Menyeramkan, Kesaksian PMI Ilegal Selamat dari Musibah Kapal Tenggelam di Kepri

kapal-tenggelam2.jpg
(Shutterstock)


RIAUONLINE, BATAM - Puluhan calon pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal menjadi mengalami peristiwa nahas saat perahu yang mereka tumpangi tenggelam di Perairan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri) diakibatkan buruknya cuaca saat itu.

Puluhan calon PMI ilegal itu berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), salah satunya Sahman (35). Peristiwa menyeramkan itu bahkan masih membekas di benak Sahman, satu dari 23 orang PMI ilegal yang selamat.

Sahman merupakan satu dari para PMI yang ingin mengadu nasib dengan menyeberang secara ilegal ke Malaysia, Kamis, 16 Juni 2022 malam itu.

Jauh dari Lombok Timur, Sahman berencana untuk bekerja ke Malaysia karena ingin menaikkan penghasilan.

Sahman sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan tidak tetap. Umumnya, ia mampu menghasilkan uang kurang dari Rp 2 juta per bulan.

“Karena gaji yang kecil di kampung, Saya tertarik ke luar negeri, supaya penghasilan bisa bertambah,” ujarnya seperti dilansir dari Batamnews, jaringan RIAUONLINE, Jumat, 24 Juni 2022.

Informasi tentang pekerjaan di luar negeri diperolehdari tetangganya, Syahnan yang juga menjadi satu rombongan speed boat dengannya, namun salah satu korban hilang bersama 6 orang lainnya dan masih dalam pencarian.

Untuk bisa bekerja di Malaysia, Sahman mengaku harus membayar Rp 7,5 juta dan belum termasuk ongkos pesawat dari Lombok ke Batam, totalnya melebihi Rp 10 juta.

Sejumlah uang itu merupakan pinjaman dari tetangga Sahman di kampung. Uang senilai Rp 7,5 juta dibayarkannya ketika tiba di Batam ke Jun yang dikenalnya sebagai pengurus keberangkatan mereka ke Malaysia.

“Uang itu, saya bayarkan tunai,” kata Dia.

Ia bersama 8 orang lainnya satu rombongan dari Lombok Timur menuju Batam pada Kamis, 9 Juni 2022. Setibanya di Batam, Mereka menginap di Hotel 99.

Kemudian akhirnya peristiwa nahas itu terjadi, speed boat yang mereka tumpangi mengalami mati mesin di tengah laut, sampai akhirnya tenggelam.



 

 

“Kalau saya tahu kami naik speed boat begitu, saya tidak akan berani ke Batam, pengurusnya bilang kami naik kapal ikan,” kata Dia.

Ketia itu, kata Sahman, speed boat mengalami mati mesin yang membuat mereka terombang-ambing di tengah laut. Tidak lama kemudian, speed boat kedua tiba untuk menolong mereka.

“Semua orang panik, dan berebut pindah ke boat kedua, kalau tidak salah boat kedua dari kayu, tapi karena kelebihan muatan, air sempat masuk dan kami terombang ambing, hingga akhirnya boat kedua itu tenggelam juga,” katanya.

Sayangnya, mereka saat itu tidak diperlengkapi pelampung. Namun, Sahman berusaha menolong yang lainnya, bahkan ia sempat menarik lengan seorang wanita dan mencoba menolongnya.

Namun akhirnya tidak tertolong, karena Ia sendiri juga tidak pandai berenang. Sahman mencoba untuk terus mengapung, agar tidak tenggelam.

“Saya terapung, bertahan beberapa jam, sangking lamanya di air, sempat hilang kendali,” katanya.

Jika terlambat 1 menit saja, Sahman mengaku Ia bisa mati. Sampai akhirnya bantuan datang, seorang nelayan dengan perahunya.

“Saya teriak, tolong, siapa yang punya hati, tolong saya, baru ada suara, rupanya itu nelayan, saya disuruh mengapung dulu karena sampannya gag muat,” kata Dia.

Tidak lama setelah itu, Sahman kemudian diangkut ke perahu nelayan. Ia bersama korban selamat diletakkan di tepi pantai, hingga bantuan yang lain tiba.

PMI ilegal selamat lainnya adalah Amat (41). Ia juga mengeluarkan uang Rp 8,8 juta untuk biayanya ke Malaysia, yang diperolehnya dari meminjam tetangga di kampung.

Amat sehari-hari bekerja sebagai petani yang mengerjalan lahan milik oang lain. Setiap bulannya, ia memperoleh penghasilan kurang dari Rp 2 juta untuk menghidupi putri dan seorang istri yang tengah sakit.

Sebab itu, Amat mencoba mengadu nasib dengan bekerja di luar negeri. Apalagi, Amat mengetahui temannya berhasil ketika bekerja di luar negeri.

“Uang Rp 8,8 juta itu saya bayar ke pak Tohri, harus lunas dibayar,” ujarnya.

Ia memilih jalur tidak resmi karena prosesnya lebih cepat. Tahun 2005, Amat sempat bekerja ke Malaysia dengan jalur resmi, sehingga Ia tahu betul prosesnya sangat panjang.

Berasal dari Lombok Tengah, Amat bersama 7 orang lainnya termasuk adik ipar dan keponakannya berangkat ke Batam. Setibanya di Batam, Mereka menginap di Hotel Bali.

“Pas kejadian, saya tidak ingat sama sekali, karena saya sudah tenggelam, saya tidak bisa berenang,” katanya.

Amat merupakan korban selamat yang sempat dirawat di Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) karena sesak nafas. Ia hanya mengingat malam itu, sebelum tenggelam, Ia meminum air cukup banyak.

“Dari 8 orang rombongan kami, 2 orang hilang, saya beruntung masih selamat, sebelum tenggelam, saya dah panggil nama-nama anak saya, istri saya, ibu saya, mau pamitan,” katanya.