RIAUONLINE — Hasil survei SMRC menunjukkan hanya sekitar 37 persen warga bersedia menjalani vaksinasi Covid-19 jika vaksin sudah tersedia. Sekitar 17 persen lainnya mengaku tidak akan menjalani vaksinasi, 40 persen pikir-pikir, dan 6 persen lainnya tidak menjawab. Survei ini melibatkan 1.202 responden yang ditelepon pada 16–19 Desember 2020 dengan tingkat kesalahan lebih kurang 2,9 persen.
Manajer Kebijakan Publik SMRC, Tati Wardi mengatakan, persentase warga yang bersedia melakukan vaksinasi itu menurun dari hasil survei dua pekan lalu yang dilakukan lembaganya.
"Survei pada 2-5 Desember 2020 pernah tinggi sekali, 54 persen ada intensi untuk melakukan vaksinasi. Sekarang malah turun 37 persen," jelas Tati dalam konferensi pers daring, Selasa (22/12).
Tati menambahkan hasil survei juga menunjukkan 23 persen warga tidak percaya bahwa vaksin corona yang disediakan pemerintah aman. Sedangkan warga yang percaya bahwa vaksin aman mencapai 56 persen dan tidak bersikap 20 persen. Kendati jumlah warga yang percaya aman lebih besar, jumlahnya juga menurun jika dibandingkan survei SMRC pada awal Desember.
Sementara terkait vaksin impor yang berasal dari Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan China, sikap responden terbelah dalam menilai vaksin impor tersebut. Sekitar sepertiga responden percaya bahwa vaksin itu aman dan membuat imun, sepertiga tidak percaya dan sepertiga lainnya tidak memberi penilaian.
Tati menyarankan pemerintah untuk menggencarkan sosialisasi agar masyarakat tidak ragu menjalani vaksinasi dan percaya bahwa vaksin aman. Kata dia, pemerintah perlu mengikutsertakan otoritas kesehatan seperti dokter sosialisasi vaksin corona.
“Survei SMRC menunjukkan 71,5 persen warga menganggap dokter adalah sosok yang paling bisa dipercaya untuk menjelaskan pencegahan Covid-19,” tambahnya.
Survei ini juga menemukan jumlah warga yang tidak takut tertular corona dan warga yang tidak yakin telah tertular semakin meningkat. Warga yang tidak takut tertular menjadi 28 persen, meningkat dari 16 persen pada survei awal Oktober lalu. Sedangkan yang tidak yakin sudah tertular sebanyak 24 persen, naik dari 13 persen pada awal Oktober 2020.
Menanggapi hasil survei, Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengkhawatirkan penurunan rasa takut warga terhadap corona. Menurutnya, hal tersebut diakibatkan penerapan kelaziman baru atau new normal pada saat kasus corona justru sedang menanjak pada Mei lalu.
Selain itu, pemerintah juga melonggarkan pergerakan dan interaksi warga untuk kepentingan relaksasi ekonomi.
"Kemudian ada kebijakan-kebijakan yang kontradiktif dengan prinsip pemutusan mata rantai penularan. Misalnya ada wacana pembukaan sekolah dan pondok pesantren, pilkada. Ini yang membuat rasa takut turun karena semua dibuka dan orang merasa tidak ada apa-apa," jelas Windhu Purnomo, Selasa (22/12).
Windhu menambahkan vaksin corona bukan sekedar untuk melindungi individu, tetapi juga untuk melindungi populasi manusia agar pandemi corona terkendali. Untuk mencapai kekebalan komunitas maka minimum 80 persen populasi harus divaksin. Atau sekitar 214 juta orang untuk kasus di Indonesia, dengan kebutuhan vaksin sekitar 429 dosis. Ia memperkirakan proses vaksinasi tersebut akan selesai paling cepat pada April 2022.
Kendati demikian, kata Windhu, vaksinasi merupakan salah satu strategi dalam percepatan penanganan pandemi. Menurutnya, strategi yang utama dalam penanganan yaitu mendeteksi kasus corona di masyarakat sebanyak mungkin kemudian diisolasi untuk memutus mata rantai. Sedangkan di level masyarakat, warga harus tetap menjalankan protokol kesehatan seperti menjaga jarak minimal dua meter.
Pemerintah Tunggu Hasil Uji Klinis BPOM
Pemerintah masih menunggu persetujuan dari hasil uji klinis vaksin yang tengah dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo atas rencana vaksinasi corona gratis bagi masyarakat.
Muhadjir menyebutkan bahwa persetujuan dari BPOM diperlukan untuk menjamin keamanan dan efektivitas dari masing-masing jenis vaksin yang akan digunakan. Berdasarkan Kepmenkes No. 01.07/MENKES/9860/2020, ada enam jenis vaksin corona yang dapat digunakan di Indonesia yaitu vaksin dari PT Bio Farma (Persero), AstraZeneca, China National Pharmaceutical Group Corp (Sinopharm), Moderna, Pfizer Inc. and BioNTech, dan Sinovac Biotech Ltd.
“Saya kira BPOM tidak akan main-main. Saya jamin BPOM profesional, jadi tentu tidak main-main sebab menyangkut hidup mati orang. Saya juga pesankan selalu harus betul-betul berpresisi tinggi dan tidak bisa dikurangi,” jelas Muhadjir melalui keterangan tertulis, Jumat (18/12).
Sementara Direktur Registrasi Obat BPOM Lucia Rizka Andalusia mengatakan lembaganya mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pemberian izin penggunaan darurat obat atau vaksin.
“Enam jenis vaksin yang dapat digunakan sekarang ini semuanya bagus, seperti Pfizer itu efektivitasnya di atas 90 persen dan sudah digunakan oleh berbagai negara. Tapi kita tidak bisa hanya mengandalkan satu jenis vaksin saja, bisa jadi nanti akan ada masuk jenis vaksin lain lagi,” jelas Rizka seperti dikutip dari rilis Kemenko PMK.
Rizka menegaskan masyarakat harus tetap melaksanakan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak meskipun vaksin corona nantinya sudah mendapatkan izin dan siap diberikan pada masyarakat.
Artikel ini sudah tayang di VOAindonesia