri Syahrul mencabut aturan yang telah ia buat sebelumnya. Syahrul mengatakan pihaknya bakal mengkaji dengan berkoordinasi bersama Badan Narkotika Nasional RI (BNN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dikutip dari theconversation.com, saat ini, pemerintah masih melarang pembudidayaan, penggunaan, maupun peredaran ganja. Ganja termasuk narkotika golongan I, artinya ganja tidak dapat digunakan untuk kesehatan dan dianggap berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya.

Posisi ganja sebagai narkotika golongan I menyebabkan penggunaan ganja terancam hukuman paling berat dibandingkan dengan penggunaan narkotika golongan lain. Pengguna ganja dapat diancam hingga 4 tahun penjara. Sama seperti pengguna sabu, sedangkan pengguna narkotika jenis lainnya seperti morfin diancam hukuman lebih rendah, yakni maksimal 2 tahun penjara.

Penggunaan ganja dengan dosis berlebih dan tak terkendali dapat menimbulkan ketergantungan. Hal ini dikarenakan ganja mengandung zat psikoaktif yang juga dapat membuat penggunanya mengalami penurunan atau perubahan kesadaran. Zat psikoaktif yang terkandung dalam ganja adalah THC (tetrahydrocanabinol) dan CBD (cannabidiol). Kombinasi persentase kedua zat ini juga berbeda di ketiga jenis ganja murni yang ada. Cannabis Sativa memiliki kandungan THC lebih tinggi dibandingkan THC yang terdapat dalam C. Indica. Sedangkan kandungan CBD dalam C. Indica lebih tinggi daripada CBD dalam C. Sativa.

THC dalam ganja dengan cepat mempengaruhi kinerja otak manusia ketika ia menghirup asap yang dihasilkan dari pembakaran ganja. Asap yang terhirup ke paru-paru dapat masuk ke peredaran darah. Darah yang mengandung THC akan dibawa ke otak dan organ tubuh lainnya. Efeknya dapat dirasakan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek akan dapat dirasakan setelah 30 menit sampai 1 jam setelah penggunaan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Drugs Abuse, THC dapat mengganggu kinerja sebagian besar area di dalam otak yang mengatur persepsi, sensasi, koordinasi, penglihatan, memori, keseimbangan, dan juga kemampuan dalam pengambilan keputusan. Kondisi inilah yang sering disebut dengan istilah “ngefly” atau “high”.

Dalam kondisi ini, seorang pengguna ganja akan mengalami perubahan sensasi misalnya melihat sesuatu yang berwarna tampak lebih terang warnanya, perubahan orientasi waktu, suasana hati, pergerakan tubuh yang tidak selaras, gangguan ingatan, kesulitan berpikir maupun memecahkan masalah. Jika ganja digunakan dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan halusinasi dan delusi. Bahkan yang lebih parahnya dapat memunculkan gejala psikosis (gangguan jiwa) jika terlalu sering digunakan dengan dosis yang berlebih.

Ganja juga dapat mempengaruhi perkembangan otak jika digunakan dalam jangka waktu yang lama. Seseorang yang menggunakan ganja sejak remaja dapat mengalami penurunan kemampuan berpikir, memori serta fungsi belajar. Jika seorang remaja sudah terpapar ganja maka dia akan kehilangan kemampuan untuk belajar.

Padahal kemampuan belajar dan berpikir sangat diperlukan seorang remaja dalam proses penggalian potensi dan jati dirinya untuk mempersiapkan diri menjadi mandiri saat usia dewasa nanti.

Selain dapat mempengaruhi kinerja otak, ganja juga dapat mempengaruhi kesehatan organ fisik lainnya. Ganja dapat menyebabkan masalah pernapasan, meningkatkan detak jantung, masalah dalam perkembangan dan pertumbuhan janin, serta mual dan muntah yang berkepanjangan. Dampak yang dihasilkan dari asap pembakaran ganja juga sama halnya dengan asap rokok tembakau yaitu dapat merusak paru-paru bahkan menimbulkan kanker.

Selain merusak organ pernapasan dan jantung, rupanya ganja juga berbahaya bagi ibu hamil. Ganja yang digunakan seorang ibu selama masa kehamilan dapat menyebabkan berat badan lahir rendah, terhambatnya perkembangan otak, dan perilaku yang bermasalah pada bayi. Anak yang telah terpapar ganja sejak masih dalam kandungan akan memiliki kecenderungan yang lebih besar menjadi anak dengan gangguan perhatian.

Sejumlah penelitian juga menemukan bahwa THC yang terkandung dalam ganja ternyata dapat terekspresi ke dalam air susu ibu. Ini artinya jika seorang bayi memiliki seorang ibu penyalahguna ganja dan menyusu pada ibunya maka besar kemungkinan bayi tersebut juga terpapar ganja.